SURABAYA, Beritalima.com|
Wakil ketua DPD partai Demokrat Jatim, DR Agus Dono Wibawanto MHum mengungkapkan bahwa kebijakan yang diberlakukan oleh presiden Joko Widodo (Jokowi) yang melarang pengusaha melakukan ekspor baik CPO (Crude Palm Oil) merupakan minyak nabati yang dihasilkan dari tanaman buah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq, Arecaceae), maupun minyak goreng, adalah tindakan yang bijaksana. Karena tindakan tegas ini dibutuhkan disaat para pengusaha sudah tidak bisa dikontrol lagi.
“Terkait larangan untuk ekspor Migor sama CPO, yang disampaikan oleh Bapak Presiden itu sebenarnya kan satu kebijakan politik yang sangat keras, karena tidak ada komitmen dari para pemilik perkebunan sawit maupun para pemilik produk turunannya. Hal ini memang menjadi buah simalakama, di sisi lain presiden ingin mengamankan produksi minyak goreng itu untuk kepentingan masyarakat. Karena kuota yang diberikan dari sektor produksi itu hanya 20%, komitmen para pengusaha ini kurang tepat, akibatnya pemerintah bertindak sangat keras, itu risiko yang harus dirasakan oleh mereka,” tegasnya.
Anggota komisi B DPRD provinsi Jatim ini menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh para pengusaha ini sudah kelewat batas, mereka mempermainkan harga tanpa mengingat bahwa minyak goreng merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang harus dilindungi oleh negara.
“Ketika HET (Harga Eceran Tertinggi) diberlakukan, minyak goreng menjadi langkah di pasaran. Berjuta-juta masyarakat rela antri berjam-jam hanya karena ingin mendapatkan hargi Migor yang murah, bahkan sampai ada korban jiwa. Ini ironis sekali. Indonesia itu memiliki kebun sawit terbesar di dunia, kemudian masyarakat tidak bisa menikmati hasilnya. Ini menjadi aneh,” terang GusDon, panggilan akrab Agus Dono Wibawanto.
GusDon menyampaikan bahwa kebijakan HET merupakan bentuk perlindungan pemerintah untuk melindungi masyarakat, agar pengusaha tidak ugal-ugalan mempermainkan harga komoditas pangan. Banyak UKM yang profesinya sebagai penjual gorengan, dan warung-warung makanan juga menggunakan Migor.
“Ketika minyak goreng curah dibandrol dengan harga Rp 11.500,- per liter minyak goreng curah menjadi langkah. Dan minyak goreng kemasan juga dibandrol Rp 14.000,- per liter di pasaran terjadi kelangkaan. Namun ketika kebijakan HET dicabut, justru Migor membanjiri pasar,” keluhnya.
Kini migor curah dibandrol dengan harga Rp 14.000,- per liter, tapi di pasaran harganya masih sangat tinggi, bahkan mencapai Rp 20.000,- per liter.
“Kenyataan di lapangan kan sulit, minyak goreng kemasan premium di segmen kelas menengah ke atas harganya per liter mencapai Rp 25.000,- hingga Rp 27.000,- Ini risiko yang diambil oleh pemerintah sangat luar biasa, salah satunya adalah pendapatan dari sektor pajak dari ekspor CPO, ini pasti akan berkurang. Dan masalah utamanya adalah siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan. Harusnya pemerintah juga mengambil sikap politik yang cepat, segera memerintahkan BUMN untuk menjalankan fungsi fungsi stabilisasi,” lanjutnya.
“Memang itu jangka panjangnya, jangka pendek yang paling utama adalah pasti nanti kelapa sawit yang notabennya hampir 50% sekian dikuasai oleh para petani, perkebunan rakyat ini akan kelimpungan, karena banyak pabrik-pabrik yang akan stop produksi. Bisa juga akan stop pembelian sawit mentah, karena sawit ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama di luar, sebelum diproses produksi pasti akan busuk. dan kualitasnya juga akan rendah, di sisi lain pemerintah juga mungkin memberikan efek jera kepada para pengusaha, dari hulu sampai hilir yang tidak taat azas yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” paparnya.
GusDon menambahkan, kebijakan larangan ekspor CPO dan Migor ini sifatnya masih sementara, pasti nanti pemerintah akan berhitung lagi kapan mau dibuka kran ekpor, tetapi dengan aturan-aturan yang super ketat dan mereka tidak boleh menguasai hulu sampai hilir.
“Kelihatan sekali kartel minyak goreng yang sangat luar biasa, mafianya sangat luar biasa. Untuk itu pemerintah harus benar-benar berani mengambil sikap politik, dan memberikan kepada Bulog untuk terlibat di dalam proses stabilitas harga-harga komoditas, yang notabene hanya dimiliki oleh negara, jadi nggak boleh bebas sebebas-bebasnya. Mereka harus taat dengan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, itu salah satu unsur utama yang harus dijalankan oleh mereka. Saya pikir pemerintah saat ini memberlakukan efek jera biar mereka tidak akan main-main dengan kebijakan pemerintah,” pungkasnya.(Yul)