SURABAYA, Beritalima.com | Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jatim Dr Ir Wahid Wahyudi MT mengungkapkan
Renstra dinas ada indikator-indikator yang harus dicapai dan Alhamdulillah itu bisa dicapai oleh dinas pendidikan provinsi Jawa Timur. Hanya ada dua indikator yang kurang sedikit, diantaranya adalah angka kelulusan. Ungkap Wahid usai Raker dengan komisi E DPRD Provinsi Jatim. Kamis (16/7/2020)
“Angka kelulusan ini ternyata masih ada kekurangan sedikit, karena 2019 kemarin peralihan dari kabupaten kota ke provinsi ini memang ada perubahan pembelajaran. Dari semula yang sistemnya itu lutz ke hot, jadi yang semula dulu seseorang itu hanya mengaplikasikan rumus-rumus di dalam proses belajar mengajar, itu sekarang sudah dituntut untuk berkreasi, berinovasi dalam menyelesaikan sebuah problem. Jadi ada perubahan tingkat kesulitan kemudian juga angka putus sekolah,” terang Wahid.
Wahid menambahkan bahwa angka putus sekolah ini juga masih cukup tinggi, diantaranya yang terbanyak adalah mereka menikah bagi yang perempuan. Kemudian bekerja, pindah ke pesantren. Angka yang ada ini karena BPS itu memakai standar internasional bahwa orang yang dikatakan bekerja itu adalah yang minimal bekerja 35 jam per minggu, sementara lulusan SMK-SMK itu sekarang sudah banyak yang freelance.
“Ya katakan misalnya yang punya kompetensi tata rias, mereka melakukan rias dari rumah ke rumah freelance. Mereka melakukan perawatan perawatan muka, badan secara freelance. yang punya keahlian servis sepeda motor, service mobil, yang punya keahlian service AC, Service kulkas mereka freelance. Meskipun freelance-freelance ini penghasilannya tidak kalah dengan yang tidak freelance. Penghasilannya juga cukup tinggi, ini oleh BPS masih dianggap belum bekerja atau pengangguran,” lanjut Wahid.
“Standar ini tidak bisa dirubah, itu standar internasional. Tapi Inilah masalahnya, inilah kondisi riil yang belum terakomodir dalam parameter-parameter seperti IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Juga kenapa IPM kita rendah, salah satunya adalah karena sertifikat yang dikeluarkan oleh pengasuh pengasuh pondok pesantren, yang dikeluarkan Yayasan- Yayasan Yang menaungi pondok pesantren ini dianggap oleh BPS bukan sertifikat formal, bukan sertifikat sekolah yang dianggap formal,” keluh Wahid.
“Sehingga meskipun dia ada di pesantren sudah bertahun-tahun pola pikirnya sudah sekolah SMA, karena sertifikatnya ini tidak merupakan sertifikat formal yang akan di anggap dia tidak lulus SD. Oleh karena itu kami meminta kepada Komisi E Mari kita bersama-sama mengusulkan kepada kementerian pendidikan dan kebudayaan perlu ada deregulasi- deregulasi di dunia pendidikan. Ada juga yang kami usulkan. Yang pertama adalah pendidikan kesetaraan yang selama ini untuk memiliki kejar paket A itu harus 6 tahun, untuk memiliki Kejar Paket B harus sekolah 3 tahun, paket C harus 3 tahun. Ini tetap berjalan sesuai dengan kondisi masyarakat itu,” tandasnya.
“Tetapi bagi masyarakat- masyarakat tertentu seperti yang sudah nyantri 5 tahun 6 tahun 7 tahun di pesantren, yang tidak harus dong mereka untuk mendapatkan kejar paket A harus sekolah 6 tahun lagi. Kalau pengetahuan yang dimiliki sudah bagus. Oleh karena itu, kalau perlu dilakukan pendidikan, Apakah pendidikan 1 bulan, 3 bulan, kemudian lakukan assesment. Laporan assesment kalau mereka sudah punya kemampuan sudah punya pola pikir sekelas SMA, ia langsung saja beri sertifikat kejar paket C. Tidak harus menunggu 3 tahun. Itu yang pertama. Kalau sudah setara dengan SMP, ya sudah kasih saja. Apalagi sekarang model jarak jauh menggunakan system daring. Dengan adanya teknologi komunikasi, teknologi informasi, teknologi digital,” sambungnya.
“Kemudian yang kedua adalah deregulasi. Bahwa seseorang untuk bisa mendapatkan sertifikat kejar paket C tidak harus memiliki B dulu, tidak harus memiliki A dulu, tetapi kalau dia sudah punya kemampuan sekelas SMA, ya bisa dilakukan assessment. Supaya dia langsung menerima kerja paket C. Regulasi yang ada sekarang adalah seseorang bisa mendapatkan kejar paket C atau bisa mendapatkan ijazah SMA, harus punya kerja Paket B dulu, harus punya kejar paket A dulu. Kalau ini bisa dilakukan, karena jumlah pesantren di Jawa Timur itu cukup tinggi dan di dunia industri dunia usaha itu 47% itu lulusan SD, dan tidak lulus SD. Padahal di saat dia sudah berusia 25 tahun, sudah berusia 30 tahun, sudah berusia 35 tahun, dia punya handphone, semua punya handphone, sama dengan belajar setiap harinya. Saya yakin, aku mikirnya mereka sudah kelas SMP pola pikirnya mereka sudah sekolah SMA lah. Kalau dua regulasi tadi itu bisa dilakukan, bisa dikeluarkan dan mereka bisa diakses kemudian diberi sertifikat formal, maka IPM Jawa Timur akan melompat. Sekarang ini IPM Jawa Timur terendah diantara provinsi-provinsi yang ada di pulau Jawa. Itulah langkah-langkah yang diusulkan oleh Beliau,” pungkasnya. (yul)