H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Di salah satu kabupaten di NTT saat diselenggarakan perhelatan bernuansa religi oleh 2 agama, yaitu MTQ (Islam) dan Pesparawi (Kristen), saya beruntung dapat mengenal sosok lelaki itu dari dekat. Lelaki gagah itu, tidak lain seorang pendeta bernama Andreas (maaf jika salah sebut) yang kebetulan menjadi pemimpin jemaat gereja setempat. Secara pribadi saya memang belum kenal akrab sebelumnya, kecuali hanya tahu sepintas ketika kebetulan saling berpapasan di jalan. Perkenalan saya di acara dengan beliau itu pun masih sebatas perkenalan formalitas nan penuh basa-basi. Status saya yang kebetulan sebagai kepala kantor (Ketua Pengadilan Agama) lah yang ‘memaksa’, saya bisa mengenal beliau. Tetapi sekalipun hanya sekilas saya merasa gembira dan bahkan diam-diam saya merasa ikut memiliki sekaligus mengagumi sosok tokoh agama yang satu ini.
Dengan suasana perkenalan singkat itu, saya yakin beliau saat ini tidak pernah mengingat saya, meskipun sampai saat ini saya masih tetap mengingat sosoknya dan bagian-bagian penting khotbah yang disampaikan kala itu. Yang jelas, entah mengapa setelah pulahun tahun berlalu, tiba-tiba saya merasa menyesal seandainya tidak menghadiri acara semi formal yang juga melibatkan para tokoh lintas agama itu.
Salah satu bagian penting khotbah yang bernuansa pembinaan rohani itu ialah ketika beliau mengajarkan bagaimana menyikapi aneka ragam suku bangsa dan bahasa yang ada di Indonesia. Aneka suku bangsa itu harus pula disertai oleh aneka agama dan kepercayaan kepada Tuhan. Bagian terakhir (tentang perbedaan keyakinan) ini, biasanya sering menimbulkan sensivitas dalam pergaulan sosial. Orang lebih mudah tersulut api kemurkaan ketika wilayah-wilayah keyakinan ini terganggu. Di banyak tempat bahkan sering harus dibayar mahal berupa lenyapnya harta benda bahkan jiwa. Tentu hal demikian sangat ironis. Sebab, kepercayaan kepada Tuhan mestinya mendatangkan sifat kasih. Kasih sebagai manifestasi sifat Tuhan ini mestinya tidak boleh direduksi oleh apa dan siapa pun. Agama dan kepercayaan mestinya harus menebarkan kedamaian kepada kehidupan manusia sebagai menifestasi kasih Tuhan. Itu. Ketika orang beragama dan rajin ke tempat ibadah tetapi perilakunya tidak berbelas kasih, bahkan cenderung kasar, patut diduga ada yang salah dalam beragama dan berkayakinan.
Menurut Bapak Pendeta, perbedaan yang ada di dunia merupakan realitas yang terjadi bukan secara kebetulan melainkan sudah menjadi rencana Tuhan. Ada sejumlah alasan yang sering lupa direnungkan manusia mengapa harus demikian. Beliau pun membuat perumpamaan. Dengan penuh retoris beliau mengajak hadirin untuk melihat kebun di sekitar kita masing-masing. Di sudut halaman biasanya terdapat taman. Taman-taman itu ditumbuhi oleh bunga dengan aneka macam jenis. Ketika bunga-bunga itu sama-sama tumbuh dengan subur, akan terlihat indah. Warna-wani kembang yang ada justru mendatangkan pesona tidak hanya oleh pemilik kebun tetapi juga kepada siapa saja yang melihatnya. Seandainya hanya satu kembang saja yang tumbuh, pastilah bukan taman lagi namanya. Pasona keindahannya pun akan hilang dan membosankan ketika dipandang.
Tamsil beliau yang mudah dicerna itu, tentu mendapat anggukan dari semua hadirin yang dari awal mendengarkan dengan penuh antusias. Bagi saya isi ceramah itu benar-benar sangat menyejukkan dan penuh kedamaian. Setidaknya ada dua alasan mengapa saya harus angkat topi atas ceramah itu. Pertama, ceramah itu berisi pesan-pesan perdamaian dan kerukunan yang tentu menyejukkan semua peserta yang kebetulan terdiri dari berbagai agama. Kedua, ceramah itu disampaikan di dalam gereja dan di tengah mayoritas masyarakat yang beragama Kristen. Alasan kedua ini menjadikan bobot ceramah itu menjadi lebih. Bobot ceramah itu tentu sangat berbeda, ketika khotbah yang sama disampaikan tengah komunitas yang mayoritas muslim. Di tengah komunitas umat yang mayoritas Kristen, khotbah kerukunan sang pendeta tentu lebih mengandung pesan kepada umat Kisten sendiri, agar dapat menjadi pengayom ‘umat minoritas’ lainnya (Katolik, Islam, Hindhu, Budha, dan Kong Hu Cu). Tamsil taman yang beliau sampaikan seolah juga mengandung pesan, biarlah keindahan tercipta dengan keleluasaan non Kristen menjalankan ajaran agama masing-masing laksana keindahan taman dengan aneka warna-warni bunga yang sama-sama tumbuh dengan subur yang dapat menghadirkan aroma semerbak mewangi.
Khotbah pendeta Andreas tentu mengingatkan kita kepada para kiai/ ustadz di Jawa yang ceramahnya bertema serupa dan “menyejukkan.” Di tengah heterogenitas umat, suatu ceramah dapat disebut menyejukkan, apabila berisi pesan-pesan kebersamaan, perdamaian, dan bahkan kesetaraan. Yang demikian tidak mungkin dilakukan jika tidak punya visi kebangsaan yang kuat. Visi kebangsaan kuat itu tidak lain adanya pikiran dasar, bahwa semua yang ada di dunia ini, termasuk manusia, adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Dengan sengaja diciptaan Tuhan, agar saling berlomba menunjukkan karya terbaiknya dalam rangka memakmurkan dunia. Tanpa kesadaran demikian, tentu tidak mungkin bisa menyampaikan pesan-pesan perdamaian secara tulus, kecuali perasaan ego di tengah kemajemukan yang secara komunal akan menumbuhkan hegemoni mayoritas. Padahal, tanpa kedamaian dan kerukunan tidak mungkin kemakmuran akan dicapai. Yang menjadi pemicu perpecahan dan ketidakharmonisan hidup, hakikatnya dialah yang menggagalkan misi Tuhan menjadikan manusia khalifah di muka bumi. Dan, yang lebih penting, dalam konteks negara kepualauan nan maha luas seperti Indonesia berbicara dengan idiom mayoritas dan minoritas tampaknya kurang urgen. Bahkan, berpotensi membahayakan sebab tidak selamanya yang mayoritas, berstatus mayoritas pula di daerah lain. Salam perdamaian dan kerukunan.