SURABAYA, beritalima.com – Upaya pengambilalihan tanah yang dilakukan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DKCTR) Pemkot Surabaya terhadap tanah milik PT Darmo Green Land (DGL) dinilai ngawur.
Dengan mengerahkan puluhan personil gabungan dan alat berat, Pemkot Surabaya meratakan tanaman di atas tanah seluas 725 meter persegi di salah satu pojok perumahan Green Garden Surabaya, Jumat (7/10). Alasan Pemkot, guna mengembalikan fungsi jalan sesuai putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) RI bernomor 133 PK/TUN/2015.
“Selain menjalankan putusan pengadilan tingkat PK, apa yang kita
lakukan ini guna penegakkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 tahun 2014 tentang Ketertiban Umum dan Perda 10 tahun 2000 tentang Fungsi Jalan,” kata
Ignatius Hotlan H, Kepala Sub Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Surabaya.
“Dalam putusan pengadilan disebutkan, pihak pengembang perumahan ini harus membongkar bangunan fisik yang terletak di obyek yang kita ratakan tersebut,” lanjutnya.
Akan tetapi, kata kuasa hukum PT DGL, Malvin Reynaldi, alasan penegakan Perda yang didalilkan Pemkot itu hanya untuk pembenaran. Menurutnya, pembongkaran tersebut merupakan tindakan yang melanggar Undang-Undang (UU).
“Pemkot telah mengambil alih paksa tanah kavling ber-SHGB itu tanpa
memberikan kompensasi terlebih dahulu sebagaimana diamanatkan putusan PK 133 dan UU nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi
kepentingan umum,” tegas Malvin.
“Tindakan itu patut diduga berpotensi melakukan penyerobotan tanah dari sudut pandang hukum pidana,” tandasnya.
Menurut Malvin, kliennya sebagai warga negara yang baik sudah melaksanakan apa yang tertuang dalam isi putusan. Isi putusan memerintahkan untuk membongkar pagar beton pembatas perumahan.
Putusan itu sudah dilaksanakan yang bersangkutan. “Sebelum pihak Pemkot kesini, klien kami sudah bongkar pagar yang tidak ber-IMB tersebut,” terang Malvin.
“Sebetulnya sudah tidak ada alasan lagi pihak Pemkot mengerahkan pasukan dan alat berat lagi, karena bangunan yang disoal sudah kita bongkar. Namun mereka masih ngotot,” tandasnya.
“Oleh karena itu, kami menduga mereka memanfaatkan momen ini untuk mengambil paksa tanah klien
kami. Padahal tanah tersebut memiliki sertifikat, dan klien kami bayar pajak sebesar Rp 8,9 juta tiap tahun,” ungkap Malvin.
Malvin menjelaskan, keputusan Majelis Hakim MA yang diketuai Dr H Supand SH MH sudah jelas disebutkan, pagar bagunan memang harus dibongkar, namun untuk mengambil alih SHGB Nomor 690 milik pengembang Pemkot harus memberikan kompensasi terlebih
dahulu kepada PT DGL selaku pemegang hak milik HGB yang sah. (Ganefo)
Teks Foto: Suasana proses pengambilalihan tanah PT DGL oleh Pemkot Surabaya.