Badruddin, mungkin tak pernah mengira dirinya mesti hidup berbulan-bulan di tengah laut berbekal pakaian ganti dan bahan pokok secukupnya. Tapi inilah jalan hidup pria kelahiran 1985, yang harus mencari nafkah di hamparan laut luas nusantara.
Kapal rawai jenis kapal yang ditungganginya buatan Jepang. Berlayar di sebelah selatan nusantara dilengkapi dengan pancing untuk menangkap ikan. Jabatan nya di kapal itu sebagai anak buah kapal (ABK). Ini bukan pertama kalinya ia berlayar menyusuri laut Indonesia. Sebelumnya, ia pernah bekerja di kapal yang berbeda.
Di kapal itu, pria yang akrab disapa Uddin tidak pernah mengeluh atas garis hidup sebagai nelayan yang dijalani. Demi bisa memberi makan dan mencukupi kehidupan anak-istri, ia rela tidak bertemu maupun menikmati waktu bersama keluarga berbulan-bulan lamanya.
Ayah dari dua orang anak yang hampir kepala empat banting tulang dari pagi hingga malam. Tak jarang ia menggantikan posisi teman sebagai anak sampan maupun membantu ahli mesin jika ada yang bermasalah di kapal.
Ia cukup ahli, karena ringan tangan bila diajak membantu.
Sudah genap tiga bulan kapal itu berlayar mengarungi laut, yang terkadang disertai angin kencang dan ombak. Uddin berharap, palka (ruangan di bawah geladak untuk menyimpan muatan kapal terutama ikan) dapat segera penuh sesuai target dan segera pulang. Sampai suatu hari tanpa disangka, saat mesin kapal bermasalah dan awak mesin sedang sakit, ia diminta untuk menggantikan pekerjaan yang sedikit berisiko tersebut.
Maju lah Uddin sebagai satu-satunya yang paham mesin, selain awak mesin di kapal itu. Berlangsung 15 menit, tiba-tiba tangannya hampir putus dan bercucuran darah karena tak sengaja masuk mesin penarik pukat. Semua awak kapal berdatangan, termasuk nakhoda untuk memberikan pertolongan pertama padanya.
Darah yang terus mengalir dari tangan Uddin segera di hentikan dengan peralatan dan ilmu medis seadanya. Di tuangkan obat merah hampir setengah botol lalu di balut kasa yang tersedia di kotak P3K. Untung nya, tangan ayah kepala empat tersebut tidak luka parah, namun sobek di antara ibu jari dan telunjuk kanannya.
Kelalaian yang membuat tangannya hampir putus, didasari karena ia teramat rindu dengan anak-anaknya. Bagaimana tidak, dua putri kecil kembar kesayangannya bulan ini masuk sekolah dan ulang tahun yang ke tujuh. Dari anaknya lahir, satu kali pun Badruddin tidak punya cukup waktu bermain dan merayakan ulang tahun anaknya.
Jika ditanya, kenapa Badruddin tidak memilih pekerjaan lain? Keterbiasaan berlayar sudah mendarah daging dalam dirinya sejak lajang, mengikuti jejak sang ayah. Ia juga khawatir tidak ada lowongan pekerjaan yang menerima dirinya karena keterbatasan pendidikan yang hanya tamat SMP dan sedikit keahlian.
Meski sekelumit risiko yang harus ia terima, dan banyaknya waktu yang tidak dapat ia miliki dengan keluarga, namun hal itu tidak sedikitpun mengurangi rasa sayang seorang ayah kepada anak-anak dan istrinya. Rasa sayang Badruddin, ia tunjukkan dengan bekerja keras menghidupi dan mencari nafkah yang halal.
(Sri Wahyuni S/Politeknik Negeri Jakarta).