Aceh Barat Daya, Beritalima.com-Geliat usaha Damar Hutan di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) tergolong masih sangat minim, namun potensinya diperkirakan cukup besar, selain bisa dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, pasarannyapun sudah merambah Pasar Aceh.
“Untuk saat ini, pengiat usaha damar hutan di Abdya masih mini dan sangat susah ditemui,” ungkap Salah seorang pengiat Usaha Damar di Gampong Ladang Tuha I, Kecamatan Lembah Sabil, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Samsul Bahri kepada beritalima.com Jum’at (2/9).
Padahal tambahnya, geliat usaha tersebut, selain mampu meningkatkan perekonomian masyarakat mengah kebawah bahan Damar juga mudah ditemui, karena hampir rata-rata wilayah pegunungan.
“Mungkin sebagai mengangap usaha damar tidak begitu cerah, padahal sangat menjanjikan bahkan bahan baku damar mudah di temui di pegunungan dengan jarak tempuh yang tidak begitu jauh dari perdesaan,” ujarnya.
Ia mengatakan, selama ini cukup banyak damar hutan yang telah dikumpulkan warga di pengunungan, namun, tidak bisa dibawa pulang dalam jumlah besar, karena belum tersedianya akses jalan memadai.
“Warga tidak bisa membawa pulang dalam jumlah besar. Selain terkendala dengan akses jalan, material damar itu termasuk benda berat, semntara bahan baku itu sudah banyak dikumpulkan,” imbuh Samsul.
Menurutnya, harga damar yang masih berbentuk kepingan dibeli dengan harga mencapai Rp4.000/Kg, sedangkan yang sudah dipecahkan seperti kerikil harga belinya meningkat lagi mencapai Rp5.000 sampai dengan Rp6.000/Kg.
“Kalau harganya cukup bervariatif, tergantung kondisi damar dijual. Kalau masih utuh kita tampung dengan harga rata-rata Rp4.000. Kalau sudah diolah dengan mesin harganya mencapai Rp8.000 hingga Rp10.000/Kg,” ujarnya.
Samsul mengaku, usaha damar yang ditekuninya berjalan dengan sukses dan telah membuahkan hasil meskipun damar yang diproduksi tersebut dengan menggunakan alat-alat tradisonal.
“Alhamdulillah, damar kita saat ini sudah menembus pasar Aceh dan sudah mampu produksi sebanyak 3 ton/bulan dengan peralatan tradisonal seadanya,” tuturnya.
Ia mengaku, usaha damar tersebut telah dilakoninya sejak tahun 2004 paska terjadinya musibah Tsunami di Aceh saat itu, ia masih menggunakan alat penggiling tradisonal dengan cara menguras tenaga.
“Setelah 12 tahun menguras tenaga dengan alat tradisonal, kini sudah memiliki peralatan yang tergolong modern termasuk telah memiliki beberapa tenaga kerja yang direkrut dari keluarga,” katanya.
Meskpun sudah memiliki alat modern, lanjut dia, usaha yang dilakoninya itu masih memiliki banyak kendala, terutama masih minimnya peralatan dan modal usaha, sementara permintaan pasar semakin meningkat.
“Saya berharap, pemerintah daerah memberikan perhatian lebih untuk membantu modal usaha, sebab jika ada bantuan kita akan membuat usaha semacam pabrik karena tanah juga sudah tersedia namun untuk bahan bangunan belum ada, dengan berdirinya pabrik, ke depan jumlah tenaga kerja juga bisa bertambah lagi,” demikian Samsul.(Jul)