Pesimis Bukan Berarti Gagal

  • Whatsapp

beritalima.com | Dalam realitas kehidupan tidak semua orang memiliki kepribadian yang optimis. Sangat banyak orang membentuk dirinya menjadi pribadi pesimis. Pesimis tersebut adalah kekuatan yang dihasilkan dari ketidakpercayaan diri, untuk melakukan sebuah perubahan atau tindakan yang menantang risiko.

Aku adalah salah satu orang yang pesimis diantara teman-temanku. Ketika ingin mencoba sesuatu selalu timbul dalam benakku bahwa aku tidak bisa melakukan sesuatu lebih baik dari orang lain. Kebanyakan dari mereka menganggap diriku tidak bisa berbuat apa-apa. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuannya masing-masing.

Hal tersebut membuatku ragu ketika ingin melakukan sesuatu. Aku kerap kali disudutkan dengan teman-temanku, terlebih saat aku ingin belajar hal yang baru. “Yaelah, lu mah enggak bisa ngapa-ngapain tor, ngapain capek-capek usaha,” ungkap temanku. Meskipun demikian, ocehan tersebut tidak kumasukan ke dalam hati tetapi justru aku membalas ucapan mereka “Namanya usaha, sirik aja lo,” balas ku. Akibat sering diperlakukan seperti itu, sifat pesimisku menjadi melekat dalam diriku.

Sifat pesimis itu membuat aku lebih suka hidup di zona yang nyaman. Sebagai orang yang pesimis aku merasa tidak perlu capek-capek berusaha, toh mereka pasti bisa melakukan lebih daripadaku. Dalam berorganisasi pun aku jarang sekali mengutarakan pendapatku ketika sedang digelar rapat anggota. Aku sering berasumsi bahwa ide-ide mereka sudah cukup dan matang untuk segera direalisasikan.

Takut dan ragu selalu timbul pada benakku dan tak jarang aku kehilangan kepercayaan diri. Dalam melakukan suatu pekerjaan sering kali aku mengeluh bahkan menggerutu akan hal yang sedang kulakukan. Ada peribahasa yang mengatakan “Rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri”. Peribahasa ini memiliki arti, apa yang dimiliki orang lain selalu terlihat lebih baik dari milik sendiri. Peribahasa tersebut seakan melekat pada pikiranku, seakan aku tidak bisa lebih baik dari orang lain.

Pemikiran tersebut sering melahirkan pikiran bahwa ada hanya untuk tiada, usaha hanya untuk sia-sia dan segalanya lebih baik ditinggal tidur dan banyak waktu untuk menguap. “Begitulah hidup, hanya dimiliki oleh orang-orang optimis yang tidak pernah cukup banyak memperhatikan atau menghargai orang lain,” pikirku.

Begitulah ketika teman-temanku lebih sering tak menghargai dan condong untuk menjatuhkanku. Oleh karena itu aku sudah terbiasa hidup dengan rasa pesimis.
Aku pernah mengalahkan sifat pesimisku ketika sedang mengikuti Ujian Mandiri Politeknik Negeri (UMPN) di Politeknik Negeri Jakarta pada 20 Mei 2017 lalu. Pada saat itu aku menjadi orang yang sangat optimis bisa lulus tes tersebut. Rasa optimis tumbuh karena aku sudah mempersiapkan diri dengan matang untuk mengikuti tes UMPN sehingga timbul kepercayaan diri saat itu. Namun, ketika aku melihat hasil pengumuman UMPN ternyata tidak sesuai dengan harapanku. Oleh sebab itu rasa optimisku padam dan kembali dengan sifat pesimisku.

Dengan demikian, aku merasa menjadi pesimis lebih baik karena tidak memberikan harapan. Kalau pun gagal, aku tidak akan sakit dan orang lain juga tidak akan merasa kecewa.
Namun, aku kembali mengikuti UMPN pada 2 Juni 2018. Dengan penuh ragu dan pesimis aku pun mencoba tidak terlalu berharap lulus saat itu. Tak disangka, aku pun dinyatakan lulus UMPN. Rasa nya seperti mendapatkan kado yang tidak diharapkan. Seolah-olah rasa pesimis membuat keberhasilanku menjadi bonus yang tak terduga.

Pada dasarnya aku hanya tidak suka terus kecewa karena terlalu berharap, atau karena aku yang terlalu optimis. Aku benci apabila harus hidup di antara rasa kecewa yang terjadi lebih sering lagi. Karena hidup untuk kecewa, dijagal oleh perasaan bersalah, dan dipeluk kegagalan sudah terasa sangat lumrah serta membosankan.

(Victor Johanes Hari Sabatino/PNJ)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait