Bandung– Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bertekad berjuang agar lembaga yang dilahirkan pasca reformasi ini peran dan posisi diperkuat. Hal ini b]sa dilakukan melalui amandemen kelima UUD 45.
Hal itu dikatakan oleh Ketua DPD RI LaNyala Mahmud Mattaliti saat membuka acara Forum Komunikasi dan Diseminasi Program Kerja dengan Media dan Refleksi akhir Tahun DPD RI, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (3/12/2021). Acara bersamaan dengan Pres gatering DPD bersama Koordinatoriat Wartawan Parlemen.
Menurut LaNyala, tahun 1999 hingga 2002, terjadi Amandemen Konstitusi. Tujuannya agar Indonesia lebih demokratis, sekaligus mengkoreksi kelemahan beberapa Pasal di naskah asli UUD 1945. Namun yang terjadi kemudian, sistem tata negara Indonesia berubah total.
Bersamaan dengan itu, MPR tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi negara. Utusan Daerah dan Utusan Golongan dihapus, digantikan Dewan Perwakilan Daerah.
Mandat rakyat kemudian diberikan kepada dua ruang politik yaitu Parlemen dan Presiden. Dimana masing-masing bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui mekanisme pemilu.
“Nah, DPD yang merupakan perubahan dan penyempurnaan wujud dari utusan daerah dan golongan justru kehilangan hak dasar sebagai pemegang Daulat Rakyat yang didapat melalui Pemilu. Padahal DPD sama-sama “berkeringat” seperti Partai Politik,” papar Senator asal Jawa Timur itu.
Sebelum Amandemen Konstitusi tahap 1 sampai 4, MPR yang terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan mendapat mandat rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga ketiga komponen dapat mengajukan atau mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden.
“Setelah Amandemen 1 sampai 4, DPD tidak mempunyai hak itu. Inilah yang saya sebut kecelakaan hukum yang harus dibenahi. Hak DPD RI harus dikembalikan atau dipulihkan,” tegasnya.
Sebab, dijelaskan LaNyalla, DPD RI adalah wakil dari daerah, wakil dari golongan- golongan dan entitas-entitas civil society yang non-partisan. Tetapi faktanya, mereka tidak bisa terlibat dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini.
“Sejak Amandemen tahun 1999 hingga 2002, hanya partai politik yang bisa mengusung calon pemimpin bangsa ini. Lewat Fraksi di DPR RI, partai politik juga yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga,” lanjut dia.
Padahal sumbangsih entitas civil society non-partisan terhadap lahirnya bangsa dan negara ini tidaklah kecil. Tetapi mereka terpinggirkan. “Karena itulah DPD RI ingin melakukan penguatan fungsi kelembagaan. Mengingat Demokrasi De-sentralistik yang kita anut, adalah konsep partisipasi daerah, dalam perumusan kebijakan publik di tingkat nasional. Artinya peran DPD RI sangat strategis untuk mensinkronkan kepentingan daerah dengan kepentingan pusat,” paparnya.
Ditambahkan LaNyalla, langkah penguatan kelembagaan DPD RI dilakukan dengan dua kali mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang MD3. “Tetapi, meskipun sudah ada dua Putusan MK, namun Undang-Undang MD3 masih saja memuat ketentuan pasal-pasal yang mereduksi kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi,” paparnya.
Karena itu, DPD RI berpandangan bahwa untuk melakukan penguatan kelembagaan, memang harus secara konsisten melaksanakan perintah Pasal 22C Undang-Undang Dasar 1945. Dimana keberadaan DPD RI harus diatur melalui Undang-Undang tersendiri. Seperti juga perintah kepada DPR RI agar diatur melalui Undang-Undang tersendiri. “Tetapi tentu tidak mudah, karena penentu akhir pengesahan Rancangan Undang- Undang menjadi Undang-Undang adalah DPR RI dan Pemerintah,” ucapnya.
Upaya selanjutnya, kata LaNyalla, proyeksi penguatan kelembagaan DPD RI harus didorong melalui pintu Amandemen Konstitusi. Sehingga DPD RI benar-benar menjadi sebuah sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis. Berbagai kepentingan dapat dipertimbangkan secara matang dan mendalam dengan adanya mekanisme checks and balances atau mekanisme double check, antara DPR RI dan DPD RI.
”Sekali lagi, penguatan peran dan fungsi DPD RI bukan mengada-ada. Tetapi sebuah amanat sejarah dan amanat bangsa. Bahwabangsa ini juga memiliki ruang-ruang non-partisan yang juga berhak untuk ikut serta menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini ke depan,” ujar dia.
Oleh karena itu, DPD RI akan mendapatkan dorongan energi, bila seluruh elemen masyarakat Indonesia, khususnya media massa sebagai kekuatan dan pilar keempat dalam negara demokrasi, menjadikan agenda Amandemen Konstitusi ke-5 sebagai momentum yang sama untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa.
“Kita harus berani bangkit. Harus berani melakukan koreksi untuk tujuan Indonesia yang lebih baik. Untuk Indonesia yang lebih berdaulat dan berdikari, serta mampu mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” tuturnya.
Hadir dalam acara tersebut Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono (senator asal Maluku), Mahyudin (senator asal Kalimantan Timur) dan Sultan Baktiar Najamudin (senator asal Bengkulu), serta beberapa senator lainnya.
Juga hadir Sekjen DPD RI Rahman Hadi dan jajarannya. Serta sebanyak 120 wartawan dari berbagai media yang tergabung dalam Koordinatoriat Wartawan Parlemen.(ar