Hakim Zaman Now

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)

Dalam ilmu linguistik (ilmu bahasa), istilah “zaman now” terdiri atas dua kata, yakni “zaman” dan “now”. Secara etimologi, kata zaman berasal dari bahasa Indonesia yang artinya (1) jangka waktu yang panjang atau pendek yang menandai sesuatu; masa, dan (2) kala; waktu. Sedangkan, “now”adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris yang bisa diartikan ‘sekarang’. Dengan demikian secara harfiah “zaman now” dapat diartikan sebagai “zaman sekarang” atau “masa kini” atau juga “saat ini” (kompasiana 04/11/2021.)

Asal-usul
Meskipun istilah itu kini sangat populer tetapi sulit dilacak, siapa sebenarnya yang menggunakan istilah itu pertama kali. Menurut catatan Fredy Maunareng, istilah tersebut pernah diperbincangkan oleh acount twitter @kemdikbud.ri . Akun tersebut menyoal penulisan yang menurutnya salah. Semula warga net sering menulis dengan istilah “jaman now” (zaman ditulis jaman). Padahal, penulisan yang benar adalah “zaman now”, bukan “jaman now”. Akun twetter tersebut bermaksud meluruskan penulisan yang benar itu. Kesalahan ini mungkin sama ketika kita menyaksikan kesalahan-kesalahan penulisan kata-kata yang lain. Terhadap hal-hal kecil demikian, tampaknya banyak orang yang abai. Bahkan, betapa banyak orang terdidik dengan capaian gelar akademik tertinggi sekalipun, sering abai terhadap kaidah penulisan kata yang benar, seperti kata “mengubah” ditulis “merubah”, “berahi” ditulis “birahi”, dan sebagainya. Padahal, saat sekarang untuk menuliskan kata yang benar itu, kita tidak perlu repot-repot membuka KBBI yang tebal dan berat itu, Akan tetapi, cukup melihat KBBI yang terinstal dalam smartphone kita dan dapat menemani kita kemana pun pergi.

Sebagaimana dikemukakan oleh Fredy Maunareng istilah “zaman now” adalah istilah yang ditarik dari “Kids zaman now” sebagaimana yang digambarkan sebelumnya. Penggunaan istilah “kids zaman now” menggambarkan keadaan anak-anak zaman sekarang. Jika mengaitkan kebiasaan anak-anak zaman sekarang dengan yang sebelumnya, kita akan menemukan hal-hal yang berbeda di situ. Misalnya, gaya hidup yang bergantung pada gadget. Apapun yang dilakukan selalu diabadikan dengan kamera atau bahasa kerennya selfi. Mau makan, harus selfi; sedang tidur, selfi juga; sedang menangis karena patah hati dicuekin atau ditinggalkan pacar, selfi juga. Yang aneh, mau bunuh pun selfi juga. Bahkan, tidak sebatas mengabadikan gambar, setelah selfi pun tidak afdol kalau tidak di-posting. Keterkaitan dengan dunia media sosial (medsos) kemudian tidak bisa dibantah lagi.

Hakim Zaman Now
Menjadi hakim tentu menjadi idaman banyak orang yang berlatar belakang sarjana hukum. Profesi hukum yang satu ini sering menjadi incaran karena dua hal. Pertama, menjadi hakim adalah sama menekuni profesi terhormat. Kedua, hakim adalah ASN yang secara formal mempunyai gaji lebih tinggi dibanding ASN lainnya. Eksistensinya sebagai penegak hukum sekaligus penegak keadilan sering tidak hanya disegani tetapi juga ditakuti oleh bayak orang. Palu keadilan yang diketokkan di meja sidang, sering membuat banyak orang harap-harap cemas. Irah-irah putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”, sering distigmakan kepada hakim, bahwa hakim sejatinya adalah wakil tuhan di muka bumi. Itulah sebabnya, meskipun tidak ada aturan yang jelas, hakim sering mendapat predikat panggilan “Yang Mulia”. Apakah predikat benar-benar layak diterima, masyarakat tampaknya banyak yang tidak peduli. Semua yang menjadi hakim, betapapun belum jelas integritasnya, tetap dipanggil dengan panggilan “Yang Mulia”. Banyaknya kasus yang mendera beberapa oknum hakim, telah mendorong negara melalui lembaga yang berkompeten, berusaha keras agar marwah pengadil ini tetap terjaga. Secara formal, usaha menjaga marwah hakim tersebut telah termuat dalam pedoman perlaku hakim (PPH) yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006. Selang kurang lebih 3 tahun kemudian dibuatlah kode etik hakim hasil keputusan bersama: Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 tanggal 8 April 2009.

02/SKB/P.KY/IV/2009
Muara dari upaya aturan formal tersebut, buat hakim memang dimaksudkan agar eksistensi hakim dengan segenap predikat kemuliaan yang disandang tetap terjaga integritasnya. Akan tetapi, bagi hakim yang kini hidup di zaman now ini tentu tidak mudah. Banyak godaan baru yang kalau tidak diwaspadai akan berbuah ‘hukuman’ bagi hakim. Godaan baru di zaman now ini, misalnya ketika hakim harus berhadapan dengan medsos. Ironisnya, ketika ‘aturan formal’ itu dibuat, jagat medsos ( WA, instagram, tweetter, tiktok dan lainnya ) belum semarak sekarang. Satu-satunya medsos yang sudah marak ketika itu ialah facebook (FB). Beberapa tahun lalu ada hakim agama berselfi ria dengan pihak yang berperkara usai sidang. Fotonya–dengan pihak yang tidak lain seorang artis cantik ibu kota itu–sontak terkenal di jagat medsos teman-teman seprofesi. Pro kontra pun terjadi di kalangan teman sesama hakim. Akan tetapi, di balik pro kontra itu pun tampakanya ada sesuatu yang menarik untuk menjadi bahan refleksi kita. Sesuatu itu ialah: bahwa berselfi ria dan perilaku lain pada umunnya yang lazim zaman now, tempakanya telah menjadi bagian gaya hidup siapapun. Hakim tidak bisa terhindar dari dunia itu. Meskipun penulis, menganggap kasus berselfi ria oleh hakim tersebut sesuatu yang masih dalam batas kewajaran, tetapi zaman now yang ditandai dengan kemunculan berbagai ragam jagat medsos, tampaknya harus disikapi sendiri oleh hakim dengan bijak. Lalu lintas informasi yang mondar-mandir secara bebas di kanan kiri hakim jangan sampai membuat hakim lengah. Kebiasaannya bekerja dengan asas audi et alteram partem ( mendengar kedua belah pihak ) dan memutus dengan bukti-bukti harus menjadi budaya hidup hakim sehari-hari. Dengan kata lain, suguhan informasi berupa peristiwa, pandangan politik, atau berita apapun, tidak boleh menghilangkan sikap kritis hakim. Setelah melalui kajian mendalam dengan memakai cara seperti menghadapi perkara, seorang hakim harus berani sekaligus legowo untuk bersikap: “katakan benar kalau memang benar dan katakan salah kalau memang salah”. Konteksnya dengan dunia medsos, sebaiknya seorang hakim lebih baik diam jika memang tidak pada kapasitasnya berkomentar menganai sesuatu yang tidak dikuasai agar tidak semakin menambah ramaianya hoax. Apalagi, ikut menyebarkananya. Mengapa demikian? Sebab, berita hoax yang disebarkan seorang hakim pasti mempunyai tingkat menyesatkan lebih tinggi dibanding kalau hoax tersebut disebarkan oleh orang awam.

Dengan demikian, seorang hakim zaman now memang tidak boleh meletakkan mata di hanya kepala tetapi juga di alam pikiran. Dengan meletakkan mata di alam pikiran seorang hakim bisa jeli dalam mengambil keputusan dalam arti luas, termasuk objektif dalam menilai sebuah informasi dan setiap peristiwa yang berada di hadapannya. Seorang hakim harus meletakkan mata di mulutnya. Dengan meletakkan mata di mulut, diharapkan hakim dapat lebih berhati-hati ketika berkata. Seorang hakim juga harus meletakkan mata di kakinya. Dengan meletakkan mata di kakinya, seorang hakim diharapkan agar tidak membuat langkah yang salah. Langkah salah yang dimaksud di sini bisa dalam arti konotatif maupun arti denotatif. Seorang hakim juga harus meletakkan mata di tangannya. Dengan meletakkan mata di tangan, diharapkan seorang hakim berhati-hati mengoperasikan fungsi tangan, antara lain mengambil, menolong, atau tindakan tangan lainnya. Mengapa demikian? Kecanggihan teknologi, bisa meneropong kehidupan hakim selama 24 jam. Atau, dengan kata lain hakim zaman now di samping membuat hakim lebih banyak mendapat kemudahan, tetapi sejatinya pada saat yang sama, seorang hakim nyaris seperti hidup dalam ruang kecil ber-CCTV (Closed Circuit Television) pula. Terhadap makhuk bernama “jejak digital”, waspadalah pula!

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait