Meng-AGAMA-kan Makanan

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)

Beberapa waktu lalu dunia medsos mengalami ‘keributan kecil’. Bukan soal politik atau soal kematian anak pejabat, almarhum Eril, yang juga menjadi berita viral sejak hilang 26 Mei lalu. Isu kali ini tidak lain adalah soal “Babiambo” yang kalau tidak dikelola dengan hati-hati bisa menjadi isu SARA.

Menu rendang yang selama ini menjadi trade mark orang Minang ini kemudian viral melebihi biasanya berkat ‘kretivitas’ Sergio, seorang pengusaha warung makan. Terdorong oleh keinginan membuat inovasi bisnis, menu kesukaan hampir seantero dunia itu seolah ‘tercoreng’. Bahan baku yang bisanya berbahan pokok daging sapi ini oleh dia diubah. Bahan baku yang disajikan ini bukan lagi daging sapi tetapi “babi”. Akibat inovasi beraninya itu Rumah Makan Padangnya yang bernama “Babiambo” di Kelapa Gading, Jakarta Timur ikut viral. Tampaknya orang Minang yang merasa memiliki ‘hak paten’ menu rendang pun banyak yang tersinggung. Berbagai hujatan dan kecaman pun kemudian muncul, tidak saja dari orang (muslim ) awam tetapi juga politisi. Tidak kurang, seorang ‘pesohor’ politik sekelas Fadli Zon pun ikut ‘marah’. Beliau pun mengemukakan jati diri orang minang: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Falsafah hidup itu pada pokoknya berarti, bahwa orang Minangkabau selalu menjadikan ajaran Islam sebagai satu-satunya landasan atau pedoman tata pola perilaku dalam berkehidupan. Itulah sebabnya mereka tersinggung, ketika babi sebagai makanan ‘paling diharamkan’ itu tiba-tiba dijadikan menu rendang. Padahal, hampir semua orang tahu, bahwa selama ini rendang, merupakan produk kuliner kebanggaan Minang. Tampaknya Sergio menyadari ‘reaksi’ demikian. Itulah sebabnya, dia segera menutup ‘restoran kreatifnya’ itu dan secara sportif minta maaf kepada pihak-pihak yang merasa tersinggung.

Meskipun demikian, isu itu tetap menyisakan 2 pertanyaan. Pertama, warung yang telah 2 tahun lalu tutup itu mengapa baru sakarang viral. Ada apa dan siapa di balik isu ini? Kedua, bolehkah seseorang melarang-larang orang lain makan dengan selera yang dikehendakinya? Atau, bisa dibuat pertanyaan lain yang lebih bernuansa religi, apakah ada keharusan non muslim mengikuti selera makanan orang muslim? Mengenai pertanyaan pertama, silahkan anda mencari jawabannya sendiri. Karena jawabannya pasti bisa beragam, apalagi jika sudah bersentuhan dengan dunia politik, jawabannya tidak sesederhana yang kita bayangkan.

Sedangkan mengenai masalah kedua tampaknya bisa kita diskusikan bersama. Diskusi mengenai hal ini sebenarnya bisa kita mulai dari kerangka ajaran Islam sendiri. Yaitu, “Kitabullah” sebagai sumber dari segala sumber perilaku setiap orang Islam, termasuk saudara kita dari Minang tentunya.
Allah telah menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Konsekuensi demikian membuat manusia punya adat istiadat, perilaku, dan bahkan kepercayaan yang beraneka pula. Realitas menunjukkan, bahwa Nabi Muhammad membawa risalah Islam, memang baru sekitar 15 abad yang lalu. Ribuan tahun sebelumnya bumi ini telah dihuni oleh manusia dengan adat istiadat dan kepercayaan masing-masing. Suka atau tidak suka, kita harus berkayakinan semua adalah ciptaan Allah juga dan dengan kekuasan-Nya kita yakin bahwa jika Allah menghendaki bisa saja manusia itu diciptakan dengan warna yang satu, termasuk keyakinan yang satu. Dan, ternyata tidak. Allah sendiri menjawab mengapa demikian, yaitu untuk saling kenal mengenal. Dalam ayat lain diterangkan bahwa tujuan mengapa Allah menciptakan demikian ialah agar menusia dapat saling berkompetisi. Suatu kompetisi selalu menginginkan adanya seorang kampiun. Yang kampiun itu tidak lain ialah siapa yang paling baik perilakunya (QS, 67:2) dan yang paling takwa di antara hamba-Nya (QS,49:13).

Ketika manusia diciptakan ternyata oleh Allah dibekali dengan sejumlah penunjang. Salah satu penunjang itu ialah makanan. Makanan diperlukan guna kelangsungan hidup. Sebelum Allah mengemukakan pentingnya menciptakan menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi (QS 2:30), dalam ayat sebelumnya Allah menegaskan bahwa Allah menciptakan semua yang di bumi untuk manusia (QS, 2:29). Dengan kata lain sebelum manusia tercipta Allah sudah menciptakan keperluan untuk kelangsungan hidupnya. Salah satu keperluan untuk kelangsungan hidup itu, seperti makanan dan minuman, merupakan satu sistem bagi kehidupan manusia itu sendiri yang terangkum sebagai sunnatullah.

Sebagai sunatullah itulah sebabnya ada hukum kausalitas manusia perlu makan dan minum. Kalau tidak makan manusia akan mati. Oleh karena itu, usia tradisi makan itu sebenarnya seusia dengan keberadaan manusia itu sendiri. Apa pun yang bisa dimakan dan dapat menjaga kelangsungan hidup akan dimakan. Sebelum ada hukum mengenai makanan, manusia memang telah mendapatkan ‘kebebasan’ makan makanan apa pun.
Melalui risalah yang dibawa para rasul, Allah kemudian memberikan penjelasan mengenai makanan: mana yang boleh di makan dan yang tidak boleh dimakan. Dalam Islam petunjuk menganai makanan itu secara garis besar tertuang dalam Surat Al Baqarah ayat 168: “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik daru apa yang terdapat di bumi…” Al Quran juga menyebut beberapa benda dan jenis hewan tertentu yang tidak boleh dimakan dan hewan yang sebenarnya pada asalnya boleh dimakan tetapi karena ada kriteria tertentu hewan tersebut dilarang untuk dimakan (QS. 5:3). Cakupan dan jenis makanan yang tidak boleh dimakan ini selanjutnya dijelaskan oleh rasulullah SAW yang sebagiannya menjadi persoalan khilafiyah (debatable) para ulama yang tidak kunjung selesai sampai saat ini.

Apa pun jenisnya dan hukumnya makanan, yang pasti, di negara yang sangat hiterogen ini, setiap muslim perlu berlapang dada dengan keberadaan non muslim. Sikap berlapang dada ini tidak hanya berupa pengakuan terhadap eksistsinya tetapi juga terhadap tradisi dan keyakinan mereka. Sikap berlapang dada itu, akhirnya berisi keharusan berlaku secara timbal balik karena objek pengakuan itu ternyata masuk ranah HAM masing-masing yang berlaku secara universal. Seseorang tidak boleh melarang-larang orang lain berbuat sesuatu sejauh tidak mengganggu HAM -nya.

Kerangka berfikir di atas kiranya dapat kita gunakan menyikapi kasus rendang babi yang viral ini. Orang muslim memang dilarang makan babi. Bagi muslim babi merupakan jenis makanan yang sangat ‘populer’ keharamannya. Meskipun demikian pada skala tertentu hukum haram itu berubah status sebaliknya: HALAL. Tetapi, kebolehan makan daging babi bagi muslim hanya ketika muslim dihadapkan pada situasi darurat. Ulama memberikan batasan darurat soal makan daging babi ini ialah ketika dihadapkan pada situasi hidup dan mati. Kalau mau hidup harus makan, padahal di hadapannya hanya ada daging babi. Hukum darurat yang sampai membolehkan makan daging babi itu adalah karena adanya hukum yang lebih tinggi dari sekedar keharaman babi, yaitu “menjaga jiwa” (hifdh al-nafs).

Meskipun keharaman babi sudah sangat jelas, akan tetapi, kaum muslimin tentu tidak boleh memaksakan kehendak bagi non muslim untuk mengikuti agar mereka tidak makan babi (baik berupa rendang, gulai, atau soto). Kemauan makan daging babi bagi non muslim menjadi ranah HAM mereka yang harus dihormati siapa pun. Kalau para konsumen olahan babi merupakan suatu entitas yang tidak bisa dipungkiri dan dijamin undang-undang, maka penyedianya dengan segenap kreativitasnya juga perlu dihormati.. Rendang, bakso, soto atau apapun namanya, sejatinya hanya merupakan perpaduan rempah tertentu. Perbedaan ramuan rempah akan menghasilkan perbedaan jenis masakan. Karena rempah itu dijual bebas maka siapapun berhak menggunakannya untuk membuat jenis masakan apa pun dan masak daging apa pun. Dengan kalimat lain: Setiap orang berhak masak menu apa pun, dengan bahan apa pun, dan menggunakan rempah apapun Yang pasti dilarang adalah ketika seseorang, dengan menu yang dibuat, dengan maksud melakukan penipuan. Dalam konteks rendang babi, tindakan seseorang bisa disebut menipu, jika dengan sengaja menyembunyikan jati diri, yaitu tidak memberitahukan bahwa yang dijual adalah olahan babi. Akibatnya, orang yang mestinya tidak membeli karena tidak tahu akhirnya ‘menikmati’.

Hanya saja siapapun perlu bijak. Memang benar kata Gus Miftah, bahwa makanan tidak pernah memeluk agama tertentu. Akan tetapi kalimat itu tentu akan menambah perasaan ketersinggungan bagi yang selama ini sudah tersinggung oleh eksistensi “babiambo”. Dan, benar juga Sergio yang telah membuat tulisan besar-besar “Babiambo” dengan tujuan memberi pesan, agar setiap orang yang dilarang makan babi, tidak membeli rendang kreatifnya. Sikap demikian, menurut penulis, berangkat dari cara berfikir dengan nuansa pendekatan hukum (legalistic). Pendekatan hukum sering hanya memberikan pilihan warna hitam putih. Oleh karena sering hanya memberikan sedikit pilihan, maka penyelesian dengan pendekatan hukum sering kurang lembut jika dirasakan oleh nurani manusia.

Di luar pendekatan hukum, ada pendekatan moral dan etika. Pendekatan moral dan etika lebih mengedepankan sisi tenggang rasa. Tindakan Sergio menutup warung dengan kesadaran sendiri berikut permohonan maaf, setelah ada orang yang merasa tersinggung, meskipun tidak melakukaan penipuan, merupakan sikap yang perlu diacungi jempol. Karena, sikap itu sejatinya merupakan salah satu contoh bentuk sikap yang mengedepankan moral dan etika. Dia tampaknya sadar sekalipun makanan itu tidak pernah beragama apapun, tempat jualan yang dijadikan lalu lalang orang sekitar, yang mayoritas muslim itu, memang kurang elok jika dijadikan ajang kreativitas menjajakan jenis makanan yang paling ‘dibenci’ oleh ummat islam ini. Bagaimana pendapat Anda? Wallahu A’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait