Banyak Calon Tunggal Pilkada 2020, Pengamat: Ini Indikasi Makin Kuat Oligarki di Indonesia

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Politik di Indonesia berbiaya tinggi. Hal itu mengakibatkan menguatnya oligarki di Indonesia karena orang yang ingin maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baik itu walikota, bupati maupun gubernur saja harus mengeluarkan biaya puluhan bahkan ratusan miliar.

Alokasi anggaran tersebut semakin besar, jelas Pengamat Komunikasi Politik, Muhammad Jamiludin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Selasa (18/8) siang, bila mencalonkan diri untuk gubernur bahkan presiden. Besarnya biaya yang harus mereka dikeluarkan,
tentu sulit buat seseorang untuk memenuhi biaya politik sebesar itu.

Untuk menutupinya, kata pengajar metode penelitian komunikasi, riset kehumasan serta krisis dan strategi public relations tersebut, para calon mau tidak mau harus mencari sponsor.

Para sponsor tersebut kebanyakan para oligark yang memiliki kekayaan melimpah. “Mereka mau menjadi sponsor pastinya tidak gratis. Sebagai sponsor, para oligark tentunya mempunyai berbagai kepentingan yang harus diterima oleh calon bila kelak terpilih. Karena itu, para calon harus rela ‘menggadaikan’ idealismenya demi memperoleh sponsor dana,” kata pengajar di Universitas Esa Unggul Jakarta ini.

Akibatnya, lanjut Jamil, demikian laki-laki ini akrab dipanggil, uang menjadi alat pengikat kesetiaan para calon untuk menyuarakan kepentingan para oligark.

Hal itulah yang merusak tatanan demokrasi. Pimpinan yang menentukan para oligark, sementara rakyat hanya memilih calon yang akan menyuarakan para oligark.

Rakyat, lanjut Jamil, akhirnya hanya dijadikan pembenaran bahwa proses demokrasi sudah dilalui dalam pemilihan pemimpin.
Akibatnya, jadilah itu demokrasi semu.

“Pemimpin yang terpilih, tidak akan menyuarakan kepentingan rakyat di daerah itu. Rakyat hanya dijadikan slogan, padahal yang diwujudkan hanyalah kepentingan para oligark. Para pemimpin sepenuhnya dikendalikan segelintir orang yang memiliki kapital. Jadi, pemimpin itu bukan bekerja untuk mensejahterakan rakyat tetapi buat kepentingan orang yang membiayai dia ketika maju menjadi pemimpin,” demikian Muhammad Jamiludin Ritonga. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait