– Serial 10 P untuk Marketing Politik
Denny JA
Itu mungkin lukisan paling tua soal pemilu modern. Ada empat seri lukisan minyak. Dilukis tahun 1755, sekitar 265 tahun lalu. Pelukisnya William Hogard. Judul seri lukisan: Humour of An Election.
Penulis sempat melihat lukisan itu di Sir John Soane’s Museum di London. Satu dari empat lukisan Hogard itu berjudul Canvassing For Votes.
Lama penulis menatap lukisan itu. Bukan hanya karena Hogard merekam salah satu metode marketing politik paling tua dalam sejarah pemilu modern: canvassing. Ialah metode mempengaruhi pilihan individu melalui jumpa tatap muka, ke rumah- rumah.
Namun penulis teringat pengalaman pribadi menggunakan metode marketing itu. Momennya sekitar Juni 2014.
Itu era dua minggu lagi hari pencoblosan Pilpres 2014. Dari hasil survei LSI Denny JA saat itu: Jokowi- JK hampir saja dikalahkan.
Tracking survei nasional LSI Denny JA sebelumnya, berbulan lalu, pasangan Jokowi- JK sempat unggul melawan Prabowo- Hatta di atas 20 persen. Tapi selisih ini terus menerus mengecil. Selisih menjadi di bawah 15 persen, di bawah 10 persen, dan di bawah 5 persen.
Pernah satu masa, sekitar sebulan sebelum hari pencoblosan, selisih kemenangan Jokowi JK tinggal 0.5- 3 persen saja, dengan mempertimbangkan margin of error.
Artinya, dukungan Jokowi- JK terus merosot. Sementara dukungan Prabowo- Hatta terus menanjak. Ini lampu merah bagi tim kampanye Jokowi- JK. Jika selisih trend ini tak dibalik, Jokowi- JK akan dikalahkan.
Di momen itu, penulis bersama tim LSI Denny JA melakukan Canvassing di wilayah 7 provinsi terbesar: Jabar, Jateng, Jatim, DKI, Banten, Sumut dan Makasar. Ini kegiatan massif door to door ke rumah penduduk. Tujuannya: mengangkat dukungan Jokowi- JK kembali.
Sebulan sebelum kampanye berakhir Juni 2004, kantor LSI berubah menjadi gudang. Puluhan karung berisi kartu program dan pamflet menunggu waktu dikirim ke 7 provinsi.
Teman teman LSI mengerti. Tak ada pilihan lain. Waktu sangat mepet. Kami membuat rapat, di antara tumpukan karung itu.
Pemilu tinggal kurang dari sebulan. Tak ada kegiatan lain kecuali canvasing, door to door. Harus fokus. Harus massif. Harus tepat sasaran. Harus targeting hanya untuk segmen pemilih tertentu. Hanya untuk wilayah tertentu.
Melihat lukisan Hogard itu, memori penulis melayang ke masa silam.
-000-
Di Youtube, video itu masih tersimpan. Judulnya: (OPINI) Denny JA menggerakkan Relawan di Jawa Tengah. Isi video memberi motivasi relawan dari aneka kabupaten/ kodya di Jawa Tengah, Juni 2014. (1)
Judul pertemuan itu: 11 Hari Yang Menentukan Menang atau Kalah.
Dihadapan relawan, penulis mengkutip kisah Abraham Lincoln. Ia salah satu presiden terbesar di Amerika Serikat.
Kepada para pendukung, Abraham Lincoln bekata. “Mohon direnungkan. Politik bukan satu satunya medan pengabdian. Jika memang politik bukan panggilan hidup, silahkan para relawan untuk berkemas pergi.”
“Tapi,” ujar Lincoln lagi, “jika memang politik bidang pengabdian, semua relawan yang ada di sini, saya mohon, hanya berpikir satu hal saja: menang! Jangan ada pikiran lain, kecuali menang. Menang! Menang!
Penulis mengutip Lincoln di hadapan para relawan Jawa Tengah. Waktu pemilihan tinggal 11 hari lagi.
Penulis uraikan matematika ringan. Betapa pentingnya Jawa Tengah untuk kemenangan Jokowi.
Total populasi pemilih Jawa Tengah itu 14 persen dari pemilih Indonesia. Jika selisih kemenangan Jokowi- JK di Jawa Tengah 50 persen, maka itu menyumbang selisih kemenangan nasional 50 persen x 14 persen: 7 persen.
Katakanlah dari total 32 provinsi lain, Jokowi- JK kalah 5 persen. Namun di Jawa Tengah saja, Jokowi- JK menang 7 persen (selisih kemenangan 50 persen x 14 persen), totalnya Jokowi- JK tetap menang.
Bisakah Jokowi- JK menang di Jawa Tengah setelak-telaknya dengan selisih 50 persen? Penulis meyakinkan, mengapa tidak? Ini provinsi tempat Jokowi dilahirkan. Dalam pilkada walikota Solo, Joko menang dengan selisih di atas 70 persen.
Lalu penulis dan tim memperkenalkan metode Canvassing untuk 11 hari terakhir. Relawan diminta datang ke rumah rumah membagikan kartu pintar dan kartu sehat.
Waktu tak lagi cukup. Ujar penulis, kita hanya menyasar satu segmen pemilih saja: wong cilik. Juga kita sasar hanya di sebagian kabupaten.
Relawan bersemangat. Training Canvassing, door to door diberikan.
Pemilu terlaksana. Jokowi- JK menang telak di Jawa Tengah: 65.8 persen vs 32. 9 persen. (2). Total selisih kemenangan Jokowi sekitar 43 persen.
Jokowi- JK pun terpilih sebagai pasangan presiden wapres 2009-2014.
-000-
Kisah di atas sengaja dipapar untuk membangun imajinasi topik bahasan P 7: Pull Marketing.
Untuk strategi marketing politik, penulis sudah merumuskan 10 P. Esai sebelumnya sudah menjelaskan apa itu P1, P2, P3, P4, P5 dan P6.
Esai kali ini khusus untuk p 7: Pull Marketing. Istilah tersebut merujuk pada satu jenis marketing untuk meningkatkan “Demand,” dari pemilih.
Kandidat atau partai atau gagasan oleh relawan diperkenalkan kepada pemilih dengan bertatap muka. Untuk marketing politik, dua instrumen Pull Marketing yang lazim. Yaitu: Canvassing dan Get Our The Vote (GOTV)
Bagaimana dunia akademik membahas dua instrumen itu? Bagaimama teknik baik Canvasing ataupun GOTV?
Canvassing sering kita sebut dengan kampanye dari rumah ke rumah (door to door campagn). Kampanye dilakukan secara langsung dengan mendatangi pemilih.
Ini membedakannya dengan kampanye lain, seperti kampanye di lapangan terbuka atau lewat media.
Dalam kampanye door to door, pemilih langsung didatangi. Tentu saja, mendatangi pemilih ini bisa dilakukan oleh kandidat sendiri. Tapi untuk jumlah pemilih yang ratusan ribu hingga jutaan, tim / relawan yang mewakili kandidat, menjumpai pemilih.
Kampanye dari rumah ke rumah sangat penting, karena alasan berikut:
(a) Dengan mendatangi pemilih secara langsung, kita akan mendapat data mengenai identifikasi mereka.
Data survei hanya memberikan data agregat mengenai posisi kandidat dan kompetitor. Misalnya, berapa banyak yang mendukung kandidat dan lawan. Data survei tidak bisa memberikan data mengenai “siapa,” nama dan alamat, yang mendukung, dan siapa yang lebih memilih kompetitor.
Data semacam ini bisa diberikan oleh kampanye dari rumah ke rumah.
Data mengenai identifikasi pemilih (Voter ID) ini sangat penting, karena nantinya bisa menjadi basis dalam melakukan kampanye.
(b) Dengan melakukan kampaye secara langsung (orang per orang), kampanye bisa dilakukan secara personal. Pemilih lebih merasa diperhatikan, dan suaranya didengar.
Langkah pertama yang dilakukan sebelum melakukan kampanye dari rumah ke rumah (door to door campaign) adalah melakukan pemetaan atas target sasaran (targetting).
Targetting dilakukan dengan kasadaran bahwa kampanye dari rumah ke rumah tidak mungkin dilakukan pada semua orang, di semua rumah.
Kita mempunyai keterbatasan waktu, tenaga dan dana. Pemilihan, terutama dengan wilayah luas seperti Pilkada gubernur, apalagi pilpres, umumnya menyertakan jutaan pemilih.
Akan dibutuhkan banyak sekali dana dan tenaga jika semua calon pemilih ini didatangi satu per satu. Dengan alasan itulah maka kita mensasar target pemilih (targetting).
(a) Efektivitas Pesan.
Dengan target pemilih (targetting) yang jelas dan terukur maka pesan kampanye yang ingin disampaikan kepada pemilih menjadi lebih efektif dan tepat sasaran. Bayangkan misalnya, Anda diminta untuk mengedarkan brosur (leaflet) mengenai obat pelangsing tubuh.
Jika Anda tidak mempunyai target sasaran yang jelas, Anda akan menyebarkan brosur itu ke semua orang yang Anda temui di jalan, pasar, sekolah dsb.
Bisa dipastikan, pesan dalam brosur itu tidak akan efektif, karena lebih banyak orang yang membuang / tidak membaca brosur.
Akan berbeda jikalau Anda melakukan targetting yang jelas. Obat pelangsung itu hanya relevan bagi orang yang sadar akan penampilan. Dengan itu, Anda akan menyebarkan brosur itu di tempat-tempat dimana wanita lebih sadar akan penampilan. Misalnya di kampus atau mall.
Mungkin sebagian akan membuang brosur. Tapi jika segmen masyarakatnya tepat, bisa dipastikan akan lebih banyak yang menerima dan membaca brosur tersebut.
Sudah lazim jika calon presiden yang bertarung melakukan targetting. Kampanye dari rumah ke rumah tidak dilakukan ke semua provinsi atau negara bagian.
Di Amerika Serikat, ada negara bagian yang secara tradisi menjadi wilayah Demokrat. Misalnya California, dan Washington. Tetapi ada wilayah yang secara tradisional menjadi basis dari Partai Republik. Misalnya Texas, dan Wyoming.
Di wilayah-wilayah ini, hampir dipastikan calon yang diusung oleh Partai Republik ataupun Demokrat akan menang. Itu tak peduli kualitas calon atau program yang ditawarkan.
Wilayah basis partai Republik dikenal sebagai “daerah merah.” Sementara basis Demokat disebut sebagai “daerah biru”.
Tetapi di luar basis Republik dan Demokrat, ada wilayah abu-abu. Itu wilayah yang mengambang yang dikenal sebagai medan pertempuran” (”battleground”). Daerah ini umumnya tidak bisa diprediksikan akan mendukung calon Republik atau Demokrat.
Yang termasuk ke dalam daerah mengambang ini: Florida, Ohio, Colorado, Indiana, Missouri. Termasuk juga New Hampshire, New Mexico, Nevada, North Carolina, Pennsylvania, Virginia dan Wisconsin. Pertarungan Pemilu Presiden di Amerika utamanya terjadi di daerah mengambang (battleground) tersebut.
Di daerah yang menjadi basis kandidat, umumnya kandidat hanya memperkuat preferensi, misalnya lewat iklan. Sementara kampanye dari rumah ke rumah, biaya dan tenaga lebih banyak diarahkan untuk wilayah mengambang.
Tidak mengherankan jikalau di wilayah mengambang terutama dengan suara besar (seperti Ohio dan Florida) persaingannya sangat sengit.
Kemenangan Barack Obama dalam Pemilu 2008 diantaranya ditentukan oleh keberhasilannya dalam memenangkan wilayah mengambang. Misalnya, di Florida (memperebutkan 27 electoral votes).
Dalam Pemilu 2004, Bush (Republik) mengalahkah Kerry (Demokrat) dengan perolehan 52 persen lawan 47 persen. Pada Pemilu 2008, Obama (Demokrat) bisa membalik keadaan dan mengambil suara dari Florida.
Demikian juga dengan Ohio (20 electoral vote). Pada Pemilu 2004, daerah ini juga dimenangkan oleh Partai Republik (Bush). Pada Pemilu 2008, Obama (Demokrat) berhasil meraih kemenangan di daerah ini.
Apa yang dilakukan oleh Obama adalah mensasar pemilih (melakukan targetting). Obama sadar dirinya tidak akan menang (dengan mengerahkan berapa pun biaya dan sumber daya) di daaerah yang memang menjadi basis tradisional Republik. Itu seperti Texas, dan Wyoming.
Yang bisa dilakukan oleh Obama mempertahankan pemilih di basis Partai Demokrat. Lalu melakukan kampanye besar-besaran di wilayah mengambang dimana ia punya potensi menang. Itu seperti Florida dan Ohio.
b) Efesiensi Sumber Daya. Target pemilih (targetting) juga penting untuk efesiensi sumber daya. Efesiensi disini berarti bagaimana memanfaatkan sumber daya yang dipunyai (waktu, tenaga, uang, relawan dsb) secara maksimal dan efektif.
Ilustrasi: Pilkada Kabupaten Kepulauan Sangihe. Total pemilih di Kabupaten Sangihe berjumlah 193.764 orang. Pemilih di Kabupaten Kepulauan Sanghe (Sulawesi Utara) tersebar di 17 kecamatan.
Kecamatan yang ada di Kepulauan Sangihe sangat tersebar, bahkan dipisahkan oleh laut, berupa pulau-pulau kecil.
Jika kita tidak melakukan targetting, maka kampanye dari rumah ke rumah (door to door campaign) itu dilakukan ke semua wilayah. Kita bisa bayangkan berapa banyak tenaga, waktu, dan biaya yang harus dikeluarkan. Karena ini berarti kita harus mengunjungi puluhan pulau-pulau kecil.
Targetting bisa dilakukan dengan hanya mensasar sebagian pemilih. Misalnya pemilih di wilayah yang besar. Dengan cara ini kita tidak mensasar 17 kecamatan, tetapi hanya 9 kecamatan dengan jumlah penduduk padat.
Dengan targetting ini, total pemilih yang bisa dijangkau memang sebesar 75.5%. Tetapi kita bisa menghemat banyak sumber daya, waktu dan tenaga untuk keperluan lain.
Target suara itu harus dirumuskan secara objektif. Data hasil survei atau pengalaman Pemilu sebelumnya bisa dipakai sebagai data awal dalam menentukan suara minimal yang bisa dicapai.
Lewat targetting, kita memang hanya fokus pada pemilih di sejumlah wilayah potensial. Tetapi yang harus diperhatikan, target sejumlah wilayah itu harus memperhitungkan apakah perolehan suara kandidat cukup aman atau tidak.
Perlu dieskplor apakah kandidat bisa mendapatkan suara minimal yang harus didapat. Seandainya pemilihan (misalnya Pilkada) diikuti oleh 2 orang kandidat, maka minimal targetting itu harus mendapatkan suara 51%.
Target minimal suara ini bisa dihitung secara mudah dengan melihat wilayah mana yang akan menjadi target sasaran. Berapa persen suara diprediksikan bisa didapat di wilayah tersebut?
-000-
Sebagai ilustrasi kita membuat program kampanye dari rumah ke rumah (door to door) di Provinsi Jambi. Kita melakukan targetting di 6 kabupaten.
Pemilihan wilayah harus memperhitungkan proporsi wilayah tersebut. Sebisa mungkin wilayah yang dipilih adalah wilayah dengan proporsi terbesar. Dalam ilustrasi ini kabupaten Kerinci, Merangin, Muaro Jambi, Tajung Jabung Barat, Tebo, dan Kota Jambi.
Dari 6 wilayah yang kita ambil tersebut, total populasi pemilih adalah 66.6%. Kita melakukan targetting di 6 kabupaten (Kerinci, Merangin, Muaro Jambi, Tajung Jabung Barat, Tebo, dan Kota Jambi). Dari wilayah yang kita ambil tersebut, tentukan target kemenangan di masing-masing wilayah.
Prosentase kumulatif dari target sasaran kita haruslah lebih besar dari target minimal (dalam kasus ini harus di atas 50%). Karena perolehan suara minimal sudah tercapai, kita bisa cukup yakin untuk hanya mensasar kampanye dari rumah ke rumah di 6 kabupaten di Provinsi Jambi.
Kesalahan umum yang kerap terjadi saat melakukan targetting adalah menentukan wilayah sasaran hanya berdasarkan “selera” dari tim. Ia bukan berdasar pada pertimbangan objektif.
Setelah jumah target pemilih telah ditentukan, kita bisa menentukan jumlah relawan yang dibutuhkan dalam melakukan kampanye dari rumah ke rumah.
Jumlah relawan bisa dihitung dengan memperhitungkan jumlah rumah tangga di wilayah sasaran. Dalam ilustrasi ini, dari 5 wilayah, kita cukup menyasar 650. 951 rumah tangga saja. Tak perlu semua rumah tangga.
Berapa banyak relawan yang dibutuhkan? Jumlah relawan (volunteer) bisa dihitung dengan melihat berapa target jumlah rumah tangga yang dibebankan kepada masing-masing relawan.
Misalnya, setiap relawan diberi beban 200 rumah tangga. Maka dibutuhkan relawan sebanyak: 690.951÷200 = 3.455 relawan.
Beban relawan bisa dihitung dengan jalan melihat berapa waktu yang dipunyai oleh relawan. Dalam ilustrasi ini, relawan diberi beban 200 rumah tangga. Jika dalam 1 rumah tangga dibutuhkan waktu 30 menit, maka dibutuhkan waktu sebanyak : 200 x 30 = 6.000 menit (100 jam).
Jika dalam 1 hari dibutuhkan 5 jam, maka kampanye ini membutuhkan waktu sebanyak 20 hari. Beban ini harus disampaikan kepada masing-masing relawan.
Salah satu bagian terpenting dalam proses ini rekruitmen relawan. Mengapa? Karena relawan (volunteer) itu ujung tombak kegiatan kampanye dari rumah ke rumah.
Berhasil tidaknya kegiatan ini sangat ditentukan oleh keberhasilan relawan dalam mempersuasi pemilih. Yang perlu diperhatikan, relawan yang direkrut orang yang benar-benar mempunyai motivasi dalam melakukan kegiatan ini.
Sebelum relawan terjun ke lapangan dan melakukan door to door campaign, dilakukan pelatihan (workshop). Dalam workshop ini akan dibahas mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh relawan, materi apa saja yang harus diberikan kepada rumah tangga pemilih, dan sebagainya.
Agar masing-masing relawan mempunyai pemahaman yang sama mengenai kegiatan kampanye dari rumah ke rumah, akan lebih baik jika setiap relawan dibekali dengan buku panduan.
Buku panduan itu menjelaskan mengenai target relawan, dan hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh relawan di lapangan.
Setelah relawan mendapatkan pelatihan (workshop), relawan terjun ke lapangan dan menjangkau pemilih yang sudah ditentukan. Prinsip penting yang harus ditekankan kepada relawan adalah target dan disiplin dalam menjangkau sasaran.
Jika setiap relawan ditargetkan mengunjugi 200 rumah tangga, maka target ini harus dikerjakan secara disiplin. Kita juga perlu mempunyai mekanisme yang memungkinkan mengecek (memverfikasi) hasil kerja dari reawan.
-000-
Apa saja yang dilakukan dalam kampanye dari Rumah Ke Rumah?
Pertama, identifikasi pemilih (Voter ID). Bagian penting dari kegiatan door to door campaign itu identifikasi pemilih (voter ID). Data ini sangat penting untuk kegiatan-kegiatan lanjutan.
Relawan menanyakan kepada pemilih, apakah pemilih mengenal kandidat dan memilih kandidat. Di sini, pemilih bisa dibagi ke dalam 4 kategori (A, B, C, dan D). Ini kategori untuk membedakan posisi pemilih terhadap kandidat atau partai: mulai dari tidak mengenal sama sekali, hingga sudah menentukan pilihan.
Identifikasi pemilih ini penting karena akan menentukan langkah persuasi yang dilakukan kepada pemilih.
Ketika mengunjungi rumah tangga pemilih, relawan akan mendata satu per satu anggota rumah tanga dan mencatat identifikasi (voter ID). Pencatatan ini dilakukan pada sebuah lembar catatan Voter ID.
Pencatatan identifikasi pemilih ini haruslah dilakukan secara teliti dan detil. Setiap anggota raumah tangga harus dicatat identifikasinya (Party ID).
Kedua, persuasi pemilih. Setelah dilakukan identifikasi pemilih (Voter ID), langkah selanjutnya adalah melakukan persuasi. Jenis persuasi yang dilakukan sangat tergantung kepada identifikasi dari masing-masing pemilih.
Jika pemilih masuk dalam kategori A (tak mengenal kandidat). Yang harus dilakukan oleh relawan mengenalkan kandidat dan menjelaskan program kerja dari kandidat. Instrumen (seperti foto kandidat, buku saku program kerja dsb) bisa diberikan kepada pemilih.
Untuk kategori B (belum menentukan pilihan tapi cenderung mendukung kompetitor), perlu dilakukan persuasi lebih keras. Usaha lebih keras dilakukan jika pemilih masuk kategori C (mendukung kompetitor).
Sementara untuk kategori D (pemilih mengenal dan memilih kandidat), persuasi yang dilakukan hanya memperkuat pilihan pemilih saja.
Ketiga, Follow Up. Kampanye dari rumah ke rumah (door to door campaign) tidak boleh dilakukan sekali. Ia perlu dilakukan beberapa kali hingga menjelang pemilihan.
Setiap kegiatan mempunyai target masing-masing. Misalnya, untuk kegiatan kampanye awal dilakukan dengan target meningkatkan pengenalan (popularitas) kandidat. Kegiatan selanjutnya ditujukan untuk meningkatkan dukungan pemilih, dan seterusnya.
Di sela-sela kegiatan door to door campaign perlu dibuat evaluasi. Misalnya dengan membuat survei untuk melihat sejauh mana kemajuan yang didapat. Apakah ada kenaikan popularitas dan dukungan pemilih pada kandidat dan kompetitor.
Setelah relawan mendatangi pemilih, proses penting yang tidak boleh dilewatkan itu menyusun database pemilih. Data dari masing-masing relawan dikompilasi dalam suatu database.
Database itu menghimpun nama-nama pemilih dan identifikasi (Voter ID) dari masing-masing pemilih. Data ini sangat penting karena menjadi dasar dalam kegiatan kampanye selanjutnya dan menjadi basis dalam melakukan Get Out The Vote (GOTV).
-000-
Apa itu Get Out The Vote (GOTV)?
Get Out The Vote (GOTV) itu kegiatan membujuk / mempersuasi pemilih agar datang ke tempat pemungutan suara. Pemilih yang awalnya sungkan, dipersuasi agar datang ke TPS.
Kegiatan GOTV ini dilakukan beberapa hari hingga menjelang hari pemilihan.
Golput (pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya) harus mendapatkan perhatian serius. Suara dari meraka yang golput ini bisa sangat menentukan. Bahkan mereka potensial bisa mengubah kemenangan kandidat.
Sebagai ilusrasi, Pilkada di suatu wilayah. Pilkada diikuti oleh 1 juta pemilih. Kandidat A misalnya didukung oleh 52% pemilih. Seandainya semua pemilih ikut dalam Pilkada, maka bisa dipastikan kandidat A yang akan memenangkan Pilkada.
Tetapi hitungan ini bisa berubah kalau ada banyak warga yang memutuskan tidak ikut memilih. Dari 1 juta pemilih, misalnya hanya 600.000 pemiilih yang ikut dalam pemilihan. Suara dari 600.000 pemilih ini bisa jadi tidak sama dengan suara dari 1 juta pemilih.
Seandainya, pemilih yang banyak mendukung A ternyata tidak ikut memilih (Golput) maka bisa dipastikan, kemenangan kandidat A yang sudah di depan mata, akan hilang.
Di Amerika, Basis tradisional dari Partai Republik adalah pemilih Kristen Protestan dan Evangelis. Sementara basis dari Partai Demokrat adalah kalangan pekerja, warga kulit hitam dan hispanik.
Kandidat presiden di Amerika Serikat bukan hanya harus menyiapkan strategi menarik dukungan pemilih. Tetapi timIni juga merancang strategi bagaimana agar pemilih tradisional itu akan datang ke tempat pemungutan suara.
Warga kulit hitam misalnya, secara tradisional selalu mendukung kandidat presiden yang berasal dari Partai Demokrat. Tetapi dukungan ini tidak akan ada gunanya jikalau warga kulit hitam itu tidak ikut memilih.
Kandidat presiden dan tim sukses lalu akan membuat strategi agar pemilih tradisional itu bisa datang ke tempat pemungutan suara.
Kemenangan George W Bush dalam Pemilu Presiden di Amerika tahun 2004, karena keberhasilan Bush dan tim kampanyenya memobilisasi suara di kalangan pemilih tradisional Partai Republik.
Sebelum pemilihan, survei sejumlah lembaga justru menempatkan John Kerry akan menenangkan pemilihan. Menjelang pemilihan tim sukses Bush berhasil memobilisasi warga Kristen Protestan dan Evangelis. Segmen ini jumlahnya hampir 60 persen pemilih.
Mereka ini memegang peranan penting dalam menambah suara bagi Bush.
Pemilu Presiden tahun 2002 putaran pertama memunculkan nama Presiden Jacques Chirac dan tokoh sayap kanan, Jean-Marie Le Pen. Keberhasilan Le Pen maju dalam putaran kedua, tidak banyak diperkirakan.
Sebelumnya, pengamat dan jajak pendapat memprediksikan yang maju dalam putaran kedua adalah Presiden Jacques Chirac dan PM Lionel Jospin.
Faktanya, Jacques Chirac memperoleh suara 19.88%, Lionel Jospin hanya mendapat 16.18%, dan Le Pen memperoleh 16.86%.
Para analis melihat dua alasan yang menyebabkan mengapa tokoh sayap kiri Le Pen, bisa menang dan maju ke putaran dua. Pertama, terbelahnya suara yang mendukung kandidat dari tokoh kiri. Yang ikut dari haluan kiri tidak kurang 16 kandidat.
Kedua, rendahnya partisipasi pemilih. Pemilu putaran pertama itu hanya diikuti oleh 70 persen pemilih.
Le Pen itu tokoh kontroversial dan dibenci banyak orang. Ia dipandang rasis dan anti imigran.
Masalahnya, pemilih yang membenci Le Pen banyak yang tidak datang ke tempat pemungutan suara. Yaitu terutama pemilih dari kalangan imigran.
Ketidakhadiran pemilih dari kelompok ini justru menguntungkan Le Pen. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Jacques Chirac pada Pemilu Presiden putaran kedua.
Chirac dan tim suksesnya menyerukan agar mereka yang tidak ingin Le Pen menjadi presiden agar tidak sebatas bicara dan demonstrasi. Mereka harus datang ke TPS; menunjukkannya di bilik suara.
Sejumlah demonstrasi digelar menentang Le Pen. Tidak ketinggalan partisipasi sejumlah pemain sepakbola tim nasional Prancis yang sebagian besar adalah imigran. Mereka secara khusus meminta agar pemilih memadati bilik suara untuk memilih Jacques Chirac.
Hasilnya, pada Pemilu putaran kedua ini Chirac memperoleh 82% suara. Ini kemenangan terbesar sepanjang sejarah Pemilu Perancis.
-000-
GOTV tidak dilakukan kepada semua pemilih. GOTV hanya dilakukan kepada pemilih yang telah memilih kandidat. Dalam ilustrasi ini, GOTV hanya dilakukan kepada pemilih yang masuk dalam kategori D.
Mengapa? Hal ini karena GOTV merupakan kegiatan mengajak pemilih yang sudah mempunyai pilihan. Dengan GOTV, suara mereka tidak hilang. Dukungan yang hilang akibat pemilih tidak menggunakan haknya bisa diminimalisir.
Dalam kegiatan door to door campaign, relawan telah mencatat identifikasi pemilih (Voter ID). Database Voter ID inilah yang akan dimanfaakan untuk kegiatan GOTV.
GOTV bisa dilakukan dari rumah ke rumah. Database mengenai Voter ID, dipakai sebagai dasar dalam melakukan kunjungan ke rumah. Pemilih yang akan memilih kandidat, didatangi secara langsung oleh relawan.
Dalam kegiatan ini, relawan akan mempersuasi pemilih agar di hari pemilihan datang ke TPS. Kegiatan GOTV ini membutuhkan dana yang cukup besar dan relawan yang banyak.
Jika database baik, GOTV juga bisa dilakukan dengan menggunakan telepon (HP).
Jika dana sedikit dan relawan lapangan juga terbatas, GOTV juga bisa dilakukan dengan menggunakan poster / leaflet ajakan untuk memilih.
Poster / leaflet / spanduk ini dipasang di wilayah dimana mayoritas (dari hasil Voter ID) akan memilih kandidat. Poster atau pesan itu paling tidak harus memuat tiga informasi berikut:
a) Alasan mengapa mereka harus memilih. b) Waktu, tempat / TPS yang bisa dikunjungi oleh pemilih ; c) Ajakan agar pemilih mengingatkan teman / saudara agar ikut memilih di hari pemilihan.
-000-
Pemilih dan rakyat banyak perlu selalu disapa oleh pemimpin. Mereka, para pemilih, membuat tokoh itu terpilih dalam pemilu. Mereka layak pula dilibatkan tak hanya ketika datang era kampanye saja. Baik melalui door to door, canvassing, oleh pemimpin itu sendiri, atau oleh relawan yang mewakilinya
Pemilih perlu pula di sapa secara regular di era pemerintahan. Kedekatan pemilih dan pemimpin perlu terus terbina.
Teknologi semakin memudahkan komunikasi pemimpin dengan pemilih. Datang teknologi radio, membuat pemimpin dapat menyampaikan pesan berkala, mengabarkan perkembangan situasi lewat radio.
Atau Ia merespon isu khusus yang datang tak terduga, spt bencana pandemik, terorisme, atau rencana perang.
Teknologi kini semakin canggih. Datang televisi. Kini datang pula era media sosial.
Di Amerika Serikat bahkan Presiden Donald Trump acapkali menyapa publik dan menyampaikan pandangannya lewat twitter.
Jokowi menjadi presiden di era media sosial. Ia juga acap menyapa publik lewat akun twitter.
Sebisa mungkin, pemimpin itu tetap dicintai rakyatnya setelah selesai berkuasa. Lebih hebat lagi, jika Ia lebih dicintai rakyatnya setelah tak lagi berkuasa.
Ini tantangan terbesar menjadi presiden di Indonesia. Untuk kasus Indonesia, di ujung kekuasaan, presiden justru banyak ditinggal rakyat yang dulu memujanya.
Di ujung kekuasaannya, Bung Karno jatuh. Pak Harto jatuh. Laporan Pak Habibie tak diterima MPR. Gus Dur jatuh. Megawati dikalahkan dalam pilpres berikutnya. SBY di setelah dua periode, dukungan atas partainya, Demokrat merosot.
Ini sebuah renungan sendiri. Bagaimana membuat presiden di Indonesia, ketika meninggalkan kekuasaan, Ia justru lebih dicintai pemilihnya? Bagaimana agar Ia Lebih dihormati oleh rakyatnya, justru ketika sudah meninggalkan istana?*£*
Juli 2020
(Bersambung)