JAKARTA, beritalima.com- Aksi demo tolak UU Omnibus Law terus dilancarkan pekerja, buruh dan mahasiswa. Sejumlah ormas telah dilobby pemerintah dukung UU Omnibus Law. Namun UU Omnibus Law dibayangi gerakan “Pembangkangan Sipil” (Civil Disobediance).
Menurut aktivis pekerja dan buruh Ketum Federasi Serikat Pekerja Transport Seluruh Indonesia (FSPTSI), HM. Jusuf Rizal, pembangkangan sipil bisa saja terjadi ketika pemerintah menutup saluran demokrasi dan aspirasi rakyat.
“Apa yang disampaikan pemerintah tentang UU Omnibus Law itu benar semua, tapi kebenaran itu kan bukan hanya milik pemerintah. Rakyat juga memiliki penilaian yang rasional dan logik. Kan tidak mungkin sekian puluh guru besar di berbagai universitas bodoh dalam konteks UU Omnibus Law,” tegas Jusuf Rizal.
Gagasan pembangkangan sipil muncul ketika Guru Besar Hukum Universitas Gajah Mada, Zaenal Arifin Mochtar, menilai pemerintah mulai refresif terhadap aksi demo menolak UU Omnibus Law. Sejumlah aktivis yang vokal mulai ditangkapi dengan pasal pelanggaran UU ITE maupun peraturan Covid-19. Tokoh penggerak dicari-cari kesalahannya agar diam. Sejumlah pimpinan pekerja dan buruh kini telah tiarap.
Menurut Jusuf Rizal yang juga Presiden LSM LIRA (Lumbung Informasi Rakyat), pembangkangan sipil (civil disobedience) adalah satu bentuk protes warga negara terhadap pemerintahnya. Dimana masyarakat secara sengaja melanggar hukum/aturan dan menolak perintah.
Ia mencontohkan pembangkangan sipil diantaranya yang paling lunak dengan cara menolak membayar pajak, tidak mau bayar listrik, bayar PBB, BPJS, dan lainnya. Cara lain lebih keras dengan sengaja mogok kerja, vandalisme ruang publik, memboikot dan mensabotase program-program pemerintah.
Ini merupakan bentuk perlawanan “tanpa kekerasan” (non-violence). Dalam pembangkangan sipil, masyarakat menerima konsekuensi untuk ditahan dan dipenjarakan ketika melanggar hukum. Pembangkang juga tidak melawan ketika ditangkap.
“Jika terjadi pembangkangan cukup luas, pemerintah akan dihadapkan pada pilihan memenuhi tuntutan masyarakat atau memenjarakan sebanyak mungkin orang. Jika memenjarakan dipastikan ruang penjara di Indonesia tidak akan cukup,” tegas Jusuf Rizal penggagas Partai Parsindo (Partai Swara Rakyat Indonesia) yang kini mewadahi aspirasi dan politik Para Pekerja dan Buruh
Berdasarkan literasi Istilah Pembangkangan Sipil (civil disobedience) dipopulerkan oleh Henry David Thoreau (1817–1862), pujangga dan pecinta alam asal Amerika, ketika memprotes perbudakan dan menolak Perang Amerika-Meksiko (1846-1848).
Kata Thoreau ketika itu, jika mesin pemerintahan menuntut kita menjadi agen ketidakadilan terhadap orang lain, maka, saya katakan, mari kita langgar hukum.
Gagasan pembangkangan sipil Thoreau ini kemudian mengilhami Mahatma Gandhi ketika melawan kolonial Inggris di India, dan Martin Luther King Jr ketika memprotes rasialisme di Amerika Serikat.
“Apakah Pekerja, Buruh, Mahasiswa dan masyarakat akan melakukan pembangkangan sipil menolak UU Omnibus Law ketika Presiden Jokowi tetap bertahan tidak mau mencabut UU Omnibus Law, itu tergantung perkembangan. Sejauh ini mereka tetap akan terus demo dan tidak percaya untuk melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi,” tegas Jusuf Rizal, yang juga Sekjen Media Online Indonesia (MOI) itu.