SURABAYA, beritalima.com | Kasus penyelewenangan pupuk bersubsidi semakin marak dibicarakan dan menjadi isu nasional sejak awal 2022. Isu yang menyedot perhatian publik ini, direspon cepat oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur yang terus menunjukkan komitmen pengawasan pupuk bersubsidi, diantaranya melalui penerbitan Surat Keputusan (SK) Gubernur tentang Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) pada Januari 2022 lalu.
Saat itu, dijelaskan oleh Dr. Hadi Sulistyo, M.Si., Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur, Hadi Sulistyo, bahwa anggota KP3 di Jawa Timur terdiri dari unsur kepolisian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Kehutanan di bawah koordinasi Biro Perekonomian Jawa Timur.
Gebrakan tegas Pemprov Jatim periode kepemimpinan Khofifah Emil dalam mengatasi persoalan penyelewengan pupuk bersubsidi, diapresiasi banyak pihak, diantaranya Ketua Pertani HKTI Jatim, Dr. Lia Istifhama, M.E.I.
“Gercep (gerak cepat) Ibu Gubernur dan jajarannya, menjadi salah satu bentuk tindakan preventif kejahatan penyelewengan pupuk bersubsidi. Dalam hal ini, KP3 menjadi salah satu alternatif solusi mengatasi sebuah kejahatan melalui cara abiolisionistik. Semoga kebijakan yang baik ini didukung banyak pihak,” ujarnya pada 20/2/22.
Lebih lanjut, aktivis perempuan asal Surabaya tersebut, menekankan pentingnya fungsi harmonisasi semua pihak dalam mengatasi penyelewengan pupuk bersubsidi.
“Kebetulan 12 Februari lalu saya juga menyampaikan beberapa gagasan terkait antisipasi penyelewengan pupuk bersubsidi di TVRI. Saat itu, saya sampaikan pentingnya fungsi harmonisasi, yaitu semua pihak yang terkait, bergandengan tangan mengatasi kejahatan ini. Pemerintah eksekutif dan legislatif pada tataran preventif, yaitu kebijakan yang menekan celah terjadinya kejahatan tersebut, pihak yudikatif dalam tataran kuratif yaitu punishment yang menimbulkan efek jera bagi pelakunya, dan masyarakat sebagai kontrol sosial.”
“Masyarakat disini adalah aktivis sebagai pemerhati persoalan sosial yang berkembang di masyarakat, dan pelaku sektor pertanian, yaitu petani, terlebih mereka yang tergabung di Gapoktan. Kontrol sosial disini, bagaimana kita sebagai masyarakat, misalnya, memahami kerugian dan akibat dari penyelewengan tersebut. Dalam hal ini, menguntungkan oknum tertentu dan merugikan masyarakat sebagai pihak yang seharusnya berhak menerima pupuk bersubsidi.”
Secara lugas, ning Lia, panggilan akrabnya, menjelaskan kerugian yang diterima petani sebagai penerima pupuk bersubsidi, menimbulkan potensi menurunnya gairah bertani.
“Bisa kita pikir secara logika, petani yang merupakan pejuang pangan, jika dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, maka sangat riskan mengalami penurunan semangat bertani. Sedangkan, bertani sendiri, selain faktor kecukupan pupuk, memiliki banyak resiko dan kendala di lapangan, seperti faktor cuaca ekstrem dan sebagainya. Maka akan sangat naif jika kita semua yang seharusnya mendukung pelestarian pertanian, justru terkendala atas oknum tertentu yang memikirkan keuntungan sepihak dari alokasi pupuk tersebut.”
Ning Lia pun menyentil istilah keboocoran akibat banyak pintu.
“Bisa jadi, kejahatan tersebut muncul akibat banyak pintu yang dilalui selama pengalokasian subsidi pupuk. Banyak pintu ini yang berpotensi menjadi kebocoran. Ini mungkin menjadi perhatian kita semua, agar pintu-pintu yang ada dalam perjalanan Kebijakan pemerintah, tidak bocor pada oknum tertentu. Dengan kata lain, menanggulangi mafia pupuk bersubsidi adalah perhatian kita semua.”
Ning Lia kemudian menyebut pentingnya diversifikasi skema penyaluran pupuk subsidi, seperti alternatif pemberian voucher untuk pembelian pupuk pada petani yang berhak menerima.
“Beberapa waktu lalu ada gagasan voucher untuk petani. Ini gagasan bagus, namun tentunya kembali pada semua lapisan masyarakat, yaitu harus memastikan voucher diterima petani yang berhak. Dan jangan ada mark-up harga. Itulah pentingnya kebijakan HET (harga eceran tertinggi) yang selama ini sudah dipatok pemerintah.”
“Jangan hanya karena demand meningkat tajam, lantas pupuk dijual jauh diatas HET. Seperti yang terjadi sekarang, harga pupuk uera nonsubsidi mencapai 500 ribu di beberapa wilayah. Sedangkan di lapangan, banyak petani yang tetap setia pada pupuk urea. Meski mahal, pasti dibeli karena sudah menjadi preferensi (pilihan) mereka.” (red)