Pelajaran Berharga dari Peristiwa Manokwari

  • Whatsapp

DENPASAR, beritalima.com | Mengapa harus terjadi? Pertanyaan itu mengusik hati dan pikiran begitu mendengar berita pecah kerusuhan di Manokwari, Papua Barat dan Jayapura, Papua, hari Senin kemarin.

Menurut berita yang beredar dan juga disiarkan televisi nasional, kerusuhan itu diwarnai pembakaran gedung. Salah satu yang terbakar adalah gedung DPRD.

Mengapa harus terjadi? Begitu pertanyaan yang terus mencari jawaban. Tetapi, ibarat pepatah, ada asap pasti ada api. Ada akibat pasti ada sebab.

Peristiwa di Manokwari dan Jayapura terjadi sebagai buntut atau akibat peristiwa di Malang dan Surabaya, Jawa Timur. Menurut berita yang tersebar, sejumlah mahasiswa Papua yang berencana melakukan aksi unjuk rasa di Malang menghadapi penghadangan, tindak kekerasan, dan pemaksaan oleh masyarakat, aparat, maupun pemerintah Kota Malang (15/8/2019).

Intimidasi kembali terjadi di Surabaya dengan penyerbuan asrama Papua oleh aparat kepolisian, TNI, Pol PP, dan ormas (16/8/2019). Aksi ini menyebabkan penangkapan 43 mahasiswa Papua yang tidak terbukti bersalah.
Kejadian di Surabaya, misalnya, bermula dari ditemukannya bendera Merah Putih di got. Foto bendera di got beredar luas dan memancing reaksi berupa tindakan dan ujaran-ujaran kebencian, bahkan bernada rasialis. Pihak mahasiswa Papua membantah telah membuang bendera Merah Putih ke got. Tetapi, api telanjur menyala. Dan, berkobar tak kendali.

Sungguh sebuah ironi. Peristiwa-peristiwa menyedihkan itu terjadi menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI dan setelah peringatan Hari Kemanusiaan Internasional (19 Agustus). Hari bahagia, penuh syukur itu telah ternodai atau malah dinodai.

Aksi pembakaran sejumlah gedung, memang, tidak dapat dibenarkan, apa pun alasannya. Demikian juga, tindakan berbau rasialis juga sangat tidak bisa dibenarkan di negara berideologi Pancasila ini. Bukankah kita bersaudara? Kita satu bangsa. Kita Indonesia. Indonesia adalah negara majemuk dalam banyak hal: suku, etnis, bahasa, agama, budaya, dan sebagainya.

Mengingkari kemajemukan adalah mengingkari anugerah Tuhan atas bangsa ini. Keberagaman adalah sunatullah yang semestinya menjadi modal, menjadi kekuatan, dan bukannya kelemahan. Meskipun harus diakui, ada yang mengingkari kemajemukan itu, sehingga tidak bisa toleran terhadap orang lain yang berbeda dalam banyak hal. Dan malahan melemparkan ujaran-ujaran yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan saudara-saudara kita dari Papua. Walaupun sama-sama warga negara Indonesia, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Hal tersebut—mengingkari kemajemukan dan perbedaan—menggambarkan bahwa politik rasial masih ada dan hidup di negeri ini.

Bila hal itu dipelihara pasti akan menimbulkan bahaya berkelanjutan.
Ujaran tertentu terhadap masyarakat Papua yang sangat bernada merendahkan, benar-benar melukai nilai-nilai kemanusiaan, merobohkan harkat dan martabat manusia beradab. Sebutan yang mereduksi posisi sebagai manusia atau dehumanisasi yang bercokol dari waktu ke waktu, akan menjadi legitimasi tindakan kekerasan terhadap mereka.

Apakah kita tidak bisa keluar dari belenggu sikap-sikap arogansi merasa sebagai warga negara kelas satu? Apakah kita tidak bisa meretas borgol kesombongan diri? Apakah kita tidak bisa menjebol kerangkeng keangkuhan diri, padahal kita sudah merdeka 74 tahun?

Sikap-sikap seperti itu yang tidak hanya akan menghambat kemajuan bangsa dan negara, tetapi yang lebih parah lagi adalah mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; melemparkan kita ke zaman sebelum merdeka. Sangat bisa dipahami bahwa saudara-saydara kita dari Papua tersinggung dan marah. Tetapi, seperti dikatakan Presiden Jokowi, “Saudara-saudaraku, Pace, Mace, mama-mama di Papua, di Papua Barat, saya tahu ada ketersinggungan. Oleh karena itu, sebagai saudara sebangsa dan setanah air, yang paling baik adalah saling memaafkan.”

Saling memaafkan adalah tindakan yang paling baik, sebagai manusia beriman, sebagai manusia berbudaya, sebagai manusia maju yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan. Berani dan mau minta maaf, seperti yang dilakukan Gubernur Jawa Timur Kofifah Indar Parawangsa dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini atas peristiwa yang melukai hati masyarakat Papua, yang merusak persaudaraan di wilayahnya.

Sikap yang pantas dipuji juga dilakukan Gubernur Papua Lukas Enembe yang mengajak rakyatnya untuk tetap menjaga harmoni, untuk tidak menanggapi peristiwa Malang, Surabaya, dan Semarang secara berlebihan menerjang adat dan budaya.

Sungguh, mereka adalah para pemimpin yang sangat dibutuhkan negeri ini yang sangat majemuk, yang bukan mustahil setiap kali terjadi gesekan. Kita, bangsa ini membutuhkan pemimpin-peminpin yang lapang hati, berkepala dingin, bijaksana, dan sungguh-sungguh mengayomi.

Akan tetapi, langkah tersebut harus diikuti aparat keamanan untuk mengusut tuntas dan menindaknya sesuai dengan ketentuan hukum siapa saja yang telah mengobarkan api permusuhan, memprovokasi sehingga merusak persaudaraan. Mereka harus ditindak tegas. Negara kita adalah negara hukum. Bila tindakan semacam itu dibiarkan, bukan mustahil akan berulang lagi.

Kiranya peristiwa yang mengkoyak-koyak nilai-nilai kemanusian, harmoni dan persatuan serta kesatuan tidak terulang kembali. Sebab, bukan tidak mungkin kejadian seperti itu akan dimanfaatkan oleh mereka yang tidak menginginkan NKRI yang ber-Pancasila, ber-UUD 1945, dan ber-bhinneka tunggal ika ini tetap lestari.

Kita tidak boleh menututup mata bahwa ada orang-orang dan kelompok yang memiliki niat jahat seperti itu. Oleh karena itu, hendaknya peristiwa Malang, Surabaya, Semarang, Manokwari, Sorong, dan Jayapura menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua; bagi kita semua yang tetap menginginkan keutuhan negara dan bangsa. ***

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *