SURABAYA – beritalima.com, Kasus dugaan penipuan penjualan tanah di Desa Tambakrejo, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo dengan terdakwa Mochmad Fauzi saat ini sudah bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.
Tobbyias Ndiwa, ketua tim pengacara terdakwa Mochamad Fauzi menilai dakwaan jaksa mestinya tidak sah dari awal atau Null and Void sebab semua dokumen perjanjian perdata tidak disertakan dalam berkas perkara tersebut. Kata dia, dokumen yang tidak disertaka adalah, kronologis perkara antara H.Mustofa dan Stevanus Sulaiman terkait LP di Polda Jatim 24 Februari 2018. Perjanjian antara H.Mustofa beserta ahli waris lainya dengan Mochamad Fauzi. Dan Akta Notaris Erma Zahro Noor berwujud kuasa mengurus dari ahli waris kepada Mochamad Fauzi yang didalamnya ada clasual kewajiban PT. Salay Bumi.
“Sebenarnya klien kami sudah membeberkan semua bukti-bukti tersebut saat diminta penyidik sejak proses penyelidikan sampai penyidikan di Polrestabes Surabaya, sebab bukti-bukti keperdataan tersebut adalah bagian dari fakta hukum yang tidak dapat dipisahakan,” kata ketua tim pengacara Mochamad Fauzi dalam pers rilisnya, Sabtu (10/10/2020).
Menurut Tobbyias, akibat bukti materill yang dikaburkan dalam berkas perkara tersebut, penuntut Umum dalam surat dakwaanya membuat konstruksi hukum yang mengkait-kaitkan urusan perkara Stevanus Sulaiman dan H.Mustofa dengan kliennya yang sebetulnya tidak mempunyai hubungan hukum dengan keduanya.
“Dakwaan Jaksa tidak berdasarkan fakta hukum yang sebenarnya. Justru disini Mustofa lah yang meminta tolong kepada klien kami akibat ia dilaporkan Stevanus Sulaiman di Polda Jatim dalam perkara SHM No 1017. Dari persoalan keduanya itu lahirlah perjanjian antara H.Mustofa bersama ahli warisnya dengan klien kami untuk mengurus tambak SHM No 1017 sekaligus menjual, yang belakangan muncul pembeli Victor Salay.” sambungnya.
Dalam rilisnya, Tobbyias juga mempertanyakan alasan Jaksa dalam dakwaan menyebutkan Pethok D seolah-olah menjadi obyek jual beli antara kliennya dengan Victor sebagai obyek perkara yang dilaporkan. Padahal menurutnya obyek jual beli sebenarnya adalah tambak SHM No 1017 yang terletak di Desa Tambakrejo, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo dengan luas 40.245 Meterpersegi.
“Pethok D itu hanya jaminan pribadi dari klien kami yang diminta Victor sebagai syarat tambahan agar ia mau membayar DP sebesar 5 miliar. Pertanyaannya, apabila tak ada jaminan pribadi dari klien kami apakah mungkin Victor mau membayar DP 5 miliar, kan belum tentu dengan nilai sebesar itu. Nah, setelah sepakat, belakangan ada penambahan menjadi 7,725 miliar yang diminta untuk mengurus kelengkapan surat-surat dan pengembalian batas. DP itu kan atas permintaan dan sepengetahuan Victor, bukti surat-surat Pethok D juga tidak disertakan dalam berkas perkara,” masih kata Tobbyias.
Diceritakan Tobbyias, awalnya kliennya keberatan menjaminkankan Petok D itu. Namun karena percaya akhirnya dia mau saja meski ada syarat tambahan yang diminta Victor. Sebab menurut kliennya, nilai Pethok D itu diperkirakan seharga 20 miliar, jauh lebih lebih besar dari DP yang dibayarkan Victor kepadanya.
“Entah kenapa ditengah perjalanan kok tiba-tiba klien kami dilaporkan di Polrestabes Surabaya dengan pasal 378 dan 372 KUHP. Loh apa yang ditipu dan digelapkan,? SHM No 1017 ada koq di Notaris Maria Baroroh, Victor sendiri sudah tahu persis kondisi dan status tambak tersebut yang sedang bersengketa antara H.Mustofa dan Stevanus Sulayman, termasuk adanya laporan Polisi di Polda Jatim sebelum transaksi itu terjadi,” kisahnya.
Victor tetap saja mau membeli dari negosiasi awal Victor minta 35 milair namun di tolak kliennya, lalu mau bayar 40 miliar dengan catatan meminta jaminan pribadi pada klienya.
“Klien saya hanya sebagai pihak yang dikuasakan ahli waris, tugasnya mengurus sekaligus mencari pembeli. Klien kami tidak mempunyai hubungan hukum dengan keduanya. Bukan klien kami yang mendatangi Victor, tetapi pihak Victor lewat orang suruhanya yang bernama Viki menanyakan apakah tambak SHM No 1017 mau di jual, itu cerita awalnya. Lalu dimana letak iming-iming dan niat terdakwa untuk menipu,?” sambung Tobbyias.
Bukan itu saja, Tobbyias juga bertanya uang apa yang digelapkan kliennya, sebab DP awal 5 miliar yang diterima kliennya yang 1,5 Miliar diperuntukan untuk pengembalian DP Stefanus Sulaiman yang diminta H. Mustofa terkait ia dilaporkan di Polda Jatim.
“Konon lahir akta perdamaian antara Stevanus Sulaiman dan Mustofa, yang dalam clasualnya, pihak H.Mustofa harus membayat ganti rugi senilai 5 miliar yang kepada Stevanus. Logikanya, apabila H.Mustofa ingkar janji terhadap akta perdamaian yang telah dibuat, kan Stevanus bisa kembali mengaktifkan laporan polisi terhadap Mustofa di Polda Jatim dalam dugaan tindak pidana 378 dan 266 KUHP,” lanjutnya.
Sebenarnya, papar Tobbyias, perjanjian Jual Beli antara H.Mustofa dan Stevanus Sulayman sudah mengarah pada pembatalan, apabila Mustofa mengembalikan DP senilai 1,5 miliar sekaligus nanti akan mencabut laporan polisi di Polda Jatim. Justru pada saat Mustofa kesulitan mengemblikan DP 1,5 miliar kepada Stevanus Sulaiaman, H.Mustofa dan ahli waris lainya yang minta tolong kepada kliennya untuk mengurus obyek No SHM 1017. Dengan tujuan apabila kliennya mendapatkan pembeli, maka sebagian uang hasil transaksi obyek SHM 1017 untuk pengembalian DP 1,5 miliar kepada Stevanus Sulaiman.
“Hal itu sudah dilakukan klien kami. Lebih aneh lagi Stevanus Sulaiman juga dijadikan salah satu saksi oleh pelapor Victor yang tertuang dalam berkas perkara klien kami. Padahal Stevanus Sulaiman tidak mempunyai hubungan hukum apapun pada jual beli SHM No 1017 antara klien kami dengan Victor. Apa urgensi Stevanus Sulaiman dalam hal ini,?” paparnya.
Dalam akta perdamaian antara Stevanus Sulaiman dan H. Mustofa, mengenai obyek SHM No 1017, Stevanus Sulaiman minta ganti rugi 5 miliar, sedangkan DP yang dibayarkan kepada H.Mustofa baru sebesar baru 1,5 miliar dan itupun secara beberapa tahap yang berujung H.Mustofa dilaporkan Steven Sulaiman di Polda Jatim.
Lucunya lagi, laporan polisi Victor terhadap klien kami dari DP 5 miliar yang dibayarkan Victor, klien kami memberikan 1,5 miliar pengembalian milik Stevanus, lalu 1,5 miliar diberikan kepada keluarga ahli waris Mustofa, dan 2 miliar untuk keperluan klien kami sendiri.
Hal itu wajar karena selain menerima kuasa penuh, klien kami juga telah menjaminkan Pethok D miliknya senilai 20 miliar. Artinya lebih dari DP yang dibayarkan Victor. Namun yang dilaporkan Victor justru hanya klien kami seorang, tetapi keluarga ahli waris H. Mustofa tidak dilaporkan. Padahal H Mustofa dan ahli waris ikut menikamti sebagian dari DP 5 milar tersebut. Anehnya lagi H.Mustofa dan beberapa ahli waris lainya dijadikan Saksi oleh Victor dalam laporanya.
“Padahal para ahli waris bisa mengenal Victor karena atas peran klien kami, orang yang menegoisasi jual beli tambak SHM No 1017 sampai terjadinya transaksi. Dimana sebelumnya Musofa tidak mengenal victor. Kemudian keluarga Ahli waris H.Mustofa ikut menjadi saksi victor sebagai Pelapor di Polrestabes Surabaya, lalu memutus kuasa mengurus secara sepihak, tidak lagi melalui notaris Erma Zahro Noor, tempat dimana akta kuasa mengurus itu dibuat,” paparnya.
Meskipun dari kuasa mengurus itu akhirnya terjadi transaksi terdakwa dengan Victor. Dengan Jaminan Pethok D milik klien kami lah, ahli waris bisa menikmati sebagian uang DP 5 miliar, dan membantu penyelesaian perkara antara H.Mustofa dengan Stevanus Sulaiman di Polda Jatim.
“Logika hukumnya, mengapa Victor tidak ikut melaporkan H.Mustofa beserta ahli warisnya ? Dari kejanggalan-kejanggalan sejak awal proses penyelidikan, penyidikan sampai kepada pelimpahan menurut kami penasihat hukum terdakwa, kami mencurigai adanya dugaan sengaja untuk mengkriminalisasi terhadap klien kami oleh oknum-oknum tertentu,” pungkas Tobyias Ndiwa. (Han)