SURABAYA, beritalima.com | Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jatim menilai pelatnas yang dipusatkan di Jakarta atau di satu tempat banyak merugikan daerah. Karena itu, ke depan diusulkan agar pelatnas dilakukan di daerah atau menggunakan sistem disentralisasi.
Pernyataan ini disampaikan Ketua Umum KONI Jatim Erlangga Satriagung ketika hearing dengan Komisi E DPRD Jatim, Senin (2/12/2019).
“Sistem disentralisasi ini sebenarnya sudah lama kita usulkan ke pusat, tapi sampai sekarang belum ada tanggapan,” kata pria yang akrab disapa Agung ini.
Menurut Erlangga, Usulan ini disampaikan karena sistem pelatnas sekarang jauh dari sempurna. Misalnya soal perekrutan atlet dan pelatih.
Sejak lama Jatim mengusulkan agar melalui KONI daerah. Karena yang membina atlet mulai usia dini sampai premium adalah KONI. Tidak bisa ada pihak yang mengatasnamakan siapapun kemudian mengambil begitu saja tanpa ada ijin, tanpa ada koordinasi dengan KONI daerah.
Diungkapkan, selama ini ada atlet yang direkrut dengan pelatihnya. Ada juga yang direkrut cuma atletnya, sedang pelatihnya dari daerah lain. “Inilah yang jadi masalah. Apalagi kita tidak tahu bagaimana kualifikasi pelatih tersebut. Dan lagi, kalau atlet Jatim dilatih oleh pelatih dari daerah lain, tentu pelatih itu lebih mementingkan atlet dari daerahnya. Ini kan tidak baik. Mestinya Kemenpora paham,” tandas Erlangga.
Karena itu, pihaknya mengusulkan pelatnas disentralisasi. Akan ditunjukkan bahwa sistem ini bisa lebih baik. “Kami juga akan tunjukkan bahwa kualifikasi pelatih-pelatih kami di Jatim bisa lebih baik,” janji Erlangga.
Untuk itu, KONi Jatim bersama Komisi E DPRD Jatim akan menghadap ke Kemenpora. “Kami akan meminta agar Kemenpora mengevaluasi sistem pelatnas. Sebab, kalau saya sebut, sisten pelatnas sekarang tidak merah putih. Tidak membela merah putih,” protesnya.
Erlangga juga mengungkapkan banyaknya atlet Jatim yang cidera dalam pelatnas, sehingga KONi Jatim dirugikan. Pasalnya, begitu cidera mereka langsung dipulangkan. “Akibatnya, kita yang cuci piring. Dikira melakukan recovery itu enam bulan selesai,” tuturnya.
Belum lagi kalau harus dilakukan tindakan operasi. Begitu selesai operasi harus recovery pada gerakan. Butuh waktu lagi, sehingga panjang waktunya. Dan ini sangat berisiko. “Bukan kita tidak setuju dengan pelatnas. Pelatnas wajib. Tapi sistemnya harus disentralisasi,” tegas pria yang sehari-hari akrab disapa Agung ini.
KONI Jatim sendiri diundang hearing, karena Komisi E DPRD Jatim ingin mengetahui masalah atlet senam artistik Jatim, Shalva Avrila Sania, yang dipulangkan dari pelatnas SEA Games 2019.Alasannya karena diisukan tidak perawan. “Alasan ini saya anggap mengada-ada. Keperawanan itu tidak ada kaitannya dengan prestasi olahraga seseorang,” protes Erlangga dengan nada kecewa.
Apalagi, pemulangan Shalva dilakukan dua minggu sebelum tim diberangkatkan ke SEA Games 2019 Filipina KONI Jatim pun tidak diberi tahu ketika pemulangan.
Shalva dipanggil pelatnas SEA Games menggantikan Tasya yang sakit sehingga tidak bisa ikut. Atlet berusia 17 tahun ini baru tiga bulan masuk Puslatda PON Jatim yang akan berlaga di Papua. Dia kemudian ditarik ke pelatnas SEA Games 2019 tanpa setahu KONI Jatim.
“Akibat pemulangan itu Jatim merasa dirugikan. Sebab sampai sekarang Shalva tidak pernah ikut latihan di Puslatda. Padahal dia salah satu atlet yang punya potensi bisa mendulang medali emas di PON 2020 Papua,” terang Erlangga.
Sementara itu, Komisi E berharap agar ke depan kalau mau memanggil atlet atau pelatih untuk pelatnas, pusat mengirim surat secara resmi ke KONI Jatim. Demikian pula kalau mau mengembalikan, harus ada suratnya. Tidak boleh asal comot.
“Kami dari Komisi E akan menyampaikan masalah ini ke Kemenpora. Sekaligus mengusulkan pelatnas sistem disentralisasi,” kata kata Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, Hikmah Bafaqih.(pin)