JAKARTA – Sastra itu indah. Sebab keindahannya, banyak orang suka dan menikmatinya. Karya sastra dimaksud berupa puisi, cerpen atau novel. Medianya bisa lisan atau tulisan.
Ketertarikan orang terhadap sastra tidak lagi terbatas. Bahkan bisa melampaui ruang dan waktu. Perbedaan bangsa, bahasa tidak lagi menjadi penghalang untuk menyatukan hati dan semangat yang sama dalam kesusastraan.
Kebersamaan itu terlihat pada Seminar Internasional Sastra Antar Bangsa Indonesia-Malaysia yang diadakan di Yogyakarta pada 14-18 September 2016 lalu. Seminar ini diikuti peserta dari Malaysia, Singapura, Thailand dan Indonesia. Bahkan salah satu keynote speakernya berasal dari Rusia.
Vera Yuana, penulis novel Senandung Sabai juga hadir dalam acara tersebut. Ia sangat bersyukur dapat ikut dan diundang dalam acara sastra bergengsi itu. “Banyak ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan dalam seminar itu,” kata Vera Yuana yang juga anggota Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, Rabu (19/10), di Jakarta.
Pengarang perempuan asal Sumatera Barat yang saat ini berdomisili di Kota Bekasi tersebut berhasil mengikutsertakan karyanya berupa cerpen berjudul “Alisa, Masih Ada Cahaya” ke dalam Buku Antologi Seminar Internasional Sastra 2016. Di samping itu, ia turut menyemarakkan pameran buku di arena seminar internasional itu.
Novel Senandung Sabai yang diterbitkan FAM Publishing (Divisi Penerbitan FAM Indonesia), ternyata sangat diminati pengunjung saat itu. Tak sedikit peserta yang ingin bertukar karya dengannya. Di antaranya Dr. Djusmalinar Djamarin dari Prince of Songkla University Patani Thailand dan Nawawee Mohammad, penyair dari Malaysia. Bahkan novel ini pun telah sampai ke tangan salah seorang Sastrawan Negara Malaysia Dato Dr. Ahmad Kamal Abdullah.
“Sungguh luar biasa ketika kita bertemu seseorang dari luar Indonesia, namun terlihat antusias ingin memiliki dan membaca novel Senandung Sabai ini. Padahal di negeri kita sendiri, respon terhadap karya sastra berbentuk novel seperti ini masih sangat terbatas. Sejujurnya saya kaget dengan fenomena ini,” kata Vera Yuana.
Senandung Sabai merupakan novel tentang drama kehidupan, berkisah perjalanan hidup seorang perempuan Minang bernama Reana Sabai dengan segala problema kehidupannya. Reana berusaha bertahan dalam kearifan lokal (local wisdom), mencintai keluarga, menghormati orangtua dan juga kejujuran. Pembaca seperti diajak belajar tentang berbagai perasaan, berbagai karakter tokoh, budaya dalam satu kisah.
“Dalam seminar itu saya seperti diberi ruang untuk mengapresiasi karya saya secara terbuka dan belajar banyak hal tentang sastra,” tambah Vera.
Diakui Vera, ia mendapat pencerahan dan banyak hal tak terduga selama acara. Ada beberapa orang yang tertarik untuk meneliti novel Senandung Sabai ini sebagai bahan tugas akhir (skripsi). Bahkan ada yang akan membuat makalah tentang novel ini sebagai dasar untuk mengadakan workshop di salah satu universitas swasta yang ada di Jakarta.
Di awal penulisan novel ini, Vera ingin sekali mengangkat budaya Minang dari keheningannya. Ia merasa generasi muda sekarang terutama gadih-gadih Minang seperti kehilangan tokoh perempuan dalam kesehariannya. Kehilangan figur perempuan yang bisa diteladani. Ia ingin menghadirkan sosok itu dalam bentuk bentuk cerita.
“Tapi tidak dalam konteks mengalahkan sosok Siti Nurbaya yang fenomenal tersebut. Itu sudah menjadi legenda sejarah di Minangkabau, selamanya. Reana Sabai hadir hanya untuk memberi pemahaman tentang satu sudut pandang mengenai etika dan moral generasi muda. Itu saja,” ulas Vera dengan senyum merekah dan mata berbinar. (*)
Foto: Vera Yuana (tengah) di lokasi Pameran Buku di arena Seminar Sastra Internasional Antar Bangsa beberapa waktu lalu di Yogyakarta. (Foto: Ist.)