Surabaya, beritalima.com –
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia selama ini sangat memprihatinkan banyak kalangan pemerhati hukum. Semua itu disebabkan, banyak peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan dan diterapkan di kehidupan masyarakat, ternyata justru menimbulkan problem baru.
Banyak terjadi, dalam penerapan peraturan tersebut, adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan, serta adanya aturan yang justru bertentangan dengan aturan di atasnya. Belum lagi, adanya peraturan itu justru menghambat investasi dan perkembangan di daerah.
“Semua itu terjadi, karena regulasi yang dibuat itu telah meninggalkan sumber dari segala sumber hukum kita, yaitu Pancasila,” ujar Prof. DR Widodo Ekatjahyana SH Mhum, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementrian Hukum dan HAM RI, di hadapan ratusan mahasiswa dan akademika Universitas DR Soetomo (Unitomo), saat Kuliah Terbuka, Minggu (30/4).
Kegiatan Kuliah Terbuka yang diselenggarakan oleh Magister Unitomo ini, mengambil tema ; Masalah dan Tantangan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Tema ini perlu mendapat perhatian dari Dekan FH Unitomo DR Siti Marwiyah, karena, saat ini banyak peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah justru tumpang tindih.
Menurut Prof. Widodo Ekajtahyana, dari data Bappenas, saat ini sekitar 42 ribu peraturan perundang-undangan dan sekitar 3 ribu peraturan daerah (perda), berindikasi bermasalah. Kondisi tersebut, tentu saja membuat Presiden RI Jokowidodo prihatin dan meminta, peraturan perundang-undangan yang berindikasi bermasalah tersebut harus dipangkas.
Kalau dibiarkan, semua itu bisa menghambat iklim investasi dan pembangunan, baik di daerah maupun di tingkat pusat. “Bapak Presiden meminta 50 % regulasi itu harus dipangkas,” ujar profesor yang kemarin genap berusia 45 tahun dan baru 8 bulan menjabat Dirjen ini.
Terjadinya peraturan perundang-undangan maupun perda yang banyak ditemukan bermasalah itu, menurut mantan dosen Unitomo ini, karena telah meninggalkan sumber dari segala sumber hukum kita, yaitu Pancasila. “Padahal, dalam Pasal 2 UU nomor 12 tahun 2011, jelas-jelas menyebutkan, kalau Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum,” ujar alumni Universitas Jember ini.
Belum lagi dengan keterbatasan dari Ditjen Peraturan Perundang-undangan dan Ditjen Harmonisasi Kementrian Hukum dan HAM, yang hanya diberi kewenangan untuk melakukan harmonisasi, terhadap tiga peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden. Sehingga tidak heran kalau akhirnya banyak peraturan yang jalan sendiri-sendiri, sesuai dengan kepentingan masing-masing pembuat peraturan.
Karena itulah, menurut Prof Widodo Ekatjahya, dirinya memiliki kewajiban untuk menyampaikan kepada masyarakat, khususnya akademika Unitomo untuk mengajak kembali kepada sumber dari segala sumber hukum kita, yaitu Pancasila. “Saya yakin, dengan kembali kepada Pancasila, tidak akan ada peraturan yang tumpang tindah, dan menghambat program pembangunan, baik di daerah maupun pusat,” ujarnya. (#)