Puasa dan Kedustaan Kita

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)

Aksi demo mahasiswa 11 April 2022 lalu, terlihat benar-benar ‘nekat’. Bulan Ramadhan sebagai bulan suci ummat Islam dengan berbagai keutamaan beribadah di dalamnya, seperti tidak menjadi halangan mereka untuk berpayah-payah secara fisik di siang hari yang panas itu. Melihat kenekatan itu kitapun pantas bertanya, apakah gerangan menjadi perjuangan mereka. Konon demo itu digelar sebenarnya dengan agenda penyampaian 3 tuntutan itu yaitu: menolak penundaan pemilu berikut amandemen UUD Negara RI 1945, mengkaji ulang UU IKN, dan menjaga stabilitas harga bahan pokok. Tuntutan pertama sebenarnya sudah tidak urgen karena 2 hal, pertama, penundaan pemilu masih sebatas wacana beberapa elite parpol yang belum mencerminkan pandangan partai secara resmi. Apalagi, harus mengaitkananya sebagai keinginan Jokowi. Kedua, berulang kali presiden bahwa jadwal pemilu 2024 tidak bisa ditunda. Anwar Abbas pun sudah lega, ketika Jokowi melarang para menteri ikut bicara mengenai penundaan pemilu. Tentang isu kedua, pemindahan ibu kota sekalipun semula berangkat dari kemauan politik pemerintah Jokowi, akan tetapi dengan disahkannya UU IKN, berarti DPR sebagai representasi rakyat sudah menyetujui. Dengan demikian pemindahan IKN terlepas dengan urgensi atau tidaknya, pemindahan IKN sudah menjadi kemauan politik pemerintah dan rakyat. Sedangkan, mengenai isu ketiga, melonjaknya bahan pangan memang menjadi concern semua rakyat. Terakhir dipicu kelangkaan minyak goreng. Akan tetapi, gejolak barang dapur ini tidak lama. Peredaran normal lagi sekalipun dengan harga yang berbeda. Pemerintah tampaknya punya alasan menaikkannya. Dan, kelangkaan-kelangkaan tersebut sebenarnya pernah terjadi sebelumnya, tetapi tidak sampai membakar semangat mahasiswa untuk turun ke jalan secara masif seperti itu.

Penulis ingat tuntutan itu mirip “tritura” jaman orde lama. Demo waktu itu memang menemukan momentumnya karena berkaitan dengan gejolak sosial yang memang riil akibat gejolak politik paccaperistiwa G 30 S/ PKI. Kali ini sengaja mahasiswa menggelar perhelatan demo di bulan suci mungkin dimaksudkan menciptakan momentum sebagai ‘gerakan suci’. Toh perang suci rasulullah pertama yang membuahkan hasil gemilang juga terjadi bulan Ramadhan. Lantas adakah agenda besar, di luar yang tampak di balik aksi itu? Hanya aktor-aktor di belakaang layar yang bisa menjawab. Akan tetapi, Terlepas dari komentar mengenai sukses tidaknya aksi demo itu, ada sedikit yang perlu digarisbawahi mengenai akhir episodenya.

Semula saya sendiri tidak tertarik melihat aksi demo dan menghindari komentar apapun mengenai demo tersebut, baik sebelum dan ketika sedang berlangsung. Di samping tidak ada televisi di ruang kerja, menumpuknya pekerjaan membuat saya tidak bisa menyisihkan waktu sedikit pun terkait dengan aksi mahasiswa itu. Akan tetapi, ketika beberapa teman nge-share peristiwa tak beradab naluri saya terpanggil. Ketika ada seorang dosen UI ramai-ramai dihajar di tengah kerumunan masa pendemo saya sedikit terpengaruh. Saya pun langsung mencari kebenaran peristiwa itu. Dan, benar orang yang jadi bulan-bulanan itu adalah orang yang tidak asing lagi dalam dunia akademik. Dia adalah salah seorang pakar komunikasi dan menjadi staf pengajar di UI yang tidak lain adalah gurunya mahasiswa. Dialah Ade Armando (AA) yang selama ini sering mengkritik perilaku orang yang selama ini anti toleransi dan golongan yang kebetulan berseberangan dengan pemerintah. Beberapa tokoh penting yang menjadi idola kelompok tertentu dikritisinya dari cara yang lebut, sedang, sampai paling pedas. Dengan sepak terjangnya itu Dia pun distigmakan sebagai salah satu buzzer pemerintah seperti Deni Siregar dkk. Sebenarnya bukan berita penganiaayaan terhadap AA yang menarik bagi saya. Adalah sebuah risiko yang pasti sudah diperhitungan olehnya–ketika demo besar dengan objek pemerintah dan DPR, dia yang selama ini dianggap pro pemerintah malah–berada di sekitar pendemo.

Yang membuat saya tertarik untuk tidak sabar berkomentar ialah ketika melihat berbagai komentar terhadap pengeroyokan itu. Tidak sedikit yang berkomentar ‘nyukurne’ atas penganiayaan orang yang sering berkomentar kritis terhadap para pendakwah yang dianggapnya pengikut islam intoleran itu. Dan, yang lebih kita masygul ialah, bahwa komentar itu muncul dari para pengadil: hakim. Sementara kita tahu, sebagai seorang yang berkecimpung di dunia hukum, keilmuannya jelas tidak membolehkan siapa pun makin hakim sendiri kepada siapa pun. Saya nyaris tidak percaya ada pengadil yang meberikan toleransi bahkan nyukurne peristiwa sadis yang menimpa sang dosen. Sepertinya predikat hakim berikut integritas profesinya, itu hanya diperlukan sebatas ketika memakai toga dan duduk ruang sidang. Terhadap fenomena sosial yang terjadi, bukan urusan hakim melainkan urusan sesama muslim. Peristwa yang menimpa AA sebagai ‘ganjaran’ selama ini, akibat sering membuat geram umat Islam. Umat Islam yang mana bukan menjadi soal. Yang penting ada kelompok Islam yang ia ‘sakiti’ dan pemukulan oleh Abdul Latip dkk merupakan bentuk balasan (siksa) dunia.

Hakim yang mentolerir perbuatan itu menurut saya juga mempunyai kepribadian bukan selayakya idealnya seorang pengadil. Empati melihat seorang anak manusia menerima kekerasan fisik di luar ranah kewenangan hukum sepertinya tidah ada sama sekali. Dalam tataran ini saya melihat beberapa hakim ini sekelas Sugik Nur (Gus Nur) yang ketika melihat AA di aniaya serta merta bekomentar di luar batas harkat kemanusiaan. “Hampir saja Ade Armando berlebaran di neraka.”, Katanya sebagaimana dikutip oleh Suara Banten. Dengan kalimat itu, kiranya ustadz yang sering mengucap “matamu” apabila jengkel dengan ‘musuhnya’ itu, bermaksud mengatakan, bahwa untung dia (AA) tidak mati. Kalau sampai mati (pastilah) ia ‘berlebaran’ di neraka.
Lantas, bagaimana kita melihat finomena itu. Atau, tepatnya melihat peristiwa penganiayaan itu di mana keberpihakan nurani kita? Sesungguhnya sepontanitas keberpihakan kita melihat fenomna di atas merupakan inti perangai diri kita. Apabila kita bersimpati dengan penganiayaan itu pertanda jiwa kekerasan masih bersarang pada diri kita. Sejumlah alasan pembenar dengan kecerdasan akal dan kependaian retorika lidah, mungkin dapat kita kemukakan guna mendukung keberpihakan kita. Akan tetapi alasan pembenar berasarkan logika-logika, sering gagal menembus nurani untuk kemudian membenarkannya. Rakyat Libya pasti punya alasan pembenar ketika ramai-ramai menyiksa, menelanjangi dan kemudian membunuhnya beramai-ramai sang presidennya sendiri (mendiang Moamar Kadafi). Tetapi sampai sekarang mereka tidak bisa meyakinkan kita, bahwa yang mereka lakukan itu bukan tindakan biadab. Mereka sama sekali tidak sadar, bahwa tindakan super kurangajar kepada sang pemimpin yanag disegani itu berkat ‘tangan-tangan dingin’ dunia Barat yang selama ini sudah terlalu amat sangat jengkel dengan ketokohan Muamar Kadafi yang anti Barat (Semoga Allah mengampuninya).

Apa kaitannya dengan puasa kita. Ketika kita menahan lapar dahaga seharian, membuat tubuh kita lemas. Ketika kita lemas kita pun harus mengurangi mobilitas. Di saat tubuh malas melakukan mobilitas, kita semakin banyak kesempatan berdiam diri di rumah atau di masjid. Saat kita berdiam diri itulah sejatinya Allah SWT memberikan kesempatan kita untuk bisa melakukan refleksi total ( berzikir dan bertafakur). Salah satunya ialah, bahwa kita menyadari sepenuhnya, bahwa kita merupakan makhluk yang lemah. Sebagai makhluk lemah, tidak selayaknya sedikitpun dalam diri kita bercokol sifat jumawa. Efek secara sosial, sebagai makhluk lemah selain kita peka melihat ketidakberdayaan yang dialami oleh orang lain di sekitar kita, kita juga perlu bekerja sama dan tolong-menolong dengan manusia di sekitar kita dari kelompok dan golongan apap pun asalnya. Ketika tiba-tiba ada orang jatuh di depan kita, secara sepontan kita terpanggil untuk menolongnya bangkit, tanpa menanyakan apakah saudara kita atau bukan, warga kita atau bukan. Apalagi, menyakan lebih dulu agamanya Islam atau bukan. Kalau ekspresi empati kita masih masih harus kita barengi dengan berbagai syarat, sejatinya kita masih termasuk orang yang berkata dusta. Mengapa? Ketika berislam dan beriman kita siap mengamalkan ajaran: “Tolong menolonglah kalian dalam hal kebaikan dan urusan takwa, dan jangan tolong menolong kalian dalam urusan dosa dan permusuhan”. (Al Qur’an); Rasulullah pun mengingatkan: “Barang siapa puasanya tidak bisa mencegah berkata dusta, maka Allah tidak memerlukanya”. (Al Hadits) Kita sudah terlanjur membenarkan firman Allah tadi dengan mengucap “shodaqallohl adhim”, tetapi kita masih suka melihat kekerasan terjadi. Ada ketidaksesuain ucapan kita dengan perbuatan kita. Bukankah yang demikian termasuk dusta juga? Naudzubillahi min dzalik.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait