JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan mengatakan, hingga saat ini dipastikan MPR RI belum memutuskan apapun juga terkait dengan wacana amandemen UUD 1945 yang belakangan ini semakin ramai diperbincangkan.
“Wacana ini jangan sampai menghabiskan energi bangsa yang semestinya digunakan untuk memikirkan penyelesaian pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum kunjung usai,” ujar kata politisi senior ini dalam diskusi ‘Evaluasi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945 Dalam Mencapai Cita-cita Bangsa’ di Media Centre DPR RI Gedung Nusantara III KOmplek Parlemen Senayan, Jakarta, awal pekan ini.
Selain Syarif Hasan, juga tampil sebagai pembicara Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani dan pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu, Pangi Syarwi Chaniago.
Ketua Fraksi Partai Demokrat 2004-2009 ini menepis pertanyaan berbagai pihak perihal wacana yang masih hangat bergulir tentang munculnya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) melalui amandemen. “Kabar terbaru yang bisa saya sampaikan sesuai hasil Rapat Pimpinan MPR terakhir adalah, MPR masih akan terus melakukan kajian secara mendalam karena banyak aspek yang harus dipertimbangkan.”
Karena itu, Syarief mengajak seluruh elemen bangsa untuk mendukung langkah-langkah MPR ini. “Kami di MPR berusaha semaksimal mungkin agar apapun hasil kajian dan keputusannya berdampak baik untuk semua,” tegas pria yang fasih berbahasa Jepang ini.
Terkait dengan sikap Partai Demokrat, Syarief mengatakan, dia tidak ingin wacana amandemen membuat pro kontra rakyat Indonesia menjadi semakin tajam sehingga mengakibatkan anak bangsa terbelah yang pada ujungnya mengancam persatuan bangsa.
Pada kesempatan serupa, Arsul Sani yakin amandemen UUD 1945 tidak bisa dilakukan MPR RI periode sekarang. “Sebagai wacana bolehlah menggelinding, tapi dalam tataran praktis, saya tidak yakin pada periode karena waktunya sudah mepe. Tahun depan sudah memasuki masa-mas peersiapan Peemilu.” kata Arsul.
Terkait soal isu atau wacana periode tiga periode, Arsul Sani menegaskan bahwa wacana tersebut sudah tutup buku “Jangankan kita, wong PDI-P saja sudah jelas sikapnya nggaksetuju. Jadi sudah tutup bukulah kalau soal 3 periode itu,” ujar Arsul.
Mengenai perpanjangan masa jabatan presiden, Arsul Sani juga mengatakan tidak mungkin dilaksanakan tanpa melakukan amandemen UUD 1945. “Ya, kalau tidak terjadi amandemennya tidak mungkin ada perpanjangan. Karena pada Pasal 7 Undang-Undang Dasar itu tegas, satu kali masa jabatan presiden itu 5 tahun,” ujar politikus PPP itu.
Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, jika amandemen tujuannya perpanjangan masa jabatan presiden, ini namanya penghianatan terhadap reformasi yang telah diperjuangkan mahasiswa seluruh Indonesia. Bahkan dirinya mengancam akan melalukan demo apabila masa jabatan presiden diperpanjang menjadi tiga periode. “Saya akan demo kalau hal itu sampai terjadi,” tegas Pangi.
Dikatakan, untuk saat ini dirinya tidak setuju dengan amandemen yang dikatakan terbatas yaitu hanya soal Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) saja. Sebab menurut dia, tidak ada jaminan amandemen itu nantinya akan melebar kemana-mana. “Sebagaimana periode sebelumya, begitu ada amandemen soal masa jabatan presiden akhirnya melebar ke yang lainnya. Hingga akhirnya terjadi amandemen sampai empat kali.”
Dikatakan Pangi, memang harus diwaspadai soal wacana memperpanjang masa jabatan presiden. Apalagi pengalaman sebelumnya, seperti UU Omnibus Law yang tadinya dibilang halusinasi akhirnya jadi juga diundangkan. Hal yang sama juga UU minerba. “Selama ini kan banyak yang goal juga undang-undang itu diam-diam, itu yang saya khawatirkan,” kata pria berdarah Minang ini.
Soal masa jabatan presiden ini, juga kalau elemen masyarakat seperti LSM, pengamat politik, akademisi membiarkan, bukan tidak mungkin akan menjadi kenyataan. ”Yang saya khawatirkan lagi, tidak hanya menambahkan masa jabatan presiden juga gratifikasi konstitusional ini ngeri-ngeri juga, gratifikasi konstitusional,” demikian Pangi. (akhir)