Bayar Utang Subsidi Listrik, Mulyanto: Pemerintah Harus Awasi PLN

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Kondisi keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN/Persero) yang terus memburuk harus mendapat prioritas perhatian dari Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Berbagai upaya perlu dilakukan Pemerintah agar keuangan perusahaan strum plat merah tersebut bisa kembali positif sehingga dapat melayani masyarakat dengan baik,” kata anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto dalam keterangan tertulis kepada Beritalima.com, Jumat (7/8), terkait dengan masalah keuangan PT PLN tersebut.

Wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut menilai Pemerintah perlu menangani PT PLN secara khusus agar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang energi ini tidak terus terpuruk, seperti sekarang. Salah satu cara menyelamatkan keuangan PLN, Pemerintah harus membayar utang kepada PLN.

Utang Pemerintah yang cukup besar kepada PT PLN adalah kompensasi dan subsidi listrik masyarakat, secara otomatis regular di akhir tahun. Tidak menumpuk hingga beberapa tahun, seperti sekarang ini. Karena itu,

Mulyanto menyarankan Pemerintah membayar kewajibannya kepada PLN secara reguler setiap akhir tahun seperti model pembayaran subisidi pupuk.

“Utang Pemerintah kepada PLN Rp 48 triliun yang berasal dari kompensasi PLN 2018-2019 dan diskon listrik yang diberikan saat pandemi virus Corona itu harus segera dibayar, agar PLN juga dapat memenuhi kewajibannya kepada pihak lain,” lanjut doktor nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology, Jepang tersebut.

Selain membayar utang, Pemerintah harus mengawasi keuangan PT PLN dengan lebih teliti karena perusahaan energi kebanggan Indonesia ini memiliki utang sekitar Rp 500 triliun untuk investasi di sisi pembangkit. Dan, PLN mengalami tekanan keuangan dari dua sisi.

“Dari sisi pemasukan, tekanan keuangan disebabkan karena permintaan listrik industri yang terus turun akibat deindustrialisasi dini, dan semakin anjlok di saat pandemi Covid-19.

Padahal perencanaan listrik dan sebagian implementasinya sudah terlanjur dengan asumsi pertumbuhan listrik yang optimis sekitar 7 persen. “Praktis, terjadi surplus listrik terutama di Jawa-Bali,” jelas Mulyanto.

Dari sisi pengeluaran, tekanan keuangan disebabkan karena pembayaran kepada pembangkit listrik swasta, yang sebenarnya berlebih, namun harus tetap dibayar karena kena penalti Take Or Pay (TOP). TOP merupakan kesanggupan PLN membeli berapapun listrik yang dihasilkan pembangkit swasta yang selanjutnya disalurkan kepada pelanggan.

Seharusnya pembayaran TOP ini, kata Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan itu, dapat direnegosiasi PLN, sebagai bentuk kesetiakawanan usaha yang saling menanggung beban (sharing the pain).

“Selain itu, pembayaran utang dan bunganya dilakukan dalam bentuk dolar, yang sudah jatuh tempo. Pada saat harga dolar tinggi seperti sekarang ini, beban keuangan untuk pembayaran utang menjadi selangit,” jelas Sekretaris Menteri Riset dan Teknologi era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.

Untuk itu, kata Mulyanto, Fraksi PKS DPR RI mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dan terus mengawasi keuangan PLN, agar badan usaha pelat merah ini dapat tetap eksis berkontribusi memberikan layanan listrik bagi kesejahteraan masyarakat.

“Pemerintah pimpinan Jokowi harus mengawasi agar kondisi keuangan PLN tidak bermasalah. Sebab kalau ada apa-apa dengan PLN, masyarakat juga yang akan rugi,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait