Oleh : KH. Musyaroh Usman
Pengasuh Ponpes Sulaiman Trenggalek Jawa Timur
Kalau sedang tahlilan, nonton gambusan, jagong bayi, rapat di kelurahan, bedah buku, main gaple, Konferensi Luar Biasa partai sampai Sidang Umum MPR, dan tiba-tiba terdengar suara kentut, maka yang menjadi obyek pembicaraan dan disalahkan adalah sebuah lubang kecil di selipan pantat. Itu salah kaprah dan arogansi budaya.
Sebab pertama : pantat dan sekitarnya hanya ‘agen’ yang tertimpa musibah. Kentut merupakan akumulasi dari final persilangan beberapa organ di dalam tubuh. Jika prosesnya terganggu hingga tidak bisa keluar, dipastikan menimbulkan dampak luar biasa. Maka dapat dipahami, ketika Anda tidak bisa buang angin, bukan pantat yang menjadi prioritas pemeriksaan, tetapi organ dalam perut.
Sebab kedua : buang angin di tempat yang bukan semestinya adalah tindakan tidak ber-etika. Namun kalau terpaksa tidak dibuanganginkan dan diangkut ke rumah sakit, tidak seorangpun berani bertanggung jawab.
Ditinjau dari sisi kanalisasi, anggota tubuh yang punya peran hampir sama dengan pantat adalah mulut. Persamaannya : mereka berdua sama-sama mengeluarkan suara dan menimbulkan dampak. Perbedaannya : kentut hanya bagian dari intermezo, tapi ucapan mulut mampu melintas sangat jauh. Ucapan bisa menjadi elemen bermunajat dengan Tuhan, bershalawat, merangkai cinta, berdakwah, menggerakkan revolusi atau menggugah fanatisme dalam kampanye pemilihan lurah. Ucapan juga bisa menjadi subyek untuk menyakitkan hati, mendzalimi atau basa-basi mark up proyek. Perbedaan yang pasti : kentut tidak akan dimintai pertanggung jawaban, sementara ucapan akan dimintai pertanggung jawaban. Kentut tidak akan membuat orang murtad, ucapan berperan sebaliknya.
Efektifitas mulut tergantung siapa yang mengucapkan dan pada tataran mana dia berada. Meski ada dalil : jangan melihat siapa yang bicara tapi dengar apa yang diucapkannya, tapi budaya ‘siapa’ tetap menjadi primordial yang acapkali menggugurkan dalil. Walau teks yang diucapkan Kang Paimin sama persis dengan teks seorang Ustadz yang berdakwah di tv, siapa yang tergoda mendengarkan Kang Paimin? Seandainya wacana yang dilontarkan Kang Paimin sama persis dengan wacana presiden partai, anggota DPR, ketua MUI, ketua Hipmi atau pengamat politik, siapa yang melirik wacana Kang Paimin?
Mainset kedudukan sering menerobos portal yang kita amini tidak boleh ditabrak. Ucapan rakyat kecil – Kang Paimin – meskipun penuh hikmah, berisi penyadaran, mengadaptasi cinta dan berorientasi ke depan, selalu dianggap tidak berbeda dengan kentut. Sebaliknya, kentut mereka yang berada di tampuk singgasana, selalu dipandang sebagai hikmah dan wangi.
Sangat mudah untuk menjelaskan mengapa ucapan Kang Paimin dianggap kentut – karena kedudukannya sangat tidak memungkinkan untuk mendapatkan apa pun dari ucapannya. Berbeda dengan mereka yang ‘tinggal di puncak’ – politikus, Ustadz atau pejabat. Ucapan mereka dimungkinkan menjadi subyek untuk mempertahankan dan memperoleh sesuatu. Ironisnya ucapan mereka sangat diminati.
Bangsa kita dikenal sebagai masyarakat berbudaya pemaaf, masyarakat gibol ( gila bola ), masyarakat yang mudah jatuh hati dan bersimpati, masyarakat feodal, masyarakat ambigu sekaligus masyarakat yang gumunan terhadap teknologi atau style seseorang.
Jika kita melihat seorang tokoh politik disudutkan, empati kita langsung ngelunjak dan tanpa logika yang memadai, kita memberikan aplaus dukungan zonder melihat track record, konflik yang terjalin atau falsafah kehidupannya.
Jika kita menyaksikan seorang Ustadz muda nongkrong di layar tv, berceramah tentang agama, bersorban besar dan memiliki himne, kita segera terkagum-kagum tanpa menyimak lebih dalam jejaknya – mampu membaca kitab kuning atau tidak, seberapa besar kontribusi hidupnya untuk masyarakat dan bagaimana pola hidup beragamanya.
Kita enggan belajar untuk tidak mudah percaya terhadap style yang dibangun seseorang. Kita malas belajar untuk meningkatkan insting spiritual maupun intelektual dalam memahami aspek perkembangan budaya ngapusi yang dibungkus dalam slogan, ayat-ayat suci, jargon dan sederet kamuflase lainnya. Hingga setiap ucapan yang kita dengar selalu kita maknai secara linier. Kita nyaris tidak pernah terusik : apakah ucapan itu tidak sekedar untuk ‘mencari kehidupan’, menempatkan momentum, mengkalkulasi kekuatan atau mengukur jarak tembak lawan. Kita sedang dibutakan dengan proyek-proyek kepentingan yang parameternya melebihi intelijen makhluk astral.
Kita kurang mengasah dialek ilmu komunikasi, tidak mengaktualkan secara maksimal ilmu manthiq dan belum menganeksasi gestur dengan sempurna. Hingga kita sering terjebak dalam aplikasi-aplikasi berwujud ‘permukaan’. Ironisnya, ketika apa yang kita bayangkan tidak sesuai kenyataan, kita berdalih : manusia memang tidak sempurna, manusia tempat salah dan dosa.
Kita kurang mampu mensublimkan hati, menajamkan mata, meningkatkan pendengaran dan menginstal software kepekaan otak terhadap virus, hingga kita tidak sanggup membedakan mana ucapan dan mana kentut. Kita ramai-ramai bikin seminar, jumpa tokoh dan pengajian akbar. Kita tidak sepenuhnya sadar yang dibahas hanyalah kentut.
Setiap kali kita menghidupkan tv setelah subuh, kita disuguhi ‘aroma religius’ dari beragam wajah dengan pola dan ‘tekstur’ yang berbeda ( yang tidak berbeda adalah seluruh jamaahnya mengenakan seragam warna-warni ). Mereka punya hymne kebangsaan dan gaya sendiri-sendiri, topik yang dibahas selalu berganti dan untuk menarik pemirsa, didatangkan para artis atau tokoh. Mereka tampak arif, bersahaja dan bahkan ndesani. Tapi coba Anda bikin proposal untuk mengundang mereka di tempat Anda yang jauh di pelosok pedalaman. Dan pada bagian bawah proposal Anda beri kutipan : Maaf Ustadz, kami hanya menyediakan jemputan. Kami tidak mampu memberikan bisyaroh ( honor ). Maka Insya Allah dapat dipastikan Anda tidak pernah memperoleh jawaban.
Kita ( media ) telah terlanjur memanjakan mereka. Aktifitas mereka diliput. Cara makan, cara berpakaian, cara bicara dan cara batuk mereka disorot kamera. Siapa yang paling sering muncul di layar kaca, maka tarifnya lebih melambung.
Mencari kehidupan dengan jalan paling aman, bermartabat, mengasyikkan sekaligus menerima honor adalah : menjadi seolah-olah Ustadz. Hafalkan puluhan ayat Al-Qur’an, hadist dan nukilan-nukilan para Filsuf dengan kefasihan full. Beli sorban, sarung Samarinda, baju koko dan kopiah putih. Sewa beberapa intertain ilmu komunikasi yang sanggup membuatkan hymne. Lalu tampilkan diri Anda di tv seolah-olah Anda seorang Ulama atau Ustadz. Jika pamor mulai menurun, bicaralah dengan para ahli manajemen konflik dan ciptakan rekayasa ‘skandal’. Lalu yakinlah, bangsa Indonesia sangat-sangat konyol dalam mengantisipasi : seolah-olah. Percayalah, bangsa ini belum sanggup membedakan ucapan dan kentut.
Kita bisa menemukan kasus yang sama setiap hari.
Kita melupakan para Kiai, para Ustdaz di desa-desa atau pondok-pondok pesantren. Mereka tak kenal waktu dan keadaan bahkan tidak pernah memperhitungkan honor. Mereka menempatkan diri sebagai pelayan umat dan honornya diserahkan kepada Tuhan. Mereka tidak merespon apa pun jika dikaitkan dengan materi.
Tampaknya kita perlu berharap agar teknologi mampu menyelesaikan urusan ini – menemukan formula yang dapat mendeteksi warna suara ucapan dan suara kentut. Hingga kita tak terkecoh lagi.
****
-zhen