JAKARTA, Beritalima.com– Indonesia adalah bangsa yang lahir dari kegiatan berfikir semula sekelompok orang yang lama kelamaan menjadi gelombang menabrak lintas batas primordial, akhirnya menjadi perasaan serta fikiran bersama.
Itu dikatakan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah dalam Deklarasi Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) Kota Binjai di Koetaradja Coffee, Binjai, Sumatera Utara akhir pekan kemarin. Deklarasi itu bertema “Menjemput Pemimpin dan Arah Baru Indonesia”.
Karena Indonesia lahir dari proses berfikir, kata Fahri dalam keterangan tertulis melalui WhatssApp (WA) yang diterima Beritalima.com, Senin (19/11), krisis yang paling besar di republik ini, tidak akan terjadi akibat krisis ekonomi. Kenapa? Karena ekonomi di Indonesia ini masih ruler ekonomi, bahkan ekonomi berbasis sumber daya alam.
“Saya baru menulis buku yang judulnya itu ‘Mengapa Indonesia Belum Sejahtera’, disamping kalau kita membandingkan secara statistik, memang Indonesia masuk ke dalam kategori belum sejahtera,” sebut politisi senior sekaligus deklarator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Karena, kata wakil rakyat dari Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut, kalau dibandingkan dengan negara-negara yang merdeka bersamaan dengan Indonesia, income per capita Indonesia masih berada di kategori rendah, hanya 3800 atau maksimal 4000 US Dollar setahun per orang, yang jika dirupiahkan belum mencapai 50 juta setahun per orang.
Malaysia yang merdeka setelah Indonesia pendapatan perkaitanya sudah jauh diatas Indonesia. Demikian pula Thailand dan bahkan Vietnam. Kalau kita sebut China, negara Tirai Bambu itu sudah diatas 15.009.
“Korea Selatan 24.000, apalagi Singapura sudah 50.000 lebih, begitu juga dengan Jepang yang pada saat kita merdeka, mereka dihujani bom atom sehingga Hirosima dan Nagasaki hancur. Pendapatan perkapita mereka 40.400, sementara kita masih 3800,” beber dia.
Dikatakan, itu memang angka secara statistik Indonesia masih rendah sekali. Tetapi, orang Indonesia sulit kalau misalnya sampai sepeti Venezuela atau negara-negara Amerika Latin sekarang, yang tidak ada lagi listrik.
“Rasanya kalau kita ini ngak merasa miskin itu karena kemiskinan disedot dalam satu sistem yang luar biasa. Saya sering katakan bahwa agama yang membuat kita merasa tidak pernah miskin, karena selalu mengajarkan untuk bersyukur dan menerima keihdupan ini apa adanya.”
Bukan hanya itu, ungka Fahri, agama juga punya prosesi yang membuat semua itu mengentaskan kemiskinan bersama-sama. Selain zakat, infaq dan sadaqah, paling tidak sebulan (dalam bulan puasa), tidak ada orang lapar, karena ada free berbuka puasa dan sahur yang hampir sebulan menemukan makanan dimana-mana. “Agama mengafsur ketidakmampuan negara dalam mengatasi kemiskinan.”
Kemudian, kata Fahri, di Indonesia masyarakat juga diajarkan sistem kekeluargaan, menyerap kemiskinan. Tidak ada orang membiarkan anak atau saudaranya miskin. Bahkan dalam adat Jawa dikenal dengan istuilah ‘mangan ora mangan pokoke ngumpul’. Ini tradisi, sehingga kemiskinan diserap di dalam rumah tangga.
“Coba tengok kiri kanan, rumah tangga kita masing-masing, terutama keluarga besar, berapa dalam keluarga kita sebetulnya orang yang betul-betul punya pekerjaan dan bekerja? Semua ditopang dan diserap dalam sistem keluarga. Begitu juga dengan sistem sosial,” sebut dia.
Selain itu, alam di Indonesia masih menopang kemiskinan rakyat Indonesia. Jadi, kata Fahri, kalau krisis di Indonesia ini sulit kalau akan terjadi krisis ekonomi. Krisis di Indonesia ini akan terjadi, apabila yang langkah awal membentuk Indonesia, berupa fikiran-fikiran yang menggeliat itu hilang.
“Ini yang sering saya ingatkan kepada Bapak Presiden yang terlalu sibuk membangun infrastruktur fisik, tetapi jarang bercakap-cakap dengan rakyat,” papar wakil rakyat yang dikenal kritis ini.
Yang menghancurkan Indonesia bukan ketiadaan infrastruktur fisik, melainkan ketika fikiran tidak dihormati. Infrastruktur berfikir dan percakapan sesama warga negara itu yang tidak ada.
“Jadi, itu yang akan menghancurkan bangsa Indonesia. Dan, itu lah kegelisahan yang kita hadapi sekarang ini, Karena percakapan tidak lagi menemukan strukturnya yang baik,” demikian Fahri Hamzah. (akhir)