JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid mengatakan, tidak ada alat ukur seberapa pentingnya amandemen UUD 1945 yang diamanatkan MPR RI 2014-2019.
Hal tersebut dikatakan Jazilul dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema ‘Urgensi Amendemen Konstitusi’ yang diselenggarakan di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (11/12).
Dalam diskusi tersebut, selain Jazizul juga tampil sebagai pembicara Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) MPR RI, Muhammad Iqbal dan Filep Wamafma, anggota MPR RI dari kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Dikatakan Jazizul, semua fraksi yang ada di MPR RI, 16 Agustus 2019 2019 telah memutuskan pentingnya amandemen terbatas UUD 1945 khususnya menyangkut usaha mengembalikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Soalnya, Lembaga Kanjian (Lemkaji) MPR RI dalam kajiannya baik melalui Forum Discusion Group (FGD) maupun dalam pertemuan dengan berbagai Perguruan Tinggi (PT) di berbagai kota di Indonesia disimpulkan perlu adanya haluan negara seperti GBHN masa Orde Baru untuk menentukan arah pembangunan Indonesia.
“Tak ada yang tidak pernah berubah, termasuk UUD 1945. Bahkan UUD 1945 sudah empat kali mengalami perubahan dalam tenggang waktu 1999-2002,” ungkap wakil rakyat dari Dapil X Provinsi Jawa Timur tersebut.
Kalau dilihat berbagai perspektif dari kajian, lanjut laki-laki kelahiran Gresik, Jawa Timur, 5 Desember 1971 tersebut, penting dilakukannya amandemen terbatas sebagai mana rekomendasi MPR RI masa bakti 2014-2019.
Berbekal itu, lanjut anggota Komisi III DPR RI ini, kami dari pimpinan MPR 2019-2024 baik dari Fraksi Partai Politik maupun Kelompok DPD RI melakukan Silaturahmi Kebangsaan dengan mendatangi pimpinan partai politik termasuk organisasi masyrakat.
Acara Silaturahmi Kebangsaan tersebut, kata Jazizul, bakal kami lanjutkan untuk mendapatkan masukan dari berbagai lapisan masyarakat sehingga nantinya munculah beberapa pemikiran tak hanya terkait amandemen soal memunculkan kembali semacam GBHN tetapi juga pasal lain.
Misalnya, kata Jazizul, ketika pimpinan MPR RI melakukan Silaturahmi Kebangsaan ke pimpinan Nahdlatul Ulama (NU). Kala itu, Pimpinan NU memberikan signal agar pemilihan langsung baik itu kepala daerah maupun presiden-wakil presiden perlu dievaluasi.
Demikian juga menyangkut pasal 33 UUD 1945 dasar terkait dengan perencanaan prinsip pembangunan nasional dan kesejahteraan sosial, itu juga perlu dilakukan pembaharuan karena disitu diksi yang dipakai efektifitas berkeadilan, salah satu prinsip ekonomi karena dianggap tidak jelas maknanya.
“Dari pemetaan, pimpinan MPR RI masih tahap mendengar, setidaknya beberapa organisasi yang kita datangi menyatakan perlu amandemen. Namun, pasal-pasal mana saja yang harus diamandemen, pimpinan MPR RI masih terus mencari masukan,” demikian Jazizul Fawaid. (akhir)