TERNATE, MALUKU UTARA, BeritaLima.com – Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa pada hari Selasa 20 Oktober 2020 kemarin berujung petaka terhadap sejumlah wartawan yang sedang melakukan peliputan.
Pasalnya, aksi unjuk rasa mahasiswa menolak UU Cipta Kerja (Omnibus Law) itu, diketahui wartawati media online Halmaherapost.com, atas nama Yunita Kadir mengalami dugaan tindakan pelecehan bersama dengan rekan wartawan lainnya didalam Kantor Walikota.
Atas tindakan tersebut, ratusan wartawan dan wartawati yang mengatasnamakan Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pimred) Se-Kota Ternate menggelar aksi unjuk rasa di depan Polda Maluku Utara, Rabu (21/10/20) siang tadi.
Dival Pemimpin Redaksi (Pimred) Pilarmalut.com, dalam orasinya mengecam oknum anggota polisi yang melakukan tindakan kekerasan dan dugaan pelecehan terhadap wartawan dan wartawati saat melakukan peliputan aksi mahasiswa tolak UU Omnibus Law.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Munawir Yakub Pimred Brindonews.com. Dia mengungkapkan bahwa, kasus kekerasan seperti ini bukan terjadi kali ini saja.
“Kasus seperti ini sudah berulang kali terjadi sejak tahun 2018 hingga 2020. Tapi apa, jawaban Kepolisian hanyalah permintaan maaf,” teriak Koces sapaan akrabnya
Sementara itu, Yunita yang didampingi Pimpinan Redaksi (Pimred) Halmaherapost.com, Firjal Usdek dan Advokat dari Lembahaga Bantuan Hukum (LBH), Marimoi, Maharani Caroline, SH melaporkan insiden dan perbuatan yang tidak terpuji tersebut ke bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Malut.
Rani sapaan akrab Maharani yang saat itu mendampingi korban intimidasi dan dugaan pelecehan tersebut justru menyayangkan sikap polisi yang di piket di SPKT.
Kekecewaan tersebut disebabkan laporan tindak pidana yang diadukan justru tidak diterima oleh petugas bagian SPKT. Petugas beralibi pelapor harus menunggu bagian reserse terdahulu baru kemudian reserse akan mengkaji kasusnya dan memastikan pasal-pasal yang akan dikenai oknum Polisi (Terlapor), sehingga dengan begitu laporan belum bisa diterima karena belum memenuhi unsur.
“Padahal kan seharusnya laporan diterima dulu dan soal memenuhi unsur itu kan nanti, sehingga ketika sudah diterima laporan dan sudah dikaji maka mereka dari kepolisian bisa menentukan pasal-pasal apa yang kena,” jelas Rani
Sekitar 2 jam menunggu, namun pihak reserse yang harusnya menangani perihal tersebut tidak kunjung datang, sehingga pelapor diarahkan untuk melaporkan kasus ini ke bagian Propam.
Menurutnya, Polda Maluku Utara tidak profesional dalam menangani laporan wartawan yang mengalami kekerasan dari oknum anggota Polda Malut sendiri. Jika pihak kepolisian berdalih itu sudah sesuai SOP-nya justru itu tidak benar. Pasalnya penyidik sendiri tidak harus menolak laporan atau aduan dari masyarakat.
“Harusnya diterima dulu, kalau dalihnya tidak sesuai SOP maka itu salah, karena harus dilakukan penyidikan dulu. Setelah itu mereka bisa tentukan pasal-pasal apa yang akan dikenakan,” tambah Rani dengan nada kesal
Rani menilai dengan tidak diterimanya laporan aduan tersebut, terkesan polisi melindungi oknum polisi yang melakukan kekerasan dan dugaan pelecehan terhadap sejumlah wartawan.
“Kita sangat menyayangkan adanya sikap tidak profesional dari petugas SPKT Polda Malut, karena ini terkesan mereka justru melindungi oknum tersebut,” tegasnya
Rani menambahkan dengan adanya penolakan laporan aduan dari wartawan, maka Komisi Keselamatan Jurnalis pusat akan melaporkan kasus ini ke Mabes Polri.
“Dalam hal ini bahwa Polda Malut tidak profesional dalam penanganan kasus ini, sehingga dalam hal ini sejumlah perwakilan keorganisasian jurnalis yang ada di Jakarta yakni Komisi Keselamatan Jurnalis akan melaporkan kasus ini langsung ke Mabes Polri,” tandasnya. [ Ilham M. Mansur ]