Ketika Surgaku Menuju Surga-Nya

  • Whatsapp

beritalima.com | Sepertinya, sang waktulah yang paling perkasa dalam kehidupan. Ia tak tersaing, tak pernah juga merasa takut. Ada seseorang yang pernah berkata kepadaku. “You can buy clock, but not time. You can buy blood, but not life”. Dua kalimat sederhana yang memiliki makna mendalam.
Aku termenung menatap satu foto yang terpajang di dinding rumahku. Kembali terlintas
memori di masa lalu, bersama satu-satunya wanita yang selalu aku rindukan. Ya, dia adalah ibuku, yang biasa kupanggil Mama. Bagiku, Mama adalah perempuan paling hebat di dunia. Ia mampu membesarkan ketiga anaknya dengan sangat baik. Ia mampu menjadi apa saja tanpa diminta. Bahkan, Mama melahirkanku saat terjadi kerusuhan besar-besaran di tahun 1998. Dia sering bercerita bagaimana keadaannya saat ia hamil besar, tetapi masih harus bekerja, dan berjuang melarikan diri di tengah kerusuhan yang terjadi.

“Waktu hamil ade, Mama tuh sampe naik truk, ikut orang. Mana bawa perut gede, tapi gatau tuh, Mama juga bingung kok bisa kuat ya kaya begitu” kenang Mama antusias.
“Haha, emang bisa ya, Ma? Kan Mama gendut wooo” ledekku.
“Bisa lah, itu buktinya Mama bisa, woo” balas Mama.
“Untung ga melahirkan di truk ya, Ma. Hahaha” kataku.
“Iya, kamu kok waktu di perut Mama kuat-kuat aja, diajak lari, naik truk, segala macem kuat. Pas lahir, udah gede kenapa jadi sering sakit, ya?” kata Mama.

“Iya dong, aku kuat. Sampe sekarang juga kuat, kok!” kataku membela diri.
Mama memang selalu antusias dan ekspresif saat bercerita. Senyumnya pasti merekah,
memperlihatkan gigi-giginya yang beberapa sudah tanggal. Pipimya memerah jika Ia tertawa cukup lama. Tidak jarang, ia juga sampai tersedak karena tertawa. Mama selalu berhasil menghadirkan tawa di rumah dengan ocehan atau celetukan – celetukannya. Mama juga tidak pernah marah jika aku menggodanya. Yang ada, Ia malah tertawa dan membuat suasana semakin lucu. Ah, aku jadi rindu.
Hingga, senyum dan tawa yang biasa Ia hadirkan mendadak lenyap seketika. Pagi hari
yang cerah berubah menjadi mendung yang kelabu. Hatiku hancur, remuk berkeping-keping.

Seakan seisi dunia runtuh, dan menimpa tubuhku. Hingga saat itu aku tersadar, bahwa dirimu tidak akan kembali. Tidak ada lagi sentuhan lembut tanganmu yang membelai rambut dan wajahku, tidak ada lagi pelukan dan ciuman hangat yang selalu kauberi. Tidak ada ragamu, dalam hidupku lagi selamanya.

Aku melihat dirimu untuk terakhir kalinya, Mama. Wajahmu begitu tenang, sangat
tenang, tidak ada raut lelah atau kesakitan saat sakaratul mautmu. Tubuhmu segar, putih, dan bersih. Dirimu satu-satunya yang bercahaya di tengah suasana mendung yang menyelimuti.

Terima kasih atas 18 tahun waktumu bersamaku. Selama itu, tidak ada yang bisa aku
berikan untukmu. Tidak pernah aku menuliskan perasaanku kepadamu. Maka izinkanlah tulisan ini menjadi surat cinta dariku untukmu, yang dibaca banyak orang, yang juga kuharap sudi mengirimkan doa untukmu. Hari ini aku menulis untuk waktu yang ingin kukembalikan dari masa lalu, juga waktu yang ingin kudapatkan di masa depan. Sejak 18 Desember 2016, aku belajar menikmati kerinduan tanpa pertemuan. Ketika surgaku, sudah pergi menuju surga-Nya.

Amanda Fanny Ghasyiyah

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *