Yang Dilupakan, Terlupakan Di Hari Peringatan Disabilitas Internasional

  • Whatsapp

JAKARTA, beritalima.com- Jumlah penyandang disabilitas mental sekitar 18.000 yang tercatat di Indonesia menurut sebuah sumber yang ditemui di LBH Jakarta, 4 Desember 2019, kemarin.

Ada presepsi yang keliru di tengah masyarakat terhadap penyandang disabilitas mental. Masyarakat mengira penyandang disabilitas mental adalah orang kerasukan jin atau terkena kutukan. Stigma keliru tersebut musti yang seharusnya diubah.

Negara melalui pihak terkait diharapkan hadir menjamin pengawasan ketat dan melaksanakan kebijakan termasuk audit internal/pskitiatri secara periodik untuk panti-panti rehabilitasi sehingga lebih manusiawi penanganan atas mereka. Merevisi Undang-undang Kesehatan Jiwa dan RUU Penyandang Disabilitas mental agar selaras dengan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas mental.

Penyandang disabilitas mental ibaratnya adalah manusia yang terbelenggu dan hidup dalam alam pikirannya sendiri, sering emosinya naik turun. Dari pihak keluarga penyandang disabilitas mental mengunjungi panti-panti rehabilitasi dengan tujuan untuk mengobati namun dengan pengobatan konvensional kondisi pasien bukan sembuh malah tambah parah. Mengalami perawatan “tidak manusiawi” dan “diskriminatif”. Sementara biaya, waktu dan tenaga sudah banyak dikorbankan.

Sudah idealkah jumlah Rumah Sakit Jiwa, ahli psikiatri di Indonesia jika dibandingkan pengidap disabilitas mental melihat fakta yang ada bahwa pelayanan medis adalah pilihan terakhir setelah upaya keluarga penyandang disabilitas mental berobat ke pengobatan alternatif. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukan hampir 90 % penduduk tidak bisa mengakses layanan kesehatan jiwa. Di negara Indonesia berpenduduk sekitar 250 juta jiwa ini hanya punya 48 buah rumah sakit jiwa. Lebih dari separuhnya berada di empat provinsi dari keseluruhan 34 provinsi. Delapan provinsi bahkan tak punya rumah sakit jiwa, dan tiga provinsi tidak punya psikiater. Sementara di seluruh Indonesia hanya ada 600 – 800 psikiater atau satu psikiater terlatih melayani 300.000 – 400.000 orang. Sungguh hal yang ironis. Minimnya fasilitas dan layanan yang ada sering tidak menghormati hak-hak dasar penyandang disabilitas mental sehingga mendorong terjadinya kekerasan terhadap mereka.

Sejauh mana peran serta Rumah Sakit Otak Nasional dalam meneliti, mencari solusi terkait para penderita disabilitas mental.

Seyogyanya dalam mengatasi permasalahan disabilitas mental dapat diupayakan kerjasama terpadu melibatkan beberapa Kementerian terkait seperti Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM untuk mencari solusi terbaik bukan terkesan pembiaran terhadap hal yang telah terjadi selama bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun lamanya di negeri tercinta ini.

Tak jarang para keluarga yang mempunyai anggota keluarga penderita/pasien disabilitas mental malu dan menyembunyikan rapat-rapat hal itu dan menganggap sebagai aib keluarga.

Sudah waktunya di era digital ini beralih dari jaman kegelapan menuju pencerahan termasuk dalam penanganan para penderita disabilitas mental.

Mereka pada dasarnya adalah manusia sama dengan kita penduduk negeri ini yang mustinya lebih dirangkul dan dimanusiakan bukan dijauhi atau dikucilkan. Sejatinya ajaran luhur semua agama yang ada di muka bumi ini adalah merangkul meteka yang terpinggirkan.

LBH Jakarta, Diponegoro 74
04.12.19.

beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *