JAKARTA, Beritalima.com– Aparat berwenang harus mengusut tuntas insiden dicantumkannya pasal 46 Undang-Undang (UU) Migas dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) karena tindakan menambahkan atau mengurangi dan mengubah naskah RUU yang sudah disahkan menjadi UU merupakan pelanggaran hukum serius.
Hal tersebut dikatakan anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr H Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima Beritalima.com, Minggu (31/10) pagi. “Dengan alasan tersebut, kami dari Fraksi PKS DPR RI meminta aparat yang berwenang mengusut tuntas kasus ini,” kata Mulyanto.
Yang menjadi pertanyaan, lanjut Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI bidang Industri dan Pembangunan itu, apakah dimasukannya pasal ini dalam naskah setelah disahkan Rapat Paripurna DPR RI, 5 Oktober 2020 apa sengaja atau kelalaian.
Soalnya, lanjut Mulyanto, sebelum diambil keputusan tingkat satu dalam Pleno Baleg bersama Menteri terkait, pasal itu telah disepakati untuk didrop. “Namun, kenapa pasal itu bisa muncul kembali bahkan setelah RUU Ciptaker disahkan pada Rapat Paripurna?” tanya Mulyanto.
Politisi senior yang juga anggota Komisi VII DPR RI membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan Lingkungan Hidup (LH) itu Pasal 46 UU Migas ini menjadi pangkal utama dari serangkaian masalah revisi naskah RUU Ciptaker, yang ditengarai lebih dari lima kali hingga berujung kepada terbitnya naskah setting akhir dari Setneg.
Pemerintah kembali mendrop pasal tersebut dari naskah RUU Ciptaker 1187 halaman. “Masalah ini soal penting yang harus dijawab, agar praktek bernegara kita, khususnya pembentukan perundang-undangan dapat terus dijaga dan pelihara sebagai proses perwujudan kekuasaan legislatif yang ‘sakral’.
Ini adalah soal marwah DPR RI dan bahkan kalau kita mau tarik ke atas secara lebih serius, ini adalah soal ‘kesucian’ kehidupan demokrasi kita.Kalau naskah sepenting itu, sebagai output proses formil pembentukan perundangan yang legal, saja tidak luput dari kelalaian atau kesengajaan.
“Dan, kemudian muncul drama berupa gonta-ganti naskah secara ugal-ugalan di luar forum resmi persidangan sehingga apakah lagi prosesnya sendiri, yang lebih tidak terpantau publik,” tegas Mulyanto, wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten.
Karena itu, dia meminta pihak terkait menuntaskan soal ‘memalukan’ tersebut. Jangan sampai tindak ilegal ini berulang kembali, karena dapat menciderai nilai-nilai demokrasi.Sebelumnya pernah heboh kasus pembentukan perundangan yang populer dengan sebutan ‘ayat tembakau’ dan mungkin juga ada kasus-kasus lain yang tidak terangkat ke publik.
Karena itu, kita perlu menuntaskan masalah ini dan menarik hikmah dari kasus ini agar pada masa-masa mendatang tidak terulang hal-hal yang memalukan seperti ini. “Marwah DPR adalah demokrasi. Ini wajib kita jaga bersama, agar kehidupan demokrasi politik kita dari hari ke hari semakin baik,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)