UU Pemilu Perlu Direvisi, Pengamat: Bila Pilkada Ditunda 2024, Jokowi Buat Sejarah Buruk

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com–Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukung mantan walikota Solo tersebut di parlemen yang dokomandoi PDI Perjuangan binaan Megawati Soekarnoputri menolak melakukan revisi UU Pemilihan Umum (Pemilu).

Konsekuensinya, ungkap Dekan Fakultas Komunikasi Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (IISIP) Jakarta 1996-1999, Muhammad Jamiluddin Ritonga saat bicang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Sabtu (13/2) malam, Pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Dan, di gelar bersamaan tahunnya dengan Pemilu Legislatif (Pileg) serta Pemilihan Presiden(Pilpres) 2024.

Kalau itu benar terjadi, jelas Jamil, demikian bapak dua putra ini akrab disapa, bakal ada 101 daerah yang tidak melaksanakan pilkada 1022 dan 170 daerah pada tahun berikutnya. Hal tersebut berarti, ada 271 daerah tidak melaksanakan pilkada.

“Dari jumlah tersebut, ada 24 gubernur, 191 bupati, dan 56 wali kota yang habis masa jabatannya. Sesuai aturan mereka akan diganti oleh pelaksana tugas (Plt),” penulis buku ‘Perang Bush Memburu Osama’ yang sempat beberapa kali naik cetak ini.

“Sungguh mengerikan bila ada 271 daerah yang dipimpin Plt. Soalnya, Plt hanya melaksanakan tugas rutin. Mereka tidak berwenang mengambil keputusan atau tindakan bersifat strategis yang berdampak kepada perubahan status hukum organisasi, kepegawaian dan alokasi anggaran,” kata Jamil.

Jadi, lanjut pengajar Isu dan Krisis Manajemen, Metode Penelitian Komunikasi serta Riset Kehumasan itu, kalau pilkada 2022 ditiadakan, 101 Plt di daerah selama dua tahun tak boleh mengambil keputusan strategis.

“Kalau Pilkada juga ditiadakan 2023, berarti ada tambahan 171 daerah yang juga dipimpin Plt dan daerah itu tidak boleh mengambil kebijakan strategis. Dan, ini berarti suatu rekor yang belum pernah terjadi pada era enam Presiden sebelum Jokowi, bahkan juga di di negara-negara lain,” kata Jamil.

Akibatnya, kata Jamil, tentu saja sungguh sulit bagi daerah tersebut dalam dua tahun atau satu tahun tidak diperbolehkan mengambil kebijakan yang sangat strategis untuk kemajuan daerah itu. “Apalagi kalau ada masalah krusial yang meminta segera diatasi, tentu para Plt tidak bisa berbuat apa-apa,” kata dia.

Kalau hal itu benar-benar terjadi, tentu rakyat di daerah tersebut yang bakal menanggung konsekuensinya, bisa saja itu berbentuk penderitaan. Rakyat harus menunggu pemimpin daerah definitif, baru bisa diambil kebijakan strategis atas persoalan yang mereka hadapi.

Selain itu, Pemerintah juga harus menyiapkan 271 Plt. Tentu ini bukan jumlah sedikit yang harus disiapkan Menteri Dalam Negeri yang saat ini dipercayakan Jokowi kepada Tito Karnavian.

Masalahnya, apakah tersedia 271 Plt yang benar-benar mumpuni ? Untuk ini tentu pemerintah tidak bisa terlalu pede seolah-olah memiliki stok yang cukup untuk memenuhi kebutuhan Plt pada 2022 dan 2023.

Kalau tidak cukup stok Plt yang mumpuni, tentu 271 daerah tersebut akan semakin menderita. Plt seadanya dan tidak dapat mengambil kebijakan strategis akan membuat daerah itu makin tertinggal dari daerah lain yang dipimpin kepala daerah definitif. Semua itu tentu tak kita inginkan terjadi. Karena itu, keputusan menolak revisi UU tentang Pemilu seyogyanya dikaji ulang.

“Kalau benar bekerja untuk rakyat, Pemerintahan Jokowi dan partai politik pendukung yang ada di Parlemen harus mengutamakan masyarakat dari pada kepentingan politik jangka pendek. Harapannya, semoga Pemerintah dan partai pendukung terketuk hatinya untuk berpihak kepada rakyat,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait