Tuhannya Einstein dan Landscape Agama

  • Whatsapp

Serial Spiritualitas Baru Abad 21
Narasi Ilmu Pengetahuan

Denny JA

Di tahun 1936, seorang gadis cilik bernama Phylis, menulis surat kepada Einstein, jenius ilmuwan yang saat itu sedang melambung.

Phylis bercerita bahwa ia kelas 6 SD. Bersama temannya mereka berdiskusi bisakah kita percaya pada Tuhan dan pada Ilmu sekaligus? Einstein yang baik, tulis Phylis. Apakah ilmuwan juga berdoa? Jika berdoa, mereka berdoa kepada siapa? (1)

Di luar dugaan, Einstein membalas surat itu. Ujar Eisntein, ilmuwan selalu berpikir. Dibalik kejadian alam dan tindakan manusia, berkerja sebuah hukum sebab akibat. Ilmu pengetahuan memberikan penjelasan soal sebab akibat itu.

Tapi, balas Einstein lagi, ilmu pengetahuan tidak sempurna. Tidak semua hal bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan. Karena itu ada ruang bagi kepercayaan, bagi Iman, bagi Agama. Walau ilmu pengetahuan semakin maju, selalu ada ruang untuk keyakinan.

Tambah Einstein lagi. Ilmuwan juga religius, tapi untuk jenis yang lain. Religiusitas ilmuwan berbeda dengan religiusitas orang awam.

Setelah membalas surat itu, Einstein semakin banyak bicara keyakinannya soal Tuhan. Jelaslah Einstein bukan Atheis. Tapi Einstein juga tidak meyakini Personal God, Tuhan yang membela sebuah kaum hingga mengatur cara wanita berpakaian. Einstein juga tak meyakini Tuhan yang menyediakan surga dan neraka untuk mengelola manusia.

Ujar Einstein, Tuhan yang aku yakini adalah Tuhan yang diyakini Spinoza. Filsuf bernama Spinoza ini hidup di tahun 1632-1677.

Spinoza sangat percaya Tuhan. Baginya, Tuhan ada dalam segala sesuatu. Tak ada eksistensi di luar Tuhan. Tapi ini Tuhan yang impersonal. Ini Tuhan yang mengejawantah dalam hukum alam dan hukum semesta.

Untuk mengetahui Tuhan, menurut Spinoza, bukan dengan mencarinya dan mempelajari kitab suci. Tuhan dikenali justru dengan mempelajari hukum hukum yang mengatur alam. Tuhan didekati justru dengan mendalami hukum hukum yang mengatur hati manusia. (2)

Tuhan justru harus dikenali dengan ilmu pengetahuan.

Spinoza juga Einstein, memilih percaya pada Tuhan yang bukan Personal God, bukan yang mengintervensi hidup manusia. Mereka juga bukan Atheis, baik konsep lama dan baru. Mereka juga bukan Agnostik, yang tak tahu apakah Tuhan ada atau tidak. Tapi mereka sejenis Pantheis: Tuhan ada tapi impersonal.

Mereka meyakini, merenungkan keindahan dan misteri semesta juga menimbulkan religiusitas sendiri. Itu tak kalah syahdunya, walau tanpa harus berspekulasi tentang hal gaib yang tak bisa dijelaskan ilmu pengetahuan.

Tentu saja Einstein tidak mewakili keseluruhan sikap ilmuwan. Persepsi Tuhan dan agama, bahkan di antara sesama pemenang Nobel, juga beragam.

-000-

Apa yang diyakini Einstein, Spinoza dan banyak penganut sejenis ikut diteliti oleh Pew Research Center. Di tahun 2010, lembaga ini meneliti soal landscape agama pada 230 negara. (3)

Yang menarik, “Agama” terbesar ketiga setelah Kristen dan Islam adalah “Non-Affiliated.” Komunitas terbesar ketiga adalah mereka yang tak mengidentifikasi diri pada agama manapun. Jumlah mereka sudah lebih banyak dibandingkan penganut agama Hindu, Budha, apalagi yang lainnya.

Total jumlah mereka yang tidak mengidentifikasi dengan agama sebanyak 1, 1 milyar manusia. Atau sekitar 16,3 persen dari seluruh populasi dunia (6,9 milyar penduduk).

Mereka adalah kumpulan banyak jenis keyakinan. Kesamaan mereka hanya satu: sama sama tidak mengidentifikasi diri dengan agama apapun yang ada.

Sebagian dari mereka seperti Eisntein dan Spinoza, percaya Tuhan tapi tak percaya agama. Sebagian Atheis. Sebagian Agnostik.

Dimana mereka berada? Sebanyak 700 juta populasi yang tak mengidentifikasi dengan agama berada di Cina. Tak kurang 72 juta tinggal di Jepang. 52 juta tinggal di Amerika Serikat. Sisanya menyebar di negara Eropa dan sebagainya.

Bisa dikatakan, 52 persen penduduk Cina tidak mengidentifikasi dengan agama. Total 57 persen penduduk Jepang juga tak mengidentifikasi dengan agama. Sedangkan di Amerika Serikat, jumlah yang tak mengidentifikasi diri dengan agama sebanyak 16,4 persen dari populasi.

Agama terbesar dunia tetap Kristen, sejumlah 31.5 persen dari populasi dunia. Mereka hidup mayoritas di 157 negara. Sebanyak 50 persen dari Kristen ini adalah Roman Katolik. Sisanya terpecah ke dalam banyak aliran Protestan.

Agama terbanyak kedua adalah Islam, sejumlah 23 persen. Penduduk Islam dominan mayoritas di 49 negara. Agama Islam juga terpecah ke dalam Sunni (87 persen) dan Syiah (13 persen).

Gabungan penganut Islam dan Kristen sudah menguasai 54 persen populasi dunia. Jika ditambah penganut agama Hindu dan Budha, jumlah mereka sekitar 75 persen populasi dunia.

Di luar empat agama itu, bertaburan ribuan keyakinan yang disebut Folk Religion: agama atau kepercayaan leluhur. Usia kepercayaan ini acapkali bahkan lebih tua dibandingkan agama. Sebanyak 405 juta populasi dunia, atau sekitar 6 persen, meyakini Folk Religions, yang menyebar terutama di Negara Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Sebanyak 58 juta populasi dunia atau sekitar 1 persen meyakini agama lain, yang paling tua seperti Zoroaster (sebelum Judaisme), dan termasuk yang paling muda seperti Baha’ism (lahir di abad 19).

Total jumlah agama yang kini diyakini tujuh miliar populasi Homo Sapiens sebanyak 4300 (3). Begitu beragam konsep Tuhan, konsep baik dan buruk, yang terhidang di abad 21.

-000-

Apa beda Spiritualitas dengan Agama? Ini pertanyaan berikut yang layak diajukan setelah melihat begitu banyak agama yang kini tersedia.

Spiritualiitas adalah renungan mengenai masalah eksistensial manusia. Siapakah Aku? Mengapa Aku dilahirkan? Bagaimana asal usul kehidupan? Dimana ujung dari semesta?

Apakah ada kehidupan setelah mati? Apa itu baik dan buruk? Siapa yang harus dipatuhi. Adakah Yang Maha?

Sejauh yang bisa dilacak oleh fosil, manusia (Homo Sapiens dan Homo Naenderthal) sudah mengembangkan imajinasi mencari makna hidup sejak 100 ribu tahun lalu. Di tahun 1908, ditemukan fosil di dekat La Chapelle- Aux Saints, Perancis. (4)

Di samping tulang belulang, ditemukan pula benda lain yang dimakamkan bersama tubuh manusia, seperti kalung. Diduga itu bentuk ritus karena manusia sudah mengembangkan imajinasi soal kehidupan setelah mati. Kalung itu sebagai bekal yang mati di alam berikutnya.

Dari karbon dating, diketahui usia fosil itu sekitar 100 ribu tahun lalu. Ia bukan dari Homo Sapiens yang kini hidup. Fosil itu dari Homo Naenderthal yang sudah punah 60 ribu tahun lalu.

Spiritualitas yang didefinisikan sebagai renungan eksistensial itu melekat pada otak manusia. Agama adalah jawaban atas renungan spritual itu. Jawaban Agama juga berevolusi sesuai perkembangan kesadaran manusia.

Walaupun kita meyakini YANG MAHA itu tak berubah, tapi sepanjang sejarah, Homo Sapiens mendefinisikan Yang Maha itu berevolusi.

Sama pertanyaannya: Siapakah Aku? Mengapa Aku di sini? Siapakah penguasa tertinggi semesta? Renungan spiritualnya sama: yang ini- ini juga. Tapi jawaban Homo Sapiens sepanjang peradaban berevolusi mulai dari Animisme, Pantheisme, Monotheisme.

Bahkan kini di abad 21, konsep Tuhan juga tumbuh menjadi Personal God, Impersonal God, Agnostik, Deisme, Pantheisme, dan sebagainya.

Spiritualitas adalah renungannya. Agama yang jumlahnya 4300 (5) itu adalah jawabannya.

-000-

Homo Sapiens kini terbelah dalam 4300 agama, 195 negara dan 6500 kelompok bahasa. Tapi Interaksi homo sapiens semakin intens akibat revolusi teknologi abad 21.

Saatnya generasi kita mendengungkan kembali kesatuan Homo Sapiens: Satu Bumi, Satu Homo Sapiens, Satu Spiritualitas.

Di balik perbedaannya, Homo Sapiens ini pencari makna yang sama. Mereka sama ingin dicintai, mencintai. Mereka sama bisa kesepian dan menderita.

Hak Asasi Manusia menjamin mereka boleh meyakini apa saja dari 4300 agama itu. Bahkan boleh juga tak meyakini apapun berdasarkan evolusi kesadarannya sendiri. Keyakinan tak bisa dipaksakan.

Tapi kini datang spiritualitas baru, spiritualitas abad 21. Ia menjawab ultimate question yang sama. Siapakah Aku? Bagaimana hidup bermakna? Apa tujuan hidup?

Bedanya, spiritualitas abad 21 membatasi diri memberi panduan makna hidup bahagia sejauh sudah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan.

Kita menyebutnya Spiritualitas Baru Abad 21 dengan narasi ilmu pengetahuan. Ia tidak menggantikan agama. Ia hanya menyatukan Homo Sapiens kembali.

Kesatuan sesama manusia. Kesatuan manusia dengan lingkungan. Kesatuan manusia dengan semesta dan Tuhan, acap menjadi renungan Jalaluddin Rumi.

Ujar Rumi: “Kita adalah satu. Semua di alam semesta ada di dalam jiwamu.” Atau “Berbagai lampu memang beda. Tapi cahaya yang memancar di sana sama.

Renungan Rumi yang lain. “Tempatku tiada bertempat. Jejakku tiada berjejak. Satu kita bersumber. Satu kita menuju.”

Ya, kita satu. Satu Bumi. Satu Homo Sapiens. Satu Spiritualitas.***

Juni 2020

(Bersambung)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait