KUPANG, beritalima.com – Sebanyak 25 orang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) se-daratan Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur mengikuti Sekolah Lapang Iklim – Sosialisasi Agroklimatologi, Provinsi Nusa Tenggara Timur selama dua hari, yakni sejak, 23 hingga 24 Mei 2019, Hotel Ima Kupang.
Dari jumlah 25 peserta yang mengikuti SLI terdiri dari tiga orang dari provinsi NTT, Kota Kupang empat orang, kabupaten Kupang 10 orang, Timor Tengah Selatan dua orang, Timor Tengah Utara dua orang, Belu dua orang, dan kabupaten Malaka dua orang.
Sekolah Lapang Iklim (SLI) – Sosialisasi Agroklimatologi Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Anggaran 2019 mengangkat tema “ Informasi Iklim yang Cepat, Tepat, Akurat, Luas dan Mudah Dipahami untuk Mendukung Ketahanan Pangan di Nusa Tenggara Timur”, dibuka Plt. Kadis Pertanian dan Ketahanan Pangan provinsi NTT, Miqdon Abolla.
Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah peningkatan pemahaman informasi iklim untuk para penyuluh pertanian lapangan, dan para praktisi iklim dan pertanian, sehingga diharapkan dapat memahami dampak negatif dari variabel iklim, serta bagaimana upaya adaptasi terhadap fenomena iklim untuk kegiatan usaha tani.
Materi yang disampaikan adalah penganalan informasi cuaca dan iklim, pengenalan dan pemanfaatan informasi iklim BMKG, mengenal alat ukur cuaca dan penangkap hujan sederhana, dan kearifan lokal dalam kaitannya dengan informasi atau proyek BMKG.
Kepala Stasiun Klimatologi (Staklim) Kelas II Kupang, Apolinaris S. Geru dalam sambutannya mengatakan, ada beberapa produk informasi rutin yang diterbitkan oleh BMKG diantaranya adalah prakiraan hujan bulanan, musim hujan, musim kemarau, informasi hari tanpa hujan, dan prediksi tentang kekeringan. Informasi itu rutin secara rutin dirilis oleh BMKG.
“ Kegiatan SLI – Sosialisasi Agroklimatologi ini merupakan suatu alat untuk bagaimana transformasi BMKG yang bersifat teknis bisa disederhanakan dan mudah dipahami oleh petani kita. Ini tugas bapak/ibu yang adalah sebagai mediator,” kata Geru menambahkan.
Ia mengatakan, keberhasilan sektor pertanian tergantung dari berbagai hal, yaitu selain teknis kegiatan agronomis , juga salah satunya adalah iklim. Sebagaimana kita ketahui bersama dengan adanya perubahan iklim, yang sudah, sedang dan akan terjadi ini sektor pertanian adalah satu sektor yang sangat rentan sebagai dampak dari perubahan iklim.
“ Jadi pemahaman tentang perubahan iklim yang berkaitan dengan operasional pertanian sangat penting. Untuk itu, diharapkan peserta ini setelah mengikuti kegiatan ini dapat dipahami dengan baik, kemudian bisa berbagai informasi kepada petani binaan kita yang ada di lingkup kerja kita,” ujarnya.
Kepala Bidang Diseminasi, Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Pusat, Hary Tirto Djatmiko mengatakan, kegiatan kali ini merupakan kegiatan yang sejak tahun 2011, dimana pemerintah memandang perlu menyikapi tantangan iklim ekstrim terkait denganketahanan pangan nasional, sehingga diterbitkanlah instruksi Presiden No. 5 Tahun 2011, tentang pengamanan produksi beras nasional dalam menghadapi kondisi iklim ekstrim, yang melibatkan 36 kementerian/lembaga, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.
Terkait hal tersebut, kata dia, BMKG bertugas memberikan informasi peringatan dini iklim, baik itu ekstrem maupun yang rutin, serta mendiseminasikan ke instansi terkait khususnya kementerian pertanian, dinas pertanian dan penyuluh pertanian yang selama ini secara reformasi itu ditinggalkan.
“ Maka kita menggandeng lagi penyuluh pertanian itu diberikan edukasi terkait perkembangan informasi, baik cuaca maupun iklim di BMKG. Mandat tersebut, diperkuat dengan Nawacita juga menekankan pentingnya kemandirian negara dalam suasana pangan,” kata dia menambahkan..
Ia mengatakan, SLI hingga 2018 secara nasional telah menjangkau lebih dari 9000 peserta dari penyuluh pertanian, pemerintah daerah, babinsa, dan petani di seluruh Indonesia.
“ Jadi SLI dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama targetnya berasal dari pemerintah daerah, babinsa, dan dinas pertanian. Kemudian tahap kedua, pesertanya para penyuluh pertanian, penyuluh pertanian lapangan (PPL). “ Yang mana PPL ini lah yang menjadi jembatan informasi atau ujung tombak menyamapikan informasi BMKG, menterjemahkan informasi BMKG kepada petani,” jelasnya.
Dan tahap ketiga, merupakan sosialisasi PPL kepada petani, yang sudah terdiri dari SLI tahap dua dan akan turun ke tahap selanjutnya, yaitu SLI tahap tiga bersama dengan petani, sehingga informasi BMKG bisa berkolaborasi dengan baik.
Menurut Hary, SLI sudah diadopsi ke Badan Meteorologi dunia dan sudah menjadi tempat studinya negara – negara berkembang yang lain. Melalui SLI ini BMKG menjad contoh untuk negara – negara berkembang khususnya Asia Fasifik, yakni Timor Leste dan Pakistan sudah menjadi agenda tahunan.
Sementara itu, Plt Kadis Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT, Abdon Abolla ketika membuka SLI mengatakan, dalam lima tahun terakhir ada lonjakan peningkatan produksi padi yang luar biasa. “ Kalau tahun 2015, produksi padi kita mencapai 940 ribu ton, maka hari ini produksi padi kita di atas satu juta ton. Dan itu bagian dari kontribusi kita yang ada, termasuk para petani kita yang harus kita perjuangkan,” ujarnya.
Tetapi kalau dari sisi produksi, kalau kita bicara angka maka ternyata peningkatan produksi itu lebih besar merupakan kontribusi perluasan areal tanam, perluasan areal panen, bukan peningkatan produktivitas.
“ Kenapa produktivitas kita masih stagna? Kalau kita bicara padi 3,4 per-hektar. Kenapa produktivitas kita tidak naik, mungkin berkaitan dengan ketepatan waktu tanam, mungkin berkaitan dengan ketersediaan air karena isu pemanasan global dan segala macam, mungkin berkaitan dengan isu hama penyakit, juga isu lingkungan dan seterusnya. Ini yang menjadi bahan diskusi nanti para peserta,” kata dia menjelas. (L. Ng. Mbuhang)