JAKARTA, beritalima.com – Refleksi akhir tahun Badan Musyawarah Masyarakat (BAMUS) Betawi tahun 2019. Selama tahun 2019, apa saja yang dilakukan oleh Bamus. Hadir refleksi akhir tahun 2019, H. Nuri Thahir, Ketua Majelis Adat Bamus Betawi, Bakesbangpol mewakili Gubernur DKI Jakarta, Rahmat Zailani Kiky, Wakil Ketua Bamus yang juga sebagai panitia Refleksi Akhir Tahun Bamus Betawi 2019, dengan tema Jaga Kebhinnekaan dan Jaga Persatuan, terakhir diakhiri penyerahan mushaf Al – Qir’an secara simbolis.
“Enggak ada duit kita tetap bisa melaksanakan acara di tempat ini,” kata Rahmat, Ketua Panitia acara yang mewakili ketidakhadiran Ketua Umum Bamus Betawi H. Lulung AL, SH.
Disamping itu ada muatan lain yang disampaikan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta mengenai peran – peran orang Betawi dalam konstitusi bahwa dalam Perda DKI No. 4 Tahun 2015 sudah jelas disebut Bamus Betawi sebagai wadah yang diperkuat oleh Perda.
“Seharusnya Wakil Ketua DPRD tadi, seharusnya Pemerintah bersama Bamus Betawi duduk bersama tentang persoalan – persoalan kebetawian. Jadi sudah tidak lagi menggunakan dana yang Rp5 miliar itu,” kata Eki Pitung, Wakil Ketua Bamus Betawi yang berhasil diminta keterangannya, disela acara refleksi yang dilaksanakan, Minggu (8/12/2019) di Hotel Sahid, Jakarta.
Eki pun menganggap, bila berharap dari dana Rp5 miliar itu menurutnya terlalu kecil. Baik konteks dalam pengembangan tentang persoalan kesenian Betawinya, pariwisatanya, tentang pendidikan orang betawi, dan lain sebagainya yang sifatnya buat orang Betawi.
Yang kedua dijelaskan Eki, soal pemindahan ibukota seperti yang disampaikan Taufik, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra. Mungkin tahun 2020 sudah masuk tataran tentang pemindahan ibukota tersebut. Bamus Betawi diminta memberikan masukan – masukan dan duduk bersama.
“Saya melihat apa yang disampaikan Taufik terkejut begitu detailnya perhatiannya terhadap masyarakat Betawi sampai masuk ke undang – undang penyiaran,” imbuhnya.
Lebih lanjur ditegaskan Wakil Ketua Umum Bamus Betawi, DPRD DKI Jakarta ada komitmen dengan KPID dan Komisi Penyiaran Indonesia bahwa setiap 20% harus bermuatan budaya tentang kejakartaan. Sedangkan selama ini tidak ada penyiaran tentang kebudayaan kejakartaan.
“Kendati di layar kaca banyak senetron, yang kerap bernuansa Betawi dan menggunakan dialeg Betawi,” jelasnya.
Menurutnya yang menjadi pertanyaan besarnya adalah apa manfaatnya, apakah untuk orang Betawi atau untuk Bamus Betawi. Faktanya selama penyiaran di layar kaca Indonesia yang bernuansa Betawk dan berdialeg Betawi hanya sebatas komoditi.
Tandasnya, segala sesuatu yang merujuk pada dialeg dan kebudayaan Betawi untuk produksi di layar kaca, seharusjya merujuk dulu ke Bamus Betawi. Tidak langsung produksi sinetron menggunakan dialeg dan kebudayaan Betawi sebagai majelis adatnya.
“Jadi jangan sembarangan menggunakan dialeg dan ornamen Betawi. Selama ini produksi film atau sinetron tidak pernah merujuk ke Bamus Betawi,” tandasnya.
Lebih lanjut ditegaskan Eki, seperti yang disampaikan Taupik di podium, masyarakat Betawi lebih banyak diemnya melihat persoalan itu, sehingga tidak ada daya tekan untuk mendobrak agar bisa menuntut dan menggugat. Karena dalam konstitusi menyebutkan bahkan dari 34 provinsi di Indonesia mempunyai hak – hak istimewa 20% herus bermuatan budaya lokal.
“Mempunyai hak – hak adatnya itu di tiap sendi kehidupan, baik menyangkut pariwisata maupun entertain. Apalagi ngarepin Rp5 miliar terlalu kecil dari Rp89 triliun. Dari Rp89 triliun, orang Betawi enggak panteslah dapetnye cuman segitu,” imbuh Eki Pitung. ddm