Wibisono: Pemerintah gandeng Tiongkok, ada apa dengan Program “OBOR”

  • Whatsapp

Jakarta, Pemerintah akan meneken Mou proyek Inisiatif Sabuk Satu Jalan atau one belt one road (OBOR). Kerja sama OBOR ini diinisiasi oleh China dengan tujuan membuka keran konektivitas dagang antarnegara di Eropa dan Asia melalui jalur sutera maritim,namun berdasarkan pengalaman negara negara lain yang ikut program OBOR saat ini terjebak “Hutang” dengan Tiongkok,apa kita harus ikuti negara lain yang gagal bayar hutang akibat jebakan betmen Tiongkok?,ujar Wibisono,SH,MH ketua pendiri Garda PAS dan Pembina LPKAN Indonesia menyatakan ke media di jakarta (9/4/2019).

Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menekankan, kerja sama proyek termasuk dalam rangka pinjaman akan dilakukan secara business to business (B to B). “Saya ingin garis bawahi one belt one road (OBOR) itu tidak ada kita lakukan G to G (government to government). Yang kita lakukan B to B. Jadi loan tidak ada ke pemerintah Indonesia. Loan itu semua langsung masuk ke proyek,” kata dia, di kantornya, Jakarta, Senin (8/4/2019).

Dengan demikian, kata Luhut, kerja sama OBOR tersebut tidak akan menambah beban utang pemerintah Indonesia terhadapnya China,katanya.

Dia pun menuturkan, saat ini posisi utang Indonesia yang ditarik dari China masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Jepang. “Hutang kita dengan China itu sekarang tinggal Rp 22 triliun. Tidak sampai USD 2 bilion. Sangat kecil. Jauh lebih besar hutang kita itu kepada Jepang. Jadi tidak ada yang aneh,” ungkapnya.

“Ini berbeda dengan Pernyataan pemerintah sebelumnya yang tidak akan Teken Perjanjian OBOR,apa karena pemerintah sekarang lagi panik,karena banyak hutang yang jatuh tempo harus di bayar ditahun ini?, khususnya hutang hutang BUMN”, tandas Wibi.

Apa itu OBOR?

The One Belt One Road (OBOR), gagasan Presiden Tiongkok Xi Jinping, adalah proyek ambisius yang berfokus pada peningkatan konektivitas dan kerja sama di antara berbagai negara yang tersebar di benua Asia, Afrika, dan Eropa. Dijuluki sebagai “Proyek Abad Ini” oleh otoritas Cina, OBOR mencakup sekitar 78 negara,kata Wibi

Selanjutnya,One Belt One Road (OBOR) Awalnya diumumkan pada tahun 2013 dengan tujuan memulihkan Jalur Sutra kuno yang menghubungkan Asia dan Eropa, ruang lingkup proyek telah diperluas selama bertahun-tahun untuk memasukkan wilayah baru dan inisiatif pembangunan. Juga disebut sebagai Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), proyek ini melibatkan pembangunan jaringan besar jalan raya, kereta api, pelabuhan maritim, jaringan listrik, jaringan pipa minyak dan gas dan proyek infrastruktur terkait, tambahnya.

Proyek ini mencakup dua bagian. Pertama disebut “Jalur Ekonomi Jalur Sutra” yang berbasis daratan dan diharapkan menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tengah, Eropa Timur, dan Eropa Barat. Yang kedua disebut “Jalur Sutra Maritim Abad 21” yang berbasis laut dan diperkirakan akan menuju pantai selatan Cina menuju Mediterania, Afrika, Asia Tenggara, dan Asia Tengah. Nama-nama itu membingungkan karena ‘Sabuk’ sebenarnya adalah jaringan jalan, dan ‘Jalan’ sebenarnya adalah rute laut,ujar Wibi.

Mereka berisi enam koridor ekonomi berikut: Jembatan Tanah Eurasia Baru yang menghubungkan Cina Barat ke Rusia Barat, Cina – Mongolia – Rusia Koridor yang menghubungkan Cina Utara ke Rusia Timur melalui Mongolia, Cina -Asia Tengah-Koridor Asia Barat yang menghubungkan Cina Barat ke Turki melalui Asia Tengah dan Asia Barat, Cina-Koridor semenanjung Indochina yang menghubungkan Tiongkok Selatan ke Singapura melalui Koridor Indo-Cina, Cina-Pakistan yang menghubungkan Tiongkok Barat Selatan melalui rute laut Pakistan ke Arab, dan Koridor Bangladesh – Cina-India-Myanmar yang menghubungkan Tiongkok Selatan ke India melalui Bangladesh dan Myanmar. Selain itu, Silk Road maritim menghubungkan pesisir Cina ke Mediterania melalui Singapura-Malaysia, Samudra Hindia, Laut Arab, dan Selat Hormuz, papar Wibi.

Karena itu, program yang berganti nama BRI pada 2016 itu fokus untuk membantu pendanaan proyek-proyek infrastruktur di berbagai negara. Mulai pembangunan jalan nasional, jaringan rel kereta api, hingga pelabuhan. Industri energi pun ikut didanai untuk mengembangkan industri di negara-negara dalam sistem.
”BRI menyediakan sesuatu yang dibutuhkan banyak negara, pendanaan proyek infrastruktur,” kata wibi.

Dari 68 negara yang menjalin kerja sama dengan Tiongkok lewat BRI, 33 negara punya peringkat investasi B atau bahkan tanpa peringkat. Sepuluh di antaranya merupakan negara kaya aset seperti Brunei Darussalam dan Iran. Atau belum punya utang publik banyak seperti Timor Leste.
Artinya, 23 negara lainnya yang masuk program BRI punya potensi untuk terlilit utang. Nah, setelah lima tahun BRI berjalan, ada delapan negara dengan risiko krisis finansial paling tinggi.
Yakni, Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Djibouti, Kyrgyzstan, dan Tajikistan, kata Wibi.

Mereka itulah yang disebut masuk ”jebakan Tiongkok” lewat iming-iming proyek infrastruktur tadi. Yang terparah adalah Pakistan. Negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai USD 62 miliar atau Rp 903 triliun. Belum termasuk pinjaman lain. Pemerintah Tiongkok mengambil jatah 80 persen dari proyek yang sebagian besar digunakan proyek pembangkit listrik itu.
Lalu, bagaimana jika gagal bayar?, Negara-negara tersebut bisa jadi harus melewati skema tukar aset. Contohnya Sri Lanka. Negara yang bertetangga dengan India itu memperoleh pinjaman pada 2015. Saat itu Sri Lanka terpojok karena Presiden Mahinda Rajapaksa dituduh melanggar HAM.
Kondisinya terkucil. Namun, Tiongkok tetap mengucurkan dana bertubi-tubi. Jumlahnya mencapai USD 8 miliar atau Rp 116 triliun.
Saat tak sanggup membayar, Sri Lanka harus menyerahkan 70 persen saham kepemilikan Pelabuhan Hambantota serta hak pengelolaan ke pemerintah Tiongkok. Hak pengelolaan selama 99 tahun itu mengganti utang USD 1,1 miliar atau Rp 16 triliun. ”Harga yang harus dibayar untuk mengurangi utang tersebut bisa jadi lebih merugikan bagi Sri Lanka,” ujar wibi.

Sudah banyak negara yang khawatir akan bernasib seperti Sri Lanka. Myanmar, misalnya, meminta pengurangan jumlah pinjaman untuk proyek Pelabuhan Kyaukpyu.
Perdana Menteri Tonga Akalisi Pohiva pun meminta ada penghapusan pinjaman USD 160 juta atau Rp 2 triliun. Dia mengajak negara-negara Oseania lainnya untuk ikut memohon utangnya dihapuskan saja.
”Kami takut mereka (Tiongkok) mengambil aset kami jika tak bisa membayar,”
Ketakutan itu menciptakan istilah kolonialisme utang. Yakni, sistem untuk mengekang dan menjajah negara dengan lilitan utang. Dengan begitu, Tiongkok bisa memiliki aset atau tanah di berbagai negara.
Namun, pemerintah Tiongkok tak sependapat. Mereka menilai bahwa label “debt colonialism” hanya upaya politik untuk memojokkan Tiongkok. Padahal, setiap pinjaman investasi itu disetujui kedua pihak.

Berdasarkan sumber Center for Global Development Examining Debt Implications Belt and Road Initiative Policy Perspective tentang Jalur Sutra Gaya Baru ala Tiongkok
Belt and Road Initiative (BRI) merupakan upaya Tiongkok untuk mengulang kejayaan Jalur Sutra. Terdiri atas jalur ekonomi darat yang membentang ke Eropa dan jalur laut menuju Asia dan Afrika. Program BRI melingkupi 68 negara dengan skema pinjaman hingga 2018.
Terdiri atas 14 negara di Asia Timur dan Tenggara, 13 negara di Asia Selatan dan Tengah, 17 negara di Timur Tengah, serta 24 negara di Eropa.
31 di antara total 36 negara miskin utang tinggi (HIPC) mendapatkan suntikan BRI,apa Indonesia akan menyusul negara negara diatas?,dan kita terjebak hutang dengan Tiongkok?, Semoga tidak terjadi,pungkas Wibi.(**)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *