JAKARTA, Beritalima.com– Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mendukung penggunaan sumber daya energi skala besar di Kalimantan Barat, termasuk energi nuklir. Karena itu, senator dari Dapil Provinsi Jawa Timur ini mendorong agar pembangunan PLTN di Kalimantan Barat segera direalisasikan.
Hal itu disampaikan LaNyalla dalam Focus Grup Discussion (FGD) dengan tema ‘Ketahanan Energi Nasional Dalam Mendukung Industrialisasi Pulau Kalimantan’ yang digelar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Senin (14/6).
Bagi LaNyalla, energi nuklir merupakan terobosan baru karena Kalimantan Barat merupakan pusat industri nasional, lumbung pangan, pusat riset dan pendidikan serta memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) tinggi.
“Ini berkaitan juga dengan Ibukota Negara yang diputuskan Pemerintah dibangun di Kalimantan Timur. Artinya, untuk membangun sebuah kota baru juga akan memerlukan energi yang besar. Jika pembangkit listrik energi Nuklir sudah terbangun di Kalimantan Barat, energinya bisa disalurkan untuk kepentingan Ibukota Negara dan juga Pulau Kalimantan.”
Menurut LaNyalla, nuklir memiliki potensi yang bisa menyediakan energi dengan biaya efisien, handal, aman dan selamat. Energi nuklir sudah banyak digunakan negara-negara maju.
Selain menawarkan sumber energi tidak terbatas, dalam penggunaannya dapat mengurangi polusi lingkungan dan volume kegiatan pengelolaan limbah, termasuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca.
“Memang keinginan untuk mengembangkan dan memanfaatkan Energi Nuklir kerap menjadi kontroversi. Reaktor nuklir diidentikkan dengan bahaya yang luar biasa. Padahal saat ini dengan kemajuan teknologi sudah sangat pesat dan pasti selalu mengutamakan aspek keselamatan dan keamanan,” jelas dia.
Untuk diketahui, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) tengah melakukan studi tapak pendirian PLTN di Kalimantan Barat yang merupakan amanat dari pembangunan jangka menengah nasional fase keempat pemerintah. Studi tapak ditargetkan berlangsung hingga 2024.
Hanya saja, Batan bertugas menyiapkan lokasi. Untuk pembangunan, itu tergantung Pemerintah. Karena itu, LaNyalla menjelaskan, jangan ada alasan dan keragu-raguan lagi dalam pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkit tenaga listrik guna memenuhi ketahanan energi dalam mendukung kesejahteraan rakyat.
“Jangan ada lagi perselisihan atau silang pendapat di antara kita. Inilah saatnya kita bersama-sama bergandengan tangan membangun Kalimantan Barat khususnya dan Pulau Kalimantan pada umumnya serta membangun Indonesia ke arah yang lebih baik,” ucap dia.
Pada sisi lain, LaNyalla menganalisa, persoalan minimnya ketersediaan energi di daerah. Menurut dia, itu tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan energi nasional. Sampai saat ini masih terjadi sentralisasi pemanfaatan energi. Sebagian besar energi siap konsumsi digunakan untuk ‘menghidupi’ Pulau Jawa, sisanya baru dimanfaatkan untuk kebutuhan energi di daerah.
“Porsi ini tak berubah dari waktu ke waktu. Tak heran jika kemudian lebih dari separo pertumbuhan ekonomi dikontribusi Jawa, lain dihasilkan empat pulau lain yang sebenarnya jauh lebih luas dan merupakan daerah-daerah lumbung energi.”
Selain itu, infrastruktur energi di daerah juga menjadi masalah utama daerah tidak berkembang. Masih banyak daerah potensial secara ekonomi, minim pasokan energi, terutama listrik.
“Untuk mengatasi ketidak-merataan pembangunan diperlukan terobosan kebijakan pengelolaan energi nasional yang lebih fair, agar daerah-daerah di luar Jawa yang notabene merupakan daerah penghasil sumber energi tidak terabaikan dalam kebijakan pengelolaan energi,” ungkap dia.
Intinya, harus ada pemerataan kesejahteraan Jawa dan luar Jawa. Sumber energi daerah luar Jawa harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. “Jangan sampai masyarakat di daerah penghasil minyak justru antri BBM, atau daerah pembangkit listrik justru sering mengalami pemadaman,” cetus dia.
Gubernur Kalbar Sutarmidji yang menjadi narasumber mengatakan, PLTN dibutuhkan mengingat listrik di Kalbar saat ini masih mengandalkan pasokan dari Malaysia. Periode Agustus 2020 kebutuhan listrik Kalbar 714,78 MW, sebagian masih bergantung dari pihak Malaysia. Beban puncak kebutuhan listrik di Kalbar 509,52 MW.
“Subsistem berstatus siaga, artinya cadangan kapasitas daya yang ada tak mencukupi bila terjadi gangguan salah satu pembangkit listrik di Kalbar. Pemanfaatan potensi energi baru terbarukan yang ada sebagai sumber pembangkit tenaga listrik, sangat dimungkinkan mensubsitusi sumber energi listrik impor.”
Pembangunan PLTN di Kalbar juga sudah menjadi rekomendasi Komisi VI DPR RI. Atas dasar kesimpulan tersebut dan juga dari hasil studi pra-survei BATAN, Pemprov Kalbar sudah mengajukan 6 tapak potensial PLTN BATAN dan telah meminta Presiden Joko Widodo untuk menetapkannya sebagai perwujudan kebijakan ‘Go Nuclear’ di Kalbar. (akhir)