Wakaf: Ajaran Penting Yang (Masih) Terabaikan

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Ketika memberikan pengantar sebuah buku Ahkam al-Waqf fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah karya Dr. Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi yang telah diterjemahkan oleh Ahrul Sani, dkk, Muhammad Syafi’i Antonio mengekspresikan ‘kegalauannya’ dengan mengajukan pertanyaan seputar dunia wakaf: Apa yang bisa kita lakukan dengana wakaf? Sudahkan kita ambil bagian di dalamnya? Bagaimana kiprah dan peran wakaf dalam membina duafa dan mencerdaskan anak bangsa terutama yang kurang mampu di bumi Indonesia khususnya dan di dunia pada umumnya? Dalam konteks wakaf ini, Guru Besar ahli ekonomi syariah, itu pun menyoroti kondisi dunia pendidikan. Alumni University Jordan, tahun 1990 dan peraih gelar doktor dari University Melbourne, Australia, tahun 2004 di bidang Banking & Micro Finance inu pun menunjukkan keprihatinnya atas anggaran pendidikan yang menurutnya baru mendekati 1 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Sementara anggaran pendidikan negara-negara maju mencapai 7 persen dari GDP. Dalam penilaiannya anggaran militer atau biaya entertainment selama ini masih jauh lebih tinggi. Dengan narasi demikian, nominator “King Faisal International Prize”, 2011 ini ingin mengatakan bahwa wakaf sebenarnya dapat menjawab problematika tersebut.

Melihat fenomena yang ada, kegalauan tersebut tentu dapat merepresentsikan kegalauan kita. Betapa kita lihat saat ini persoalan wakaf sering terabaikan. Kalaupun selama ini telah dilakukan oleh masyarakat, di banyak tempat hanya sebatas mengenai barang tertentu, seperti tanah untuk pembangunan masjid atau sekolah. Selebihnya, wakaf hanya menjadi kajian-kajian akademik di sekolah. Di pesantren yang selama ini lekat dengan kajian fikih, bab wakaf sering tidak dijangkau. Pembahasan wakaf yang pada umumnya berada di bagaian belakang kitab-kitab fikih, dengan alasan waktu, sering harus ditinggalkan. Celakanya, ketika santri menginjak ke tingkatan berikutnya meskipun dengan kitab kuning dengan strata yang lebih tinggi, kajian harus dimulai dari awal lagi. Karena kitab semakin tebal, maka pembahasan wakaf yang selalu dibagian-bagian belakang, juga semakin menjauh dari jangkauan kajian. Persoalan demikian belum termasuk kompetensi pengajarnya. Para ustaz pengampu materi fikih sering hanya sebatas menguasai teknik membaca dan memahami teks secara normatif. Sedangkan, bagaimana aplikasinya dalam kehidupan nyata, sebagian besar tidak menguasai.

Pada saat yang sama, memang sering kita dengar para pendakwah atau pengurus takmir yang sering mengkampanyekan wakaf ini. Dengan penuh retorika, para pendakwah menyampaikan pentingnya wakaf. Sejumlah dalil-dalil agama dikeluarkan dengan retorika kalimat bombastis yang pada intinya dengan satu tujuan, yaitu agar masyarakat mau menyisihkan sebagian hartanya untuk sedekah jariah. Masyarakat pun kemudian memang yakin, bahwa sedekah jariah merupakan bentuk amal yang pahalanya akan terus mengalir meskipun yang melaksanakannya telah mati. Akan tetapi, penyampaikan-penyampaian tersebut sering hanya berupa gerakan sporadis karena ada proyek-proyek jangka pendek tertentu.

Yang demikian tentu bukan suatu kesalahan. Kajian normatif tetap penting dilakukan. Setidaknya hal tersebut, dapat dijadikan pedoman kita ketika ajaran wakaf benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Peran para pendakwah juga harus diakui. Melalui sepak terjang mereka proyek-proyek sosial selama ini, seperti pembabungunan masjid, pembebasan tanah, pembangunan madrasah, bisa teratasi dengan baik. Gerakan seporadis ini tentu perlu ditingkatkan menjadi suatu “gerakan masif”. Gerakan massif yang dimaksud di sini tidak lain, gerakan berwakaf secara terus menerus dengan melibatkan semua lapisan masyarakat muslim, tokoh baik formal (pemerintah) maupun informal (tokoh agama atau lainnya), dan dikelola dengan baik (manajemen). Tiga unsur ini penting untuk memberikan garansi akuntabilitasnya dalam rangka menjaga kredibilitas masyarakat.

Selama ini kredibilitas masyarakat tidak perlu diragukan. Bukti nyata di lapangan ialah, hampir tidak ada pembangunan masjid yang tidak selesai. betapa pun miskinnya penduduk kampung. Hanya saja ketika menginjak ke pemikir dan manajemen tampaknya menjadi persoalan sendiri. Para tokoh masyarakat yang ada sering lebih tertarik ke urusan zakat ketimbang memikirkan wakaf. Padahal, dua-duanya terkait ugensinya, jelas sama-sama pentingnya. Hanya saja mungkin mengapa lebih tertarik mengurus zakat karena zakat menjadi salah satu rukun Islam. Tetapi sebagai gerakan masal (umat) wakaf sebenarnya bisa lebih masif dari pada zakat. Sebab, zakat hanya terbatas kepada orang-orang tertentu yaitu orang yang mempunyai harta dengan kriteria tertentu. Sedangkan wakaf, bisa dilakukan oleh si kaya atau miskin. Mengapa?

Dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, sangat dimungkinkan siapa saja bisa berwakaf. Dalam Pasal 16 ayat 3 huruf (a) UU Nomor 41 Tahun 2004 tegas dinyatakan bahwa uang adalah termasuk benda yang bisa diwakafkan. Dengan demikian orang semiskin apa pun menurut UU tersebut bisa berwakaf. Dengan kalimat lain, jika wakaf merupakan salah satu bentuk sedekah jariah yang pahalanya terus mengalir, maka orang miskin pun juga dapat berhak untuk menikmati pahala sedekah jariah tersebut.

Efevektifitas wakaf ini, sebagaimana disampaikan Prof. Muhammad Syafi’i Antonio di luar negeri telah mampu menghidupi Universitas Al Azhar Mesir, Universitas Zaituniyyah Tunis dan ribuan Madaris Imam Lisesi di Turki, di samping karena lembaga-lembaga pendidikan tersebut memang bukan fully profit oriented juga ditopang dengan wakaf. Pengelolaan wakaf yang sedemikian rupa menyebabkan lembaga pendidikan tersebut bertahan lebih dari 1.000 tahun dan telah bisa memberikan jutaan beasiswa kepada mahasiswa. Dengan modal menjadi negeri berpenduduk muslim dengan predikat terbesar di dunia, potensi itu mestinya lebih kita punyai. Tetapi, mengapa sampai kini belum bisa, di samping belum adanya grand design umat yang benar-benar digagas, pastinya juga karena lembaga wakaf ini menjadi ajaran penting yang memang masih terabaikan. Betapa tidak, di bulan lalu setiap orang wakaf uang 1.000 rupiah, maka dalam semalam akan terkumpul uang 100.000.000 rupiah. Banyak bukan?

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait