Tradisi ‘Kupatan’ di Durenan, Wujud Eksistensi Estafet Dahwah Islam

  • Whatsapp

TRENGGALEK, beritalima.com –

Hari Raya Ketupat atau jamak disebut Kupatan, merupakan salah satu budaya turun temurun yang tetap eksis digelar hingga saat ini oleh warga sekitar wilayah Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek. Ribuan masyarakat pun antusias datang dari penjuru kawasan Jawa Timur demi bersilaturahmi sekaligus memeriahkan tradisi tersebut.

Selain memang disediakan makanan berupa ketupat gratis ditiap rumah, diantara keunikan lainnya (tradisi Kupatan) terletak pada arak-arakan dua tumpeng raksasa. Tumpeng-tumpeng itu berisi ketupat lengkap beserta sayurnya yang bawa keliling sesuai rute dengan ratusan orang sebagai pengiring.

Diawali dari kediaman Kepala Desa Durenan, para santri dan masyarakat mengarak tumpukan ketupat-ketupat raksasa tersebut menuju ke Pondok Pesantren Babul Ulum. Sesampai di sana, pengasuh pondok kemudian memberikan doa keselamatan bagi hadirin serta seluruh bangsa Indonesia.

Dari situ, dibawalah (kedua tumpeng) menuju ke lapangan dekat pondok untuk diperebutkan oleh siapa saja.

Kepada awak media, Pengasuh Ponpes Babul Ulum, KH Abdul Fattah Mu’in menyebut jika pada awal mulanya acara kupatan itu hanya dilakukan anggota keluarga dalam lingkungan pondok. Akan tetapi, seiring waktu berjalan sampai kepada generasi keempat akhirnya bisa meluas dan berkembang ditengah masyarakat hingga kini.

“Tradisi peringatan Hari Raya Ketupat atau Kupatan ini sudah dilakukan sejak 200 tahun lalu. Dimulai dari kakek saya yakni Mbah Mesir,” sebut KH Abdul Fattah Mu’in di area Ponpes Babul Ulum, Durenan, Rabu 17 April 2024.

Menurut dia, dulu keluarganya memiliki tradisi untuk melakukan puasa Syawal selama 6 hari dimulai sejak hari kedua Idul Fitri. Barulah, setelah hari kedelapan di bulan Syawal menerima tamu dengan menghidangkan ketupat sebagai salah satu bentuk jamuan.

“Dahulu, keluarga dipondok (keluarga KH Abdul Fattah Mu’in) selalu menjalankan puasa sunah selama 6 hari yang dimulai setelah hari kedua lebaran. Baru di hari ke-7 menerima tamu untuk bersilaturahmi dengan menghidangkan ketupat beserta sayurnya,” jelasnya.

Masih kata Kyai Mu’in sapaan akrabnya, meski banyak daerah lain yang juga merayakan Kupatan namun ada beberapa hal mendasar sebagai pembeda. Yakni, adanya budaya silaturahmi atau sowan kepada kyai dan antar warga dilingkungan Durenan.

“Rata-rata didaerah lain, Kupatan lebih identik dengan berbagai hiburan sebagai penarik pengunjung agar mau datang. Tapi kalau di sini (daerah Durenan) walau tidak ada hiburan macam-macam tetap ramai yang bersilaturahmi,” pungkas Kyai Mu’in.

Sebagai informasi, bahwa Tradisi Hari Raya Ketupat atau Kupatan yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat di Jawa pada umumnya merupakan salah satu bentuk representasi melestarikan estafet dakwah. Yaitu, usaha yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu dalam menyebarkan agama Islam di Jawa dengan tetap menggunakan budaya lokal agar mudah diterima masyarakat. Seiring perkembangan zaman, tradisi inipun (Kupatan) semakin meluas hingga ke beberapa wilayah di Jawa Timur. Salah satunya di kecamatan Durenan, kabupaten Trenggalek.

Salah satu perintisnya adalah Kyai Abdul Masyir atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Mesir. Penyebutan nama Mbah Mesir dikarenakan lidah orang Jawa yang selalu melafalkan huruf-huruf asli (Arab) dengan vokal lidah Jawa, sehingga nama Abdul Masyir berubah menjadi Mbah Mesir.

Setelah Mbah Mesir wafat, tradisi ini tetap dihidupkan oleh tokoh-tokoh penerusnya, yakni, KH. Imam Mahyin, KH. Ahmad Mu’in dan KH. Abdul Fattah Mu’in. Kini, tradisi kupatan terus dilanjutkan oleh masyarakat Durenan secara alami tanpa adanya intruksi dari seorang kyai. (her)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait