BANDUNG, beritalima.com | Fokus pendidikan formal pada umumnya mendidik siswanya agar menjadi manusia yang berkualitas, yaitu yang mampu menunjukkan tingkat intelektualitas yang tinggi. Namun ada satu hal lagi yang lebih penting dari intelektualitas, yaitu integritas alias kejujuran sehingga menjadi manusia yang bisa dipercaya. Jika “intelektualitas” dianggap sebagai “kompetensi teknis”, maka “integritas” masuk pada wilayah “kompetensi etika”. Atau dalam terminologi agama sering disebut dengan “AMANAH”.
Pemerhati Kepemimpinan Kontemporer Dede Farhan Aulawi, berkenan menjawab beberapa pertanyaan media terkait hal tersebut di Jakarta, Selasa (28/4). Menurut Dede, perkara paling berat dalam kehidupan ini adalah amanah. Kita memang butuh mempekerjakan orang – orang yang cerdas. Tapi kecerdasan tanpa fondasi integritas, bisa membawa kehancuran. Oleh karena itu, fondasi sebuah pemberian jabatan harus diberikan kepada orang yang bisa dipercaya, atau bisa memegang amanah dengan penuh rasa tanggung jawab.
Kitab suci Al-Qur’an menyampaikan bahwa :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS an-Nisa : 58).
Jadi sesungguhnya Al Qur’an sudah mengingatkan untuk memberikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan menetapkan hukum dengan adil. Amanah sesungguhnya merupakan sebuah kepercayaan, beban dan tanggung jawab yang besar. Jika menyadari hal ini, sebenarnya orang tidak perlu kasak kusuk nyari jabatan. Dulu orang banyak yang menangis saat mendapatkan jabatan karena khawatir tidak mampu memegang amanah jabatan. Tapi sekarang sebaliknya, untuk mendapat jabatan dan kepercayaan, orang rela mengeluarkan sejumlah uang, bahkan janji – janji yang menggiurkan. Meskipun kadang setelah terpilih belum tentu ingat sama rakyat yang memilihnya. Tidak sedikit orang yang sekedar menarik simpati rakyat, foto – foto di poster dan spanduknya begitu agamis, bahkan banyak yang sedang merangkul orang – orang miskin dan jompo. Setelah jadi …?
Kemudia Dede juga menceritakan tentang sebuah kisah pada masa Rasullulloh SAW, dimana seorang bernama Miqdad menolak ketika hendak diangkat menjadi pemimpin. Dia mempunyai pikiran jenius disertai hati yang tulus. Semua itu tercermin pada nilai – nilai ucapan dan prinsip-prinsip hidup yang sederhana dan tegak lurus dalam memegang kebenaran. Dia tidak mau jika menjadi seorang pemimpin lalu banyak orang yang menghormati dan menyanjungnya, sehingga diri dan hatinya khawatir tergelincir pada keangkuhan, kesombongan dan memanipulasi kepentingan. Rakyat – rakyat kecil dan miskin yang dijual, tapi keuntungannya untuk diri sendiri. Itu yang dikhawatirkan oleh sahabat Rasul tersebut.
Saat ini banyak pemimpin pintar tapi miskin keteladanan. Mengobral mimpi agar rakyat terlelap dalam tidur malamnya, tetapi esok pagi saat terjaga mereka baru sadar bahwa kenikmatan janji yang mereka terima hanya ada di dalam mimpi semata. Dalam kampanyenya semua calon pemimpin bersuara bahkan bersumpah akan membela dan mensejahterakan orang kecil, tetapi apa mau di kata akhirnya semua ikrar janjinya terlupakan seiring dengan masa yang berganti. Seharusnya “rakyat kecil” menjadi pihak yang paling berbahagia karena mereka selalu dibela dalam setiap janji kampanye, tetapi faktanya rakyat kecil selalu menjadi pihak yang paling menderita. Mungkin banyak pemimpin yang “lupa”, itlah sebabnya rakyat harus “mengingatkan”.
Itulah sebabnya di tengah pandemi corona seperti saat ini, rakyat betul – betul mendambakan pemimpin atau wakilnya mau benar – benar turun mengetuk gubuk – gubuk reyot, merangkul mereka yang bergeletakan di emper – emper pertokoan, dan terpojok diantara himpitan ekonomi dan kesulitan hidupnya. Rakyat saat ini benar – benar membutuhkan pemimpin yang mau tampil menunaikan janji bakti, ikhlas bekerja tanpa haus dengan pujian. Rakyat hanya menanti jiwa pemberi yang amanah, yang ikhlas mendistribusi hak – hak orang kecil guna memastika semua bantuan Pemerintah sampai di tangan mereka, tanpa ada yang berceceran di jalan sehingga barang yang diterima hanya sebagian.
Apalagi masih banyak profesi lain yang terlupakan, yang sejatinya mereka pun sebenarnya sangat membutuhkan. Rakyat bukan tidak bisa disiplin untuk tetap tinggal di rumah. Rakyat bukan bebal jika harus tetap keluar, karena mereka keluar hanya untuk mencari sesuap makan dan memastikan anak isterinya pun bisa tetap bertahan untuk merajut hidup dan mengukir masa depan.
“ Pemerintah tidak mungkin bisa berlari sendiri karena cerita tentang Indonesia memang sangat luas. Itulah sebabnya berbagai gerakan spontan untuk membangun partisipasi kolektif sangat diperlukan. Tidak perlu dipaksa atau diancam hukuman untuk melahirkan jiwa patriot dalam membela negara, sejatinya terlahir dari sanubari terdalam saat kita teriak dan bicara, bahwa kita semua sesama anak Indonesia yang selalu mencintai negerinya tanpa batas. Bunda pertiwi saat ini benar – benar memanggil tunas – tunas bangsa yang mampu menunaikan janji sucinya untuk menyelamatkan anak negeri yang tersebar dari Sabang sampai Merauke “, pungkas Dede mengakhiri percakapan yang disampaikan dengan begitu semangat untuk keselamatan Indonesia tercinta.