JAKARTA, beritalimacom — Kuasa hukum Ahok atau Basuki Tjahja Purnama (BTP) Gubernur non aktif DKI Jakarta, Dr KPHA Tjandra SridjajaPradjonggo, SH. MH mengatakan bahwa setelah sidang ke 6 Selasa (17/01) selesai digelar pemeriksaan terhadap para saksi sampai dengan sidang ke 6 tersebut, menurutnya belum ada saksi pelapor yang mempunyai kredibilitas memadai dan beretikad baik.
“Hampir semua saksi ataupun pelapor mendasarkan laporan polisi (LP) dari kiriman per WA durasi pendek pidato BTP (9 – 13 detik) hasil editan, dan setelah para saksi tahu hasil editan maka dalam Berita Acara Pemeriksaan Polisi (BAP) yang dibuat sekitar 1 bulan kemudian ramai-ramai seperti koor dengan berlindung dibalik surat MUI tanggal 11 Oktober 2016, dan merubah penistaan agama menjadi penodaan agama dalam sidang,” katanya dihubungi beritalima.com Rabu (18/01).
Tjandra menjelaskan dalam persidangan para Saksi maupun pelapor yang menyatakan profesinya baik Mubaliq, Ustadz, Habib, Sarjana, Aktivis (FPI, MUI, FUI dsb.), pada awalnya tampil gagah perkasa tetapi setelah pemeriksaan hampir semuanya berekspresi tidak jelas (bingung), bahkan ada yang sengaja marah dengan nada keras memaksakan jawabannya (pokoknya) untuk menutupi ketidakpahamannya.
“Jadi para saksi pelapor bukan menerangkan apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri tetapi memaksakan rekaan persepsinya secara semaunya sendiri,” terang Tjandra.
Saksi terakhir yang diperiksa Willyuddin Abdul Rasyid Dhani, Ketua Komisi PPPAS MUI Kota Bogor dan Sekjen FUI Kota Bogor telah menerangkan dalam persidangan, ketika Polisi menolak laporannya telah disampaikan ancaman bilamana tidak diterima maka akan dihadirkan ribuan massa di Polresta Bogor, akhirnya laporan polisi diterima. Bahkan Saksi Willyuddin juga menerangkan perkara tersebut terkait dengan aksi 411 dan 212 yang mana Willyuddin sebagai pengerah massa dari Bogor untuk ikut demo di Jakarta.
“Laporan Polisi yang dibuat karena ancaman atau tekanan massa (trialbythe mob) tersebut terbukti dalam persidangan telah terjadi laporan yang sesat, baik menyangkut tempus delicti (dilaporkan tanggal 6 September 2016) dan locus delictinya (dilaporkan di Tegallega, Bogor) serta keterangan lain yang tidak sesuai dengan keterangan 2 Polisi yang diperiksa dipersidangan,” tegas Tjandra.
Sehingga saksi (Mubaligh), masih menurut Tjandra, diduga telah membuat laporan palsu maupun keterangan palsu dibawah sumpah. Hal ini menguatkan dugaan laporan polisi yang dibuat secara ramai-ramai pada waktu yang sekitar bersamaan, tampaknya seperti adanya komando atau perintah dari pihak tertentu untuk kepentingan politik tertentu terkait Pilkada. Dan tidak hadirnya 3 saksi terakhir membuktikan mereka mulai takut mengingat kedoknya perlahan-lahan terbuka dan Habib Novel yang telah dilaporkan ke Polisi karena keterangan palsu.
“Contohnya para saksi menerangkan sebagai Ulama yang taat agama maka melaporkan terjadinya penodaan agama oleh BTP, tetapi faktanya para saksi tersebut menerangkan belum/tidak pernah membuat laporan sebelumnya terhadap orang lain, yang jelas-jelas telah melakukan penodaan agama (sebagai contoh kasus Dimas Kanjeng yang jelas-jelas memenuhi unsur terjadinya dugaan penodaan agama), Artinya laporan polisi oleh para saksi hanya dikhususkan untuk tujuan lain (politik) terhadap diri BTP semata saja,” jelasnya.
Apabila hal tersebut benar maka sudah sepatutnya Oknum atau pihak yang telah mengolah dan mengomando laporan polisi tersebut jelas harus ditindak menurut hukum dengan dugaan telah melakukan penodaan agama itu sendiri.
“Faktanya Saksi / Pelapor terbukti dalam persidangan terkait dengan Parpol tertentu, dan Ormas tertentu serta mendukung Pasangan Cagub tertentu terkait Pilkada DKI 1,” lanjutnya. Siapa Saksi yang menarik ? Tentunya publik menunggu saatnya pemeriksaan H. Rizieq dan Ketua Umum MUI sebagai Saksi di persidangan kemudian hari.
Tjandra menambahkan bahwa masyarakat telah mengetahui pernyataan tegas Kapolri dan Panglima TNI, tetapi sedang menantikan tindakan tegas yang akan diambil Pemerintah dalam menyikapi tindakan melawan hukum oleh Ormas atau oknum, dalam menyebarkan ucapan kebencian maupun tindakan intoleran yang dapat mengancam keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945,
“Tentunya hal itu berlandaskan Pancasila sebagai wujud hadirnya negara disaat rakyat membutuhkan,” imbuhnya. (DD)