Indonesia telah mencapai tingkat akses hampir universal untuk pendidikan dasar, namun 3 dari 10 anak dengan disabilitas tidak pernah mengenyam pendidikan.
JAKARTA, Beritalima.com|
Makalah global baru dari UNICEF yang dirilis hari ini menyoroti ketimpangan besar dalam sebaran penggunaan dana pendidikan di seluruh dunia dan dampak negatif hal ini terhadap kehadiran, partisipasi, serta kesempatan belajar anak-anak yang paling membutuhkan dukungan.
Makalah berjudul Addressing the learning crisis: an urgent need to better finance education for the poorest children (Mengatasi krisis belajar: kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pembiayaan pendidikan bagi anak-anak termiskin) menunjukkan bahwa dana pendidikan yang terbatas dan sebaran penggunaannya yang tidak merata mengakibatkan kelas dengan jumlah murid besar, guru yang tidak terlatih, kekurangan bahan ajar, dan prasarana sekolah yang tidak memadai.
Di Indonesia, tantangan mewujudkan pendidikan inklusif meliputi kurangnya pelatihan untuk guru, data yang tidak lengkap untuk anak dengan disabilitas—khususnya yang berada di luar sekolah—dan pandangan keluarga bahwa anak dengan disabilitas tidak akan merasakan manfaat pendidikan sebesar anak tanpa disabilitas.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2018 mengindikasikan bahwa, di Indonesia, hampir 3 dari 10 anak dengan disabilitas tidak pernah mengenyam pendidikan. Saat ini, anak usia 7-18 tahun dengan disabilitas yang tidak bersekolah mencapai angka hampir 140.000 orang.
Mereka yang bersekolah pun menunjukkan kesenjangan yang signifikan dalam hal capaian pendidikan. Hanya 56 persen anak dengan disabilitas yang tamat sekolah dasar dibandingkan 95 persen anak tanpa disabilitas. Kesenjangan ini terus muncul pada tingkat yang lebih tinggi, dengan 26 persen anak dengan disabilitas yang menyelesaikan jenjang SMA dibandingkan 62 persen anak tanpa disabilitas.
“Anak dengan disabilitas masih terus kehilangan kesempatan mendapatkan pendidikan, suatu kesempatan yang amat penting agar mereka dapat mewujudkan potensinya dan mengatasi hambatan-hambatan inklusi,” ujar UNICEF Representative Debora Comini. “Tanpa sistem pendidikan yang lebih inklusif, kecil kemungkinannya mereka akan dapat mempelajari pengetahuan dan kecakapan untuk berkembang dan berkontribusi membangun masyarakat yang lebih sejahtera dan dinamis.”
Bagi banyak orang, pendidikan untuk anak dengan disabilitas masih didefinisikan secara sempit dalam lingkup sekolah luar biasa dan bukan pendidikan inklusi di sekolah reguler. Secara umum, dalam pendidikan inklusif, anak dengan disabilitas seharusnya dapat mengikuti sekolah regular yang terdekat dengan rumahnya dan belajar bersama anak-anak lain. Sebab, hambatan dalam tumbuh kembang wajar seorang anak dapat menimbulkan konsekuensi yang lebih berat dibandingkan disabilitas itu sendiri.
UNICEF menyoroti lima perubahan yang harus dicapai untuk melindungi hak semua anak dalam mendapatkan pendidikan dan untuk memberikan dukungan yang memadai kepada anak dengan disabilitas:
Pemahaman yang lebih baik dan komitmen untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif pada semua tingkat pendidikan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya peraturan dan kebijakan yang melindungi hak semua anak terhadap pendidikan yang secara eksplisit mencantumkan anak dengan disabilitas serta alokasi anggaran dan sumber daya manusia yang merata.
Pendidikan inklusif secara eksplisit disebutkan sebagai topik kunci dalam pengembangan profesi guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah.
Pelembagaan prosedur untuk menjaga, mencegah perundungan dan penganiayaan, dan memastikan anak terlindungi yang tersedia di semua sekolah.
Ketersediaan dan replikasi model pendidikan inklusif yang efektif dan terbukti berhasil.
Perubahan positif dalam sikap pembuat kebijakan, penyedia layanan pendidikan, orang tua, dan masyarakat luas terhadap pemenuhan hak-hak anak dengan disabilitas.
Meski tingkat partisipasi sekolah meningkat signifikan dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat sekitar 4,2 juta anak usia 7-18 tahun yang tidak bersekolah. Ketimpangan mendalam dari segi sosial-ekonomi dan geografis pun masih ada. Dibutuhkan perhatian lebih besar untuk anak-anak ini agar tujuan pendidikan berkualitas yang inklusif dan merata, sebagaimana disebutkan dalam Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, dapat dicapai.
“Saat semua anak—lepas dari jenis kelamin, suku, latar belakang atau keadaan—sejahtera, kita semua sejahtera. Titik ini adalah momen yang sangat penting bagi Indonesia yang sedang memprioritaskan pengembangan sumber daya manusianya agar dapat bersaing di abad ke-21.”(yul)