JAKARTA, Beritalima.com– Senator dari Dapil Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Wa Ode Rabia Al Adawia Ridwan mengingatkan pemerintah pusat dan daerah untuk terus mengawasi kegiatan pertambangan yang sudah diberi Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Dikatakan, banyak pemegang izin yang beroperasi tanpa mengikuti prosedur serta aturan yang ada sehingga dampak lingkungannya terhadap masyarakat sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Itu diungkapkan Wa Ode pada pertemuan yang dipimpin Staf Ahli Gubernur Sulawesi Teggara (Sultra) bidang Ekonomi dan Pembangunan, M Judul dalam kunjungan kerja ke Sulawesi Tenggara, awal pekan ini.
Pernyataan Wa Ode ini sekaligus menanggapi penjelasan dari Dinas ESDM Sultra terkait pemberian 387 IUP di sejumlah kabupaten di Sultra. IUP yang diberikan berlaku selama 10 tahun, dan bisa diperpanjang untuk masa 10 tahun berikutnya.
Sebelum perpanjangan izin diberikan, kata Wa Ode, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi. “Setiap memberi perpanjangan izin, prosedur harus diperketat,” kata dia.
Walhi Sultra yang hadir pada pertemuan tersebut malah menyinggung tentang pengawasan terhadap pemegang izin SIUP yang tidak berjalan. Seyogyanya, menurut Direktur Walhi Sultra, Sanahuddin ini, harus ada penegakan hukum terkait pelanggaran yang dilakukan.
Namun, di lapangan, penegakan hukum tak berjalan sesuai harapan karena alasan klasik yakni keterbatasan anggaran.
“Banyak IUP dikeluarkan tetapi pengawasan tidak berjalan. Penegakan hukum tidak bisa diterapkan karena tak ada anggaran di tingkat provinsi. Dana cukup besar penegakan hukum ada di tingkat pusat atau kementerian, tidak mengalir ke provinsi,” papar Sanahuddin.
Ditambahkan, gubernur mengeluarkan IUP disertai dengan pengawasan oleh Dinas Lingkungan Hidup. “Namun, karena tidak disertai anggaran, resiko lingkungan ditanggung rakyat.”
Anggota Komite II,
Tamsil Linrung dan Angelius Wake Kako malah mendesak agar persoalan penegakan hukum ini harus segera dijalankan. “Tidak bisa lagi dana penegakan hukum dialokasikan hanya di tingkat kementerian tetapi harus dialokasikan ke daerah sehingga penegakan hukum bisa diterapkan di daerah,” pinta senator asal Sulawesi Selatan ini.
Sebagai provinsi dengan izin tambang yang cukup banyak, ungkap Angelius, seyogyanya anggaran penegakan hokum menjadi perhatian serius para pihak. “DPD RI bakal memperjuangkan agar kementerian mengalokasikan anggaran penegakan hukum untuk daerah,” sambung Angelius, senator asal Nusa Tenggara Timur ini.
Ancaman Deforestasi
Pada pertemuan yang dihadiri 6 anggota Komite II DPD RI, Wa Ode yang mewakili pimpinan Komite II DPD RI, juga menyinggung tentang deforestasi atau kerusakan hutan.
Berdasarkan data dan kajian di lapangan, ancaman deforestasi di Sultra saat ini terjadi cukup masif sehingga sudah mendapat perhatian sungguh-sungguh.
Berdasarkan data terbaru Walhi Sulawesi Tenggara, ditemukan sekitar 640.000 hektare hutan untuk kawasan pertmbangan dan perkebunan kelapa sawit.
Konsesi tambang sekitar 600.000-an hektare dan 40.000-an hektare menjadi perkebunan kelapa sawit.
Aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, telah memicu terjadinya alih fungsi lahan hutan.
Wa Ode mencontohkan Kabupaten Konawe Utara. Dari temuan Global Forest Watch, sepanjang 2001-2017 sedikitnya 38.400 hektare tutupan pohon di Konawe Utara hilang.
Bahkan data Walhi menyebutkan, ada sekitar 458 hektare hutan primer di Konawe Utara yang beralih fungsi jadi area pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Bahkan Walhi Sultra memaparkan, alih fungsi hutan itu tak bisa dilepaskan dari maraknya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Merujuk data dari Dinas Kehutanan Sultra, saat ini ada 50 IPPKH di Bumi Anoa. Konawe Utara tercatat sebagai kabupaten dengan IPPKH paling banyak yakni 23 izin. “Semua izin itu diberikan untuk usaha pertambangan. Duabelas izin berada di DAS Molore dan Morombo. Keduanya bermuara ke DAS Lasolo yang meluap kala banjir,” jelas Sanahuddin.
Mengenai pencemaran Teluk Kendari
, Komite II DPD RI juga mengkhawtirkannya. Mengutip hasil penelitian Fakultas Kehutanan Universitas Halu Oleo Kendari 2017, secara kasat mata kondisi Teluk Kendari sudah sangat memprihatinkan dibanding 10 atau 15 tahun lalu.
Saat ini kondisi Teluk Kendari yang membelah Kota Kendari sudah sangat tercemar.
“Bukan hanya pendangkalan di Teluk Kendari, tapi pencemaran pun dapat terlihat dengan jelas. Saya selaku anggota Komite II DPD RI dan senator asal provinsi ini sengaja mengangkat isu ini agar penanganan Teluk Kendari, baik di tingkat pemerintah Kota Kendari melalui Dinas Lingkungan Hidup maupun Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tenggara, bisa lebih optimal,” kata Wa Ode.
Selain itu, Teluk Kendari juga mengalami pencemaran limbah merkuri dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Kondisi ini berdampak luas dari kerusakan mangrove, biota laut tercemar hingga abrasi pesisir Teluk Kendari.
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Kendari, hutan mangrove Kendari menyusut dari 525 hektar jadi 367,5 hektar. Penyebabnya, selain proses pembangunan, juga ada pengaruh bahan kimia berbahaya di akar mangrove. “Jadi tak saja proses pembangunan yang dilakukan di pesisir pantai. Zat kimia juga mempengaruhi proses mangrove,” ingat Wa Ode.
M Judul berharap, mendukung upaya provinsi ini dalam penganggaran, khususnya dalam rangka implementasi dari UU No: 41 tentang Kehutanan dan UU No 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Ada sekitar 2,3 juta hektar hutan di Sultra yang perlu diawasi. Dengan dukungan anggaran dan disertai Sumber Daya Manusia memadai, berbagai persoalan terkait penegakan hukum bisa dilakukan secara optimal,” ungkap dia. (akhir)