JAKARTA – Pandemi COVID-19 menuntut masyarakat untuk menciptakan kebiasaan baru ditengah kehidupan. Kebiasaan baru ini tercipta agar kita terhindar dari virus COVID-19 dan tetap dapat beraktivitas sehari-hari dengan normal.
“Kebiasaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang, yang kemudian menjadi dibiasakan,” jelas Meutia Hatta selaku Tim Pakar Sosial Budaya Satuan Tugas COVID-19 pada dialog pagi via ruang digital, Selasa (4/8).
Kemudian Meutia juga menjelaskan bagaimana kebiasaan dapat berubah menjadi suatu kebudayaan.
“Kebiasaan itu berawal dari kegiatan yang memiliki manfaat bagi orang-orang yang melakukannya, kemudian kegiatan ini dilakukan secara berkala menjadi kebiasaan. Namun untuk menjadi kebudayaan, dia memerlukan waktu yang tidak singkat”, tambah Meutia.
Contoh dari kebiasaan yang sudah menjadi budaya adalah cuci kaki sebelum masuk ke rumah. Awalnya kebiasaan ini dipraktekan di rumah panggung, di Lampung, Sulawesi atau Palembang. Di atas rumah diberikan sebuah gentong berisi air untuk kita mencuci kaki sebelum masuk rumah. Manfaat dari kebiasaan ini adalah kita masuk ke rumah dengan keadaan kaki yang sudah bersih. Lama-kelamaan kebiasaan ini akhirnya menjadi budaya.
Meutia juga memberikan contoh lain dari kebiasaan yang lama-lama menjadi kebudayaan. “Makanan sayur tadinya bukan budaya dari orang Minang. Namun karena tau manfaatnya, akhirnya sayur bagian dari kebudayaan orang Minang,” tambah Meutia.
Lebih lanjut ia juga menjelaskan kertekaitan antara kebiasaan dengan budaya pada masa pandemi saat ini.
“Di pandemi ini kita ada kewajiban untuk menggunakan masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, harus cuci tangan. Ini suatu kebiasaan yang ada manfaatnya, karena tanpa itu ada bahaya Corona. Ini yang diusahakan menjadi kebudayaan,” ucap Meutia.
Terkait protokol kesehatan yang ingin dijadikan sebagai kebudayaan baru, Meutia berpendapat bahwa ini memerlukan waktu.“Kita ingin secepatnya bisa diterima, begitu ya. Tapi memang butuh waktu. Kita harus mampu menyampaikan kepada masyarakat bahwa ini adalah hal yang penting, ditunjukkan dengan data,” jelas Meutia.
Ia juga menambahkan bahwa orang Indonesia itu memiliki sifat yang tidak mudah takut akan pantanganan, terutama dalam hal risiko kesehatan. Jadi ini merupakan suatu pekerjaan rumah yang harus kita lakukan untuk memberikan edukasi yang tepat bagi masyarakat.
Meutia juga menyampaikan bahwa dirinya sedang melaksanakan sebuah penelitian yang mempelajari tentang sikap masyarakat Indonesia mengenai kepatuhan.
Selanjutnya mengenai bagaimana agar kebiasaan ini dapat lebih cepat menjadi kebudayaan, Meutia berpendapat bahwa hukuman bukanlah jalan pintas agar suatu kebiasaan dapat menjadi kebudayaan.
“Hukuman itu kadang-kadang tidak mempan ya, tapi selain hukuman, yang penting itu mereka (masyarakat) memahami,” jelas Meutia.
Ia berpendapat bahwa masyarakat harus mampu memahami bahwa mereka tidak saja mampu menularkan, tetapi juga berisiko untuk tertular.
Menutup dialog pagi ini, Meutia kembali berpesan kepada masyarakat untuk tetap menghindari kerumuman. Ia juga berharap agar kebiasaan ini cepat berubah menjadi kebudayaan.