DPR RI Segera Selesaikan Pembahasan Revisi UU Pendidikan Kedokteran

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Revisi UU No: 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran diharapkan selesai DPR RI 2014-2019 yang berakhir September mendatang.

Untuk itu, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI segera membahas secara mendalam dan komprehensif. Masalah kedokteran tak hanya di sistem pendidikan saja, juga bermuara pada pelayanan.

“Karena itu, harus ada link and match pendidikan dengan pelayanan sehingga bisa melahirkan tenaga medis yang terampil, sesuai kaidah profesi kedokteran dunia,” kata Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo.

Itu dikatakan politisi senior Partai Golkar ini saat menerima Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) di ruang kerja Ketua DPR RI, Gedung Nusantara III KOmplek Parlemen Senayan, Jakarta hari ini.

Pengurus IDI yang hadir antara lain, Dr Daeng M Faqih (Ketua Umum), Ilham Oetama Marsis (Ketua Purna), Mahmud Ghaznawie, M Nasser (Dewan Pakar), Mariya Mubarika (Ketua Bidang Advokasi Lembaga Legislatif), Farabi El Fouz (Sekretaris Bidang Advokasi Lembaga Legislatif) dan Muhammad Akbar (Ketua Bidang Pendidikan, Riset dan Alih Teknologi Kedokteran).

Pada pertemuan itu, pengurus IDI menyampaikan kegelisahan terkait kemelut di dunia kedokteran. UU No: 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang dimaksudkan meningkatkan standar mutu kedokteran, justru menimbulkan berbagai disharmoni.

Tak harmonis antara sistem pendidikan dengan ujian kompetensi. Akibatnya, banyak mahasiswa kedokteran tidak lulus Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) yang merupakan syarat memperoleh sertifikat kompetensi dan profesi, sebagai pengganti ijazah kedokteran.

UKMPPD yang memberikan kewenangan kepada kampus menentukan kelayakan seseorang menjadi dokter, dinilai IDI tak sejalan dengan ketentuan Kedokteran Dunia yang mengacu ke World Federation for Medical Education.
Berdasarkan aturan lembaga itu, kampus hanya berwenang pada pendidikan dasar medis. Profesi dipegang kolegium. IDI menilai adanya Dokter Layanan Primer (DLP) bisa mengancam posisi 50.000 lebih dokter umum yang sudah mengabdikan dirinya di berbagai daerah.

Menyikapi hal itu, wakil rakyat Dapil VII Jawa Tengah ini mengajak IDI menjadi mitra kerja aktif DPR RI dan pemerintah sehingga bisa memberikan masukan yang menyeluruh terhadap revisi UU Pendidikan Kedokteran. Jangan sampai hasil revisi menjadi mentah lantaran tak sesuai aspirasi para tenaga medis.

Pembahasan sebuah UU harus dilakukan secara bottom up, menyesuaikan kebutuhan masyarakat, sehingga bisa menjawab permasalahan yang ada di lapangan. DPR tak ingin kelahiran UU justru menimbulkan masalah baru yang berkepanjangan.

“Untuk itu, partisipasi masyarakat yang berkepentingan sangat dibutuhkan. Berbagai masukan sangat dibutuhkan, sehingga DPR dan pemerintah sebagai pembuat UU memahami apa kemauan para tenaga medis,” kata politisi senior Partai Golkar ini.

Pria yang akrab disapa Bamsoet ini menilai, dokter 172.000 orang merupakan aset berharga yang perlu terus ditambah jumlahnya, sehingga bisa memaksimalkan peningkatan kesehatan masyarakat. Sebagai profesi yang mempunyai kekhususan (lex specialis), dokter juga harus dilindungi profesinya.

Dalam pembhasan KUHP, kata Bamsoet, Komisi III DPR RI sudah membahas ini bersama Komisi Kepolisian Nasional dan berbagai pihak lainnya tentang pidana medik yang tidak bisa dimasukan dalam pidana umum.

“Ini bukan buat melindungi tenaga medis dari jeratan hukum, melainkan untuk memastikan tegaknya keadilan atas asas hukum lex specialis derogat lex generalis,” urai Bamsoet.

Ditambahkan, ketentuan itu merupakan implementasi dari UU No: 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No: 36/2009 tentang Kesehatan, dan UU No: 44/2009 tentang Rumah Sakit. Dengan demikian, jika ada sebuah kasus terjadi kepada tenaga medis, penyelesaiannya dilakukan terlebih dahulu di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Karena profesi dokter dan tenaga kesehatan punya kekhasan, pendidikan dan pelayanannya juga perlu perhatian serius. DPR RI akan menjadikan masukan IDI sebagai bahan yang sangat penting.

“Kita akan bedah kembali pasal per pasal yang ada di UU No: 20/2013. Jika memang tidak sesuai dengan aturan kedokteran dunia, harus dicabut. Jangan sampai karena aturan yang salah, dokter-dokter Indonesia malah tidak diakui dunia,”demikian Bambang Soesatyo. (akhir)

beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *