JAKARTA, beritalima.com – Bulog tidak mau ambil resiko nambah biaya transpotasi dan pengeringan. Namun sesuai kesepakatan dengan kelompok petani lantaran gabahnya belum layak jual. Maka Bulog sebagai perusahaan BUMN hanya siap menerima berasnya dari petani yang sudah kering. Oleh karena itu gabah petani yang tidak bisa diserap oleh bulog karena kadar airnya tinggi, akhirnya diserap SP3T.
Sentra Pelayanan Pertanian Padi Terpadu (SP3T) dikelola Korem seluruh Indonesia. Dimana gabah yanv tidak bisa diserap oleh Bulog karena kadar airnya tinggi. SP3T yang akan menyerap sesuai Permentan No.03/Permentan/PP.200/3/2017. Demikian gabah petani yang belum layak jual ke Bulog, dibeli oleh SP3T, diantaranya adalah kualitas mutu beras premium plus I, kadar air 14% dengan butir patah 10% sebesar Rp8.845, berikutnya premium plus II dengan butiran patah 15% sebesar R8.835, selanjutnya premium plus III dengan butiran patah 20% seharga Rp8.590. Sementara premium I kadar air 14% dengan butiran patah 10% seharga R.7.700, selanjutnya premium II dengan butiran 15% seharga 7.500, berikutnya beras kualitas rendah dengan butiran 25% seharga Rp7.150
Sementara Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Ir. H. Azam Azman Natawijana mengakui tidak terlibat dalam persoalan operasional penyerapan gabah karena yang berwenang adalah komisi yang bersangkutan. Hanya saja sebagai anggota Komisi VI bidang perdagangan, hanya mengharapkan agar kebijakan – kebijakan itu tidak sampai membuat gaduh dan meresahkan masyarakat.
Namun bila terjadi kegaduhan atau ketakutan di masyarakat, pemerintah harus bisa mengevaliasi kenapa bisa timbul kegaduhan dan ketakutan. Apakah salah dalam aturannya atau salah dari masyarakatnya.
“Jadi dua – duanya harus dicek kenapa harus menurunkan aparat, itu harus dicek, apa harus infrastruktur pertaniannya. Pasti ada dasarnya, hal ini berkembang karena adanya mafia beras hingga pemerintah melibatkan TNI untuk mengurusi beras. Ini yang harus diluruskan,” tandas Azam politisi Partai Demokrat Dapil Jatim III, Rabu (31/5/2017) usai rapat Komisi VI DPR.
Maka dari itu, persoalan ini harus dipertanyakan, khususnya Bulog yang harus dipertanyakan karena bisa menyebabkan mahalnya harga beras.