Teks Foto: Diskusi media yang diselenggarakan Social Media for Civic Education (SMCE) dengan tema ‘Medsos, Rekonsiliasi Nasional dan Ancaman Radikalisme, Selasa (27/8/2019) di Hotel Central, Jl. Pramuka, Jakarta Pusat. Foto: KMI/dok.
Jakarta – Abdul Kadir Karding Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengatakan saat ini kelompok radikalisme agama menjadikan media sosial (medsos) sebagai alat propaganda dan perjuangan politik. Sehingga kata anggota DPR RI ini, walaupun mereka tidak ketemu tatap muka, akan tetapi tetap bisa merekrut anggota baru.
“Radikalisme lahir disebabkan keyakinan orang cenderung radikal, karena mendapatkan pemahaman agama dengan menisbatkan dirinya sebagai orang yang paling suci,” kata Abdul Kadir Karding dalam diskusi media yang diselenggarakan Social Media for Civic Education (SMCE) dengan tema ‘Medsos, Rekonsiliasi Nasional dan Ancaman Radikalisme, Selasa (27/8/2019) di Hotel Central, Jl. Pramuka, Jakarta Pusat.
Menurut Karding sapaan akrabnya, Ide dan gagasan dari luar sampai di Indonesia, karena juga peran media dan massifnya di era revolusi digital 4.0 ini. Bahkan, kenapa organisasi moderat seperti NU dan Muhammadiyah gagal dalam medsos? Karena mereka tidak mampu membuat konten-konten yang ringan seperti pada era sekarang.
“Rata rata gerakan radikalisme seperti membuat bom atau teror itu bisa belajar dari online tanpa tatap muka. Medsos salah satu polarasisasi dalam politik atau politik identitas,” jelasnya.
Selain itu kata Karding, medsos juga bisa melapetaka bagi bangsa, sebab orang yang radikal pasti tidak paham beragama karena mereka dicekoki oleh paham dari luar.
“Cara untuk menghentikan radikalisme yaitu ada di kurikulum pendidikan kita. Cara mengatasi radikalisme diantaranya, harus ada pendidikan literasi kepada masyarakat, harus ada mengurangi politik identitas yang berlebihan dan harus mendiskusikan pers yang tidak partisan,” katanya.
Selanjutnya menurut Karding, menangkal radikalisme juga harus memperbaiki ekonomi di masyarakat, karena sebagian orang tidak puas terhadap pemerintah. Keadaan sosial dan pemimpin harus diperbaki juga dan tugas pemerintah harus memuaskan masyarakatnya.
“Ada sekitar 68 juta orang yang belum puas terhadap pemerintahan yang ada di Indonesia. Oleh sebab itulah kalau ada kepuasan pada masyarakat, saya pikir masyarakat tidak mudah terpengaruh radikalisme. Meskipun di gembosin lewat medsos,” ujar Karding.
Sementara itu Prof. Dr Indria Samego, Pengamat Politik dari LIPI Universitas Indonesia mengatakan, pers itu merupakan kekuatan ke 4 demokrasi di Indonesia. Selain itu pers merupakan jembatan atau lidah rakyat.
“Pers di masa orba sangat dibungkam oleh penguasa dan pers itu kalau mau mengeluarkan berita harus pamit Kejaksaan, TNI dan lain-lain karena pers (koran) dianggap ancaman terhadap pemerintah pada orde baru,” jelasnya.
Kata Indria Samego, peran wartawan mulai ditakuti sejak Soeharto lengser. Jatuhnya Soeharto ada peran dari majalah di hongkong yang menceritakan kisah Soeharto dan keluarganya. Hal itu merupakan salah satu tekanan proses percepetan lengsermya Soeharto.
“Dengan gadget yang kita punya, kita bisa mentransfer kemana saja dengan mudah. Bahkan kita sendiri bisa menjadi aktor yang cendrung ke kebanyakan berita negatif,” tukas Indria Samego.
Menurut Idria Samego, Kominfo yang pernah membatasi medsos, seperti pasca pilpres. Hal itu bisa menimbulkan reaksi besar dari masyarakat kalau pembatasanya terlalu lama.
“Adanya revolusi teknologi pasca reformasi, kita termasuk negara yang sangat bebas. Yang mana kebebasan tersebut bermacam-macam digunakan ada untuk ekonomi, politik, bahkan ke negatif pun digunakan. Sehingga lahirnya berita pencemaran nama baik,” ungkapnya.
Selain itu Roy Abimayu dari Kantor Staf Preside (KSP) mengatakan, saat ini masyarakat di medsos itu tidak lengkap mendapatkan berita, akan tetapi masyarakat menjadi paham karena pengaruh medsos.
“Yang terpenting dari pengguna medsos, yaitu jangan terlalu percaya berita yang ada di medsos, dalam artian masyarakat harus kritis. Negatifitas yang ada di medsos itu ada kelompok-kelompok tertentu, yang itu harus kita sadari,” kata Roy Abimanyu.
Menurutnya, ada yang merepotkan pengguna medsos, yaitu kelompok-kelompok kecil yang tidak suka terhadap Indonesia. Karena beda etnis dan ideologi itu yang sangat berbahaya.
“Kalau hanya beda politik itu bisa diselesaikan dengan cara rekonsiliasi, tapi kalau masalah ideologi itu merupakan tantangan bagi kita,” tandas Roy Abimanyu.
Terakhir katanya, kelompok-kelompok kecil tersebut yang harus kita selesaikan dengan berbagai cara. Karena itu menurut Roy Abimanyu, Ideologi tidak bisa dibubarin maka kita harus lawan dengan ideologi juga.
Pembicara terakhir, Hafys Marshal, Pimpinan Redaksi KataIndonesia.com mengatakan, paling banyak yang menyebarkan berita hoax itu emak-emak. Mereka ketika dapat berita di medsos kebanyakan langsung di share tanpa difilter terlebig dahulu.
“Saya mengajak kepada teman-teman untuk memproduksi berita yang positif, seperti konten menjaga keutuhan NKRI, menjaga kerukunan dan perdamaian,” katanya.
Kata Hafys sapaan akrabnya, media online atau media cetak memiliki peran penting sebagai penyeimbang dan kontrol terhadap apapun di era kebebasan informasi ini.
“Kita perlu mendidik masyarakat (red-warganet) memahami mana konten-konten yang negatif, mengandung ujaran kebencian, hoax dan adu domba. Peran pers dan media menyampaikan hal ini kepada masyarakat (warganet) agar lebih bijak bersosial media,” pungkas Hafys. (red)