SURABAYA, Beritalima.com|
Naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen jadi buah bibir masyarakat. Pakar perpajakan Universitas Airlangga, Dr Elia Mustikasari Dra MSi Ak CA CMA BKP BAK mengatakan bahwa kenaikan PPN itu memang memberatkan masyarakat. Akan tetapi, kenaikan PPN bukan satu-satunya faktor yang memberatkan masyarakat.
“Jadi sebenarnya faktor pemberatnya bukan hanya pajak 11 persen itu. Faktor-faktor pemberat yang lain adalah kejadian-kejadian unpredictable, yaitu pandemi Covid-19 dan perang Rusia Ukraina,” jelas dosen fakultas ekonomi dan bisnis UNAIR itu.
Kebijakan kenaikan tarif PPN, selain bertujuan untuk mendudukkan kembali fungsi PPN sebagai pajak atas transaksi barang dan jasa yang sifatnya umum, kenaikan itu dimaksudkan sebagai bentuk usaha counterbalance penurunan tarif PPh badan dari 25 persen ke 22 persen dan pada tahun 2022 menjadi 20 persen.
Naiknya batasan penghasilan WPOP yang dikenai tarif 5 persen, dan dibebaskannya PPh orang pribadi pengusaha tertentu UMKM yang mempunyai omzet maksimal 500 juta setahun. PPN dinilai menjadi sumber pemasukan negara yang “lebih pasti” daripada PPh karena pengendaliannya lebih mudah.
“Pajak penghasilan lebih sulit dikejar karena banyak wajib pajak yang melakukan penghindaran pajak (tax avoidance),” papar Wakil Ketua II Kompartemen Perpajakan Ikatan Akuntan Indonesia (KAPj IAI).
Sebenarnya, pembahasan mengenai penataan kembali peraturan perundang-undangan pajak di Indonesia termasuk kenaikan PPN itu sudah berlangsung sejak lama. Kebijakan itu merupakan lanjutan dari omnibus law yang bertujuan untuk mengatasi kelesuan ekosistem investasi di Indonesia. Menurutnya, Indonesia dinilai sebagai negara yang tidak menarik untuk dijadikan sebagai lahan investasi oleh negara lain.
“Tidak menariknya itu karena banyak hal. Peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, yang tidak sinkron, yang memberatkan, apalagi ditambah isu korupsi. Membuat mereka (investor) tidak nyaman di Indonesia. Karena pertimbangan itulah dilahirkan omnibus law,” terang Elia.
Terkait dengan masyarakat mana saja yang akan terdampak oleh kebijakan ini, Elia menuturkan bahwa kenaikan PPN menjadi 11 persen itu mengecualikan kesehatan, pendidikan, bahan makanan pokok, dan pelayanan publik.
“Harapannya yang kena nanti masyarakat mampu,” sambung dosen program studi akuntansi ini.
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa kenaikan itu tidak memberatkan pengusaha.
“Itu semua yang menanggung end-user customer atau konsumen akhir, karena kalau di ranah pengusaha pajak masukannya bisa dikreditkan ke pajak keluarannya,” tandasnya.
Di lain sisi, menurutnya, tidak pas untuk membahas kenaikan PPN ini dengan dikotomi masyarakat kelas atas dengan menengah ke bawah. Hal ini disebabkan oleh bentuk PPN itu sendiri yang merupakan pajak objektif yang tidak memperhatikan daya pikul wajib pajak.
“Sehingga kalau kita bicara keadilan nggak pas. Pasnya di ranah pajak subjektif, yaitu PPh,” lanjut Elia.
Namun demikian pemerintah tetap mengecualikan PPN ini terhadap kesehatan, pendidikan, bahan makanan pokok dan jasa pelayanan publik.
Yang menjadi perhatian masyarakat tentu saja adalah timing dari pengimplementasian kebijakan. Selain bertepatan dengan bulan ramadan, kejadian langkanya BBM akibat perang Rusia- Ukraina dan diikuti dengan terkereknya harga barang-barang substitusi energi dan komoditas lainnya seperti batubara.
Kelapa sawit juga mendorong naiknya hampir semua harga barang dan jasa yang memberatkan masyarakat. Namun demikian, sebenarnya kenaikan PPN itu diimplementasikan tepat waktu di tengah-tengah momentum ekonomi masyarakat yang mulai membaik setelah sebelumnya dilumpuhkan oleh pandemi Covid-19.
Menyayangkan hal ini, Elia berpendapat bahwa sebenarnya pemerintah bisa mengundur pelaksanaan kebijakan itu.
“Sebenarnya pemerintah ada senjata untuk mengundur dengan perpu,” bebernya.
Akan tetapi, ia melanjutkan, hal itu akan berdampak pada penurunan kredibilitas pemerintah. Jika ditunda, kebijakan itu akan sulit diterapkan, mengingat tahun 2024 adalah tahun pergantian presiden.
Elia juga menjelaskan bahwa PPN Indonesia masih tergolong moderat.
“Negara-negara Asia itu rata-rata tarif (PPN)-nya 12 persen dan negara-negara anggota OECD rata-rata 15,4 persen,” imbuhnya.
Ia juga menambahkan bahwa saat ini peraturan perpajakan yang ada di Indonesia sudah mempertimbangkan kondisi dalam maupun luar negeri. (Yul)