JAKARTA, Beritalima.com– Polisi telah menetapkan Habib Rizieq Shihab (HRS) sebagai tersangka dan ditahan di tahanan Narkoba Polda Metro Jaya. Penahanan HRS setelah dijadikan tersangka tentu mengagetkan banyak pihak terutama umat Islam yang mayoritas di Indonesia, terutama para pendukung dan simpatisan dia sebab HRS tampak kooperatif dengan mendatangi Polda Metro Jaya sekitar pukul 10.00 WIB, Sabtu (12/12).
Pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga saat bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Minggu (13/12) petang mengatakan, alasan takut melarikan diri tampaknya kurang beralasan atau sangat tidak tepat mengingat ada Anggota Komisi III DPR RI dari PKS siap menjamin HRS. Dengan jaminan itu, seyogyanya penyidik dapat mengabulkannya.
Selain itu, lanjut penulis buku baru HRS yang dijadikan tersangka dan ditahan dikaitkan dengan kerumunan. Padahal, persoalan kerumuman termasuk yang banyak dilanggar dalam kampanye pilkada serentak 2020.
Bahkan setelah hasil hitung cepat diumumkan, kata pengamat ini kata banyak yang merayakan kemenangan dengan menciptakan kerumunan. Sepanjang yang saya tahu, belum ada kerumunan terkait pilkada yang dijadikan tersangka, apalagi sampai ditahan.
Karena itu, jelas penulis buku ‘Perang Bush Memburu Osama’, Tipologi Pesan Persuasif dan Riset Kehumasan itu, polisi perlu mengkaji ulang apakah sudah tepat menjadikan HRS sebagai tersangka dan ditahan hanya terkait masalah kerumunan?
Bila sudah tepat, lanjut laki-laki yang akrab disapa Jamil ini, selayaknya semua kerumunan saat pilkada serentak 2020 dan paska hasil hitung cepat juga diproses sama untuk dijadikan tersngka dan ditahan.
“Dalam hal termasuk mantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Bobby Nasution dalam perebutan kursi Walikota Medan dan putra sulung bekas Gubernur DKI Jakarta itu, Gibran ketika berjuang menjadi orang nomor satu di Kota Solo untuk periode lima tahun ke depan,” kata Jamil.
Hal tersebut, kata Jamil, perlu dilakukan agar masyarakat tidak menilai adanya tebang pilih dalam penegakan hukum. Kalau penilaian masyarakat seperti itu, dihawatirkan citra polisi yang sudah buruk semakin buruk di mata masyarakat.
Lebih jauh, Jamil mengkhawatirkan, masyarakat akan semakin tidak patuh pada hukum. Hal ini tentu saja akan membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang pada masa-masa lalu sudah baik. “Sebelum hal itu terjadi, polisi harus adil dalam melaksanakan hukum di negeri tercinta. Hanya dengan cara itu wibawa dan citra polisi akan kembali pulih,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)