Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Di sela-sela hiruk pikuk perpolitikan di tanah air, tampaknya ada hiruk pikuk serupa yang patut diwaspadai. Hiruk pikuk itu tidak lain adalah diskursus nasab habaib. Persoalannya intinya adalah benarkah nasab para habaib di Indonesia tersambung kepada rasulullah SAW. Secara mendalam, perdebatan itu—antar siapa dengan siapa dan materi yang diperdebatkan–dapat kita saksikan via medsos.
Memang ada sejumlah dalil, baik Al Qur’an maupun al Hadits yang mengemukakan kemuliaan keluarga Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Bahkan, ada sejumlah hadits yang mengaitkan intensitas kecintaan dan penghormatan kepada keluarga rasul dengan nasib seseorang di akhirat: ke surga atau ke neraka. Sebagai contoh, adanya hadits yang diriwayatkan al-Thabrani dan al-Hakim, yaitu ketika rasulullah SAW bersabda: “Andaikata seorang laki-laki berdiri antara hajar aswad dan maqam Ibrahim melakukan shalat dan puasa, kemudian meninggal dunia sedangkan ia membenci ahli bait Muhammad shalallahu alaihi waalihi wa shahbihi wasalam, maka ia masuk neraka.”
Terlepas sahih atau tidaknya dalil tersebut, yang jelas hedits-hadits tipe demikian sering disampaikan oleh para habaib dalam ceramah-ceramahnya. Pada umumnya kaum muslimin, khususnya masyarakat tradisional ( baca: nahdliyyin) menerima saja doktrin demikian. Pada saat yang sama para habaib, pada waktu itu, pada umumnya juga tidak ‘neko-neko’. Penghormatan masyarakat tradisional terhadap eksistensi habaib ini yang lebih penting, juga diajarkan oleh para kiai panutan mereka. Para kiai besar di tanah air pada umumnya menaruh hormat kepada sosok habaib lebih disebabkan oleh eksistensi diri mereka sebagai dzuriiyat (anak cucu) rasul. Sikap demikian kemudian dianggap sebagai pelajaran (ta’lim) secara tidak langsung kepada para santri.
Fenomena ketundukan kaum santri selama ini, di sengaja atau tidak, ternyata juga mendatangkan keuntungan duniawi (ekonomi dan sosial). Akibat klaim habaib sebagai dzurriyat rasulullah tersebut, banyak para habaib yang hidupnya mapan tanpa harus susah payah berkegiatan ekonomi (bekerja) atau mendirikan pesantren-pesantren. Kemunculan para habib muda di berbagai tempat, tampaknya sulit dilepaskan dari psikososial demikian. Dengan kharisma warisan dari orang tua mereka ditunjang dengan modal sosial berupa ‘ketundukan’ para kiai berikut santrinya, tanpa harus nyantri bertahun-tahun, para habib muda ini dapat eksis di mana-mana. Bahkan, mengalahkan para kiai alim sekalipun.
Sayangnya, kadang-kadang hanya dengan bekal keilmuan agama seadanya, mereka pun seolah, merasa mempunyai otoritas berbicara mengenai urusan keagamaan (baca: berfatwa). Mereka pun seolah terus mengeksploitasi nasab untuk kepentingan-kepentingan duniawi (politik, ekonomi, dan sosial). Bahkan, di antara mereka sudah bersikap seperti tirani bagi ras lainnya (non Arab). Maskipun di atara mereka ada yang alim (orang berilmu), sikap demikian tetap saja mengundang sikap tidak simpatik. Apalagi, di antara mereka ada yang selalu berkoar-koar pada panggung terbuka tentang kelebihan nasab dan merendahkan para kiai-kiai nusanatara yang secara historis punya andil besar membesarkan eksistensi dunia per-habib-an mereka.
Fenomena itulah, antara lain, yang menjadi penyebab utama timbulnya sikap skeptis tentang kenasaban mereka. “Layakkah orang yang berperliku tidak terpuji itu, mengklaim sebagai dzurriyat rasul?”, begitu kira-kira pernyataan skeptisnya. Dan, ternyata benar, melalui metodologi penelitian tertentu (ilmiah), mereka yang selama ini mengklaim sebagai dzurriyat rasul itu, ternyata sama sekali tidak terbukti bernasab kepada baginda rasulullah Muhammad SAW. Konsekuensinya, kewajiban memberikan penghormatan kepada mereka sebagai dzurriyat rasul juga gugur. Seorang alim muda bernama K.H. Imaduddin Utsman al Bantani tampaknya berjasa membongkar tabir kepalsuan nasab mereka.
Meskipun demikian, tetap harus diingat, bahwa yang dipertanyakan dalam diskursus nasab tersebut hanya masalah tersambung tidaknya nasab para habib itu kepada rasulullah bukan yang lain.
Dalam diri habib itu sejatinya tetap melekat 2 hal, yaitu:
Pertama: keilmuan dan akhlaq. Dalam kontek ini seorang habib, meskipun nasabnya tidak terbukti tersambung kepada rasulullah, tetapi jika mereka berilmu dan berakhak terpuji, tentu tetap wajib dihormati setara dengan penghormatan yang diberikan untuk para ulama pada umumnya. Sebab, meskipun bukan dzurriyatur rasul, sebagai ulama—siapa pun orangnya dan dari mana pun asal-usulnya–tentu melekat pada dirinya sebagai “waratsatul anbiyak” (pewaris para nabi). Kedua, kemanusiaan. Meskipun para habib nasabnya tidak tersambung kepada rasulullah SAW itu tidak berilmu dan akhlaknya dipertanyakan, toh mereka adalah manusia juga. Sebagai manusia tentu tetap melekat hak-hak kemanusiaan yang juga tetap wajib dihormati. Prinsip tata pergaulan antar sesama manusia dengan “dzurriyat abal-abal” itu tetap wajib kita tegakkan, seperti saling menghargai dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan (egaliter).
Yang jelas, jangan sampai diskursus nasab ini lalu menghilangkan objektivitas kita sebagai manusia. Apalagi sampai mengarah ke sikap rasis. Jika yang terakhir ini yang terjadi tentu sudah bertentangan dengan “Hak Asasi Manusia”.