beritalima.com | Ngeri. Tidak sederhana. Kerusuhan Papua, yang dipicu hoaks dan kenyataan di Surabaya dan Malang. Untuk meredakan Papua, Jokowi harus mewujudkan dirinya sebagai Sudra, Satria, dan Brahmana. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer. Kerusuhan di Papua bukan peristiwa spontan. Bukan.
Untuk menjadi pemimpin di Indonesia harus memraktikkan tiga karakter/sifat: Sudra, Satria, Brahmana. Eyang saya Presiden Soeharto contohnya. Dia secara cerdas nan culas mengidentifikasi dirinya sebagai anak petani (Sudra).
Dia berpura-pura berasal dari wong cilik. Kedok. Sebagai Satria/Ksatria dia adalah bekas anggota KNIL. Sebagai Brahmana dia seolah jadi Semar. Nan bijak. Santun. Smiling. Anehnya, dia menjauhi sifat Semar sesungguhnya: Kejam. Cruel! Dialah yang melahirkan akar masalah di Papua dan membangun rezim korup.
Maka, rezim korup itu, setelah 21 tahun eyang saya Presiden Soeharto lengser keprabon, tetap susah untuk diberangus. Rezim korup itu masif bergerak melawan siapa pun yang mengusik kepentingan ekonomi mereka. Jokowi masuk daftar yang dibenci.
Hanya Gus Dur dan Jokowi yang secara masif perlawanan terhadap rezim korup dilakukan. Konsekuensinya Gus Dur diturunkan. Jokowi pun diganggu.
Jokowi dan Gus Dur menjadi Ksatria yang melawan Dajjal modern. Rezim korup, geng mafia yang bersatu padu bersama teroris, bandar narkoba, dan penganut khilafah. Kolaborasi yang tidak sederhana. Nyata. Kenapa?
Mereka para penjahat negara, yang menikmati kerusuhan, instabilitas agar bisa melakukan praktik pencurian, maling, dan menyebarkan narkoba, aksi teroris, bahkan dengan kedok. Mereka menghalalkan untuk membunuh, merampok, memerkosa, maling, korupsi. Dalilnya?
Pemerintahan selain khilafah adalah thoghut. Maka boleh korupsi untuk perjuangan. (Itulah bahayanya orang-orang penganut HTI dan khilafah, Ikhwanul Muslimin, Wahabi, Salafi jika berkuasa di pemerintahan).
Oleh karena itu, Jokowi sebagai Sudra bisa – karena Jokowi lahir dari kalangan rakyat jelata. Kelas pekerja. Pernah kerja di hutan Aceh. Sebagai Satria/Ksatria (seperti Gus Dur), penegak keamanan, penegak keadilan, pemimpin masyarakat, pembela kaum tertindas atau kaum lemah. Jokowi masif membangun ekonomi Papua. Cukup? Tidak.
Dalam menangani Papua, Jokowi harus bertindak sebagai Brahmana, seperti Gus Dur. Dia mendengarkan kata hati orang Papua. Merangkul. Kehadiran militer tetap sangat dibutuhkan untuk melawan OPM. Kehadiran militer dan polisi adalah wujud kehadiran negara. Papua adalah bagian dari NKRI.
Kondisi yang aman nyaman dan damai amat merugikan bagi pemilik modal dan pemburu rente. Kini, Freeport diambil alih 51% kekayaannya untuk Indonesia. Praktek pemburu rente dari rezim eyang saya Presiden Soeharto belingsatan. Gila benar ada tangan lain hendak masuk ke Freeport. Tak terima.
Maka, kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019 mengusik kenyamanan para mafia, pencoleng, maling, khilafah, koruptor, rezim korup Orba, bandar narkoba. Mereka gagal mengooptasi Jokowi di 2014-2019. Jokowi tetap sebagai Jokowi.
Tri Susanti bukan sembarangan. Dia bertindak secara koordinatif, terstruktur. Ngapain dia berada di Asrama Mahasiswa Papua? Lalu menyebarkan hoaks. Tidak hanya itu. Di sana ada FPI. Dan PP pula. Kakaknya disinyalir sebagai anggota HTI.
Nah, pernyataan Jokowi yang pertama kurang menyentuh subtansi masalah. Frans Magnis Suseno dalam wawancara di sebuah stasiun radio (30/8/2019) menyatakan bukan saling memaafkan, karena yang terusik adalah martabat Papua. Pendekatan yang dilakukan adalah menghukum orang yang menebar rasisme. Tegas.
Bukan hanya Tri Susanti. Harusnya hari pertama kejadian tersebar hoaks dan ujaran rasisme, tindakan tegas ke oknum dilakukan. Sebelum kerusuhan muncul di Manokwari dan Sorong. Kominfo harus cepat menutup jaringan internet – hal yang lambat dilakukan.
Oleh karena itu, Jokowi walau bukan Brahmana seperti Gus Dur, namun nilai-nilai dan karakternya, adalah perwujudan ajaran Gus Dur. Dia melanjutkan upaya Gus Dur membangun rakyat di Papua – untuk kehormatan Papua dalam bingkai NKRI.
Untuk meredakan Papua, Jokowi semestinya mengumpulkan seluruh tokoh adat, kepala suku, raja, politikus untuk mendengarkan rakyat Papua. Karena, Frans Magnis Suseno percaya Pak Jokowi mampu mendengarkan inti sari permasalahan secara jujur yang terjadi di Bumi Cendrawasih. Dan, dalam diri Jokowi ada kapasitas sebagai Sudra, Ksatria/Satria, dan nila-nilai Brahmana. Hanya Jokowi. Bukan yang lain. (Penulis: Ninoy N Karundeng)