Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)
“Pelajarilah al-faraidh dan ajarkanlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya faraidh itu separuh ilmu, dan ia pun akan dilupakan serta ia pun merupakan ilmu yang pertama kali akan di cabut dikalangan ummatku”. Begitu salah satu pesan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ad-Daruquthniy kepada ummatnya. Al-faraidh yang dimaksud dalam hadits tersebut tidak lain hukum kewarisan yang pada pokoknya berisi ketentuan mengenai seputar harta peninggalan orang yang sudah meninggal. Menurut Prof. Dr. Hasby Ash-Shiddieqy, mantan Guru Besar Fakultas Syari’ah IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, bahwa yang dimaksud hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Dengan maksud yang sama tetapi dengan redaksi berbeda, Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam memberi pengertian, hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya msing- masing.
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia salah satu kewenangannya, setelah diundangkan UU Nomor 7 Tahun 1989 yang diundangkan 29 Desember 1989 ialah mengadili perkara kewarisan. Kewenangan mengadili perkara kewarisan, sebagaimana disebut pada Pasal 49 ini dirasakan oleh banyak kalangan masih terdapat ganjalan, terutama bagi ummat Islam. Sebab, menurut UU tersebut masih terdapat pilihan hukum. Artinya, ketika bermaksud menyelesaikan persoalan kewarisan, ummat Islam masih boleh memilih peradilan umum atau peradilan agama. Pilihan hukum ini dalam praktik sering membingungkan para pencari keadilan. Persoalan yang sering timbul ialah jika subjek hukumnya banyak dan di antara mereka sebagian menginginkan penyelesaian perkara di peradilan umum dan sebagian yang lain ingin menyelesaikan di peradilan agama. Praktik pilihan hukum yang membingungkan ini lalu diakhiri dengan UU Nomor 3 Tahun 2006. Sejak itu setiap orang Islam yang meninggal dunia dan ahli waris bermaksud mengajukan sengketa kewarisannya di pengadilan, harus diajukan di Pengadilan Agama.
Akan tetapi, di tengah Pengadilan Agama menangani perkara waris dengan segala dimanikanya, terdapat persoalan yang mungkin menjadi tanda tanya sebagian masyarakat, yaitu mengenai kedudukan anak tiri. Anak tiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah anak bawaan suami atau istri yang bukan hasil perkawinan dengan istri atau suami yang sekarang.
Seiring dengan semakin meningkatnya angka perceraian dan terjadinya bencana alam yang biasa memakan korban salah satu dari pasangan suami istri, kemunculan anak tiri tampaknya perlu mendapat perhatian. Baik menurut Hukum Islam maupun hukum perdata (Barat) tampaknya eksistensi anak tiri telah diberikan ketentuannya. Menurut Hukum Kewarisan Islam anak tiri bukanlah ahli waris dari ayah tiri atau ibu tirinya.
Menurut Hukum Kewarisan Islam, hubungan saling mewarisi disebabkan oleh 3 hal, yaitu: 1. Sebab kekerabatan (qarabah), atau disebut juga sebab nasab (garis keturunan). 2. Sebab perkawinan (mushaharah), yaitu antara mayit dengan ahli waris ada hubungan perkawinan. Maksudnya adalah, perkawinan yang sah menurut Islam, bukan perkawinan yang tidak sah, dan perkawinan yang masih utuh (tidak bercerai). 3. Sebab memerdekakan budak (wala`). Oleh karena anak tiri sama sekali tidak hubungan nasab dengan ayah tiri atau ibu tiri, sekalipun mungkin hidup dalam satu atap, maka dia tidak bisa saling mewarisi dengan ayah tiri atau ibu tirinya. Dengan demikian statusnya dalam hukum kewarisan tetap diangap sebagai orang lain.
Dalam Hukum Perdata (Barat), mengenai hak waris anak tiri dapat dilihat dari ketentuan Pasal 852 KUHPerdata. Pada pasal ini dinyatakan, bahwa “anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orang tua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu.” Dari pasal ini, dapat kita lihat bahwa anak, meskipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, tetap mewaris asalkan ia ada hubungan darah dengan pewarisnya.
Dengan demikian, baik menurut hukum kewarisan Islam maupun menurut Hukum Perdata Barat, anak tiri tidak bisa mewarisi dari ayah tiri/ atau ibu tiri. Penyebabnya sama, yaitu tidak ada hubungan darah. Inilah yang sering disalahpahami oleh sebagian masyarakat, terutama orang awam hukum. Masyarakat sering melihat hubungan kekerabatan diukur dari seberapa seseorang mempunyai kedekatan. Anak tiri yang dirawat ayah atau ibu tiri sedari kecil, dan mungkin bayi, dengan segenap kasih sayang, sering diperlakukan seperti anak sendiri. Sikap demikian memang terpuji. Akan tetapi, juga tidak jarang karena dirawat sejak bayi dan anak tersebut belum sempat dibuatkan akta kelahiran, lalu dibuatkan akta kelahiran dengan menulis dalam akta kelahiran anak dari pasangan “fulan/fulanah” dengan ibu/ayah tiri tersebut. Semestinya yang demikian tidak boleh dan akibat dari pemakaian akta kelahiran tersebut dapat menimbulkan persoalan baru. Dr. Flora Dianti, S.H., M.H. (hukumonline.com, 01/08/2011) mengingatkan, jika bisa dibuktikan di depan persidangan orang yang menggunakan dan membuat akta lahir tersebut bisa terkena masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Secara pidana, tindakan tersebut bisa dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap asal-usul dan perkawinan dengan melanggar Pasal 277 atau Pasal 278 KUH Pidana. Atau, Pasal 266, yaitu menyuruh menuliskan keterangan palsu pada akta autentik.
Koksekuensi dari kedekatan tersebut, setelah ayah tiri/ ibu tiri meninggal pun kemudian anak tiri seolah dianggap atau menganggap dirinya sebagai ahli waris yang sah dari ayah atau ibu tirinya. Padahal, baik menurut Hukum Kewarisan Islam maupun Kewarisan Perdata (Barat), anak tiri tersebut sama sekali tidak mempunyai hak mewarisi dari ayah tiri atau ibu tiri. Akan tetapi ketentuan demikian memang bisa menimbulkan perasaan ketidakadilan. Padahal, menurut Islam salah satu yang menjadikan hubungan mahram anak tiri dengan ayah tiri atau ibu tiri ialah karena perkawinan ayah atau ibunya dengan ibu tiri atau ayah tirinya. Hubungan mahram dengan ayah tiri ini, dalam fikih munakahat termasuk dalam ketegori mahram permanen (muabbad). Artinya, sekali ayah atau ibunya menikah dengan ibu atau ayah tirinya, anak tiri perempuan dilarang menikah dengan ayah tiri (mantan suami ibunya). Dan, sebaliknya anak tiri laki-laki dilarang menikah dengan ibu tirinya (mantan istri ayahnya/ An-Nisak ayat 22). Dalam hukum Islam seorang anak tiri perempuan, hanya dibenarkan menikah dengan mantan ayah tiri, jika ketika pernikahan dengan ayah tirinya, ibunya belum pernah berhubungan badan dengan ayah tirinya. Ketantuan demikian bisa dilihat dalam Surat An Nisak ayat 23. Dalam ayat tersebut anak tiri perempuan disebut “al rabaib” bentuk jamak dari “al rabibah”.
Dengan demikian dari sisi hukum munakahat, kedudukan anak tiri ketika berhadapan dengan ayah atau ibu tiri sebenarnya sama dengan anak kandung. Akan tetapi, mengapa dalam hal kewarisan dibedakan. Sebagaimana, singgung di muka, secara sosiologis dan psikologis ada ayah tiri dan ibu tiri yang tidak membedakaan dengan anak kandung, dalam hal perlakuan dan kasih sayang. Ketika berkumpul dengan anak kandung—yaitu anak hasil perkawinan ayah tiri dengan ibunya atau ibu tiri dengan ayah tirinya—pun sudah tidak dibedakan. Mereka sudah seperti saudara kandung. Alangkah sayang, jika kemudian setelah salah satu orang tua meninggal dalam hal harta peninggalan dibedakan. Dalam konteks demikian agaknya kita sepakat dengan putusan Pengadilan Agama Sangeti. Melalui putusan Nomor 192/Pdt.G/2015/PA.Sgt Majelis mengabulkan memberikan wasiat wajibah kepada anak tiri 1/3 bagian dengan pertimbangan dari sisi kekerabatan, memiliki kedekatan dengan ibu tirinya dan secara sosiologis dapat menjaga hubungan baik sesama kerabat dan ahli waris yang ditinggalkan. Akan tetapi sayang hakim banding pada Pengadilan Tinggi Agama Jambi bersikap lain. Melalui putusan Nomor 03/Pdt.G/2016/PTA.Jb Majelis membatalkan wasiat wajibah tehadap anak tiri tersebut dengan pertimbangan bahwa anak tiri tidak mempunyai hubungan dengan pewaris, baik dari hubungan darah maupun perkawinan.
Pendapat yang mengatakan bahwa anak tiri tidak berhak mendapat wasiat wajibah dengan alasan tidak mempunyai hubungan dengan pewaris, baik dari hubungan darah maupun perkawinan, merupakan pendapat yang kurang adil, bahkan aneh. Lantas, mengapa justru anak angkat diberi perlakuan hukum lebih tinggi dibanding anak tiri. Sebagamana kita ketahui Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam memberi perlakuan istimewa terhadap anak angkat yaitu dengan memberi wasiat wajibah paling banyak 1/3 dari orang tua angkatnya. Tetapi, terhadap anak tiri, sama sekali tidak disinggung. Ketentuan tersebut jelas menganggap anak angkat lebih dekat dalam hubungan kekerabatan dibanding anak tiri. Padahal, anak tiri dari sisi kekerabatan justru lebih dekat dibanding anak angkat, karena anak tiri merupakan anak bawaan dari laki-laki atau perempuan yang dinikahi pewaris. Sedangkan, anak angkat sebenarnya adalah anak yang sebelumnya sama sekali tidak mempunyai hubungan darah, baik dengan suami atau istri. Lantas, agar utuk menjaga hak anak tiri, agar kemudian bisa memperoleh harta orang tua tirinya, akankah orang tua tiri mengajukan penetapan pengangkatan anak lebih dulu, agar status anak tiri berubah menjadi anak angkat? Inilah letak ironi yang memerlukan kajian lebih lanjut, baik oleh para pemikir hukum maupun para praktisi hukum Islam. Dari kajian tersebut, mungkinkah di masa yang akan datang, lahir pendapat yang tidak lagi memandang anak tiri lebih rendah dibanding anak angkat? Atau, bahkan tidak lagi membedakan anak tiri dengan anak kandung dalam hal hukum kewarisan? Kita tunggu saja! Wallahu a’lam.